"Ra?"
"Ya?"
"Ada Arya di luar."
"Apaaa?"
Rara kembali menghilang begitu aku menyebut nama Arya. Padahal masih ada beberapa suap lagi di atas piringnya. Kasihan. Pantas saja orang tua dulu selalu bilang jangan bicara ketika sedang makan. Ini contohnya, Rara jadi tidak menghabiskan makanannya.
Tadi boker, sekarang lenyap entah ke mana. Memang setan ajaib si Rara, mah. Aku segera menuntaskan makanku setelah kudengar ada tawa di luar kamar. Sepertinya Rarashati remaja dengan Arya sedang terlibat obrolan seru. Walau suaranya tidak terlalu jelas, tapi terasa sekali kalau mereka sangat bahagia.
Tidak berapa lama kudengar bunyi langkah kaki dan salam perpisahan. Sepertinya Arya sudah pulang. Aku segera berdiri dan ajaibnya semua masakan tadi lenyap entah ke mana. Yang jelas, aku terasa sangat kenyang.
Benar-benar enak masakan Chef Renata.
Ketika pintu kamar berderit, aku melompat keluar melalui jendela. Dari sela-sela tumbuhan yang dijadikan pagar, aku mengiringi langkah Arya. Lelaki itu berjalan dengan wajah berseri-seri. Kentara sekali kalau dia begitu bahagia bertemu pujaan hati.
Semua yang ada pada dirinya seolah-olah adalah bayanganku sendiri. Cara berjalannya, senyumnya bahkan dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, semuanya sama. Bedanya, dia hanya terlihat sedikit lebih hitam. Mungkin karena pekerjaannya yang hanya seorang petani. Terbakar matahari.
Aku terus berjalan bersisian dengannya. Sangat hati-hati sekali. Namun, sempat beberapa kali dia berhenti dan menoleh ke arahku. Jantungku seakan mau berhenti melihatnya yang menatap tajam. Sepertinya dia merasa kalau sedang aku kuntit.
Dia mendekat dan menyibakkan beberapa pagar tumbuhan tersebut. Mataku melotot sangking terkejutnya ketika kami saling bersitatap.
"Siapa kau?"
Aku gemetar. Tidak tahu mesti menjawab apa. Apakah ini artinya aku sudah melanggar pantangan? Bukankah sebelumnya Rara mengatakan untuk tidak berhubungan dengan manusia-manusia zaman ini.
Ya Tuhan, apa yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah aku akan selalu berada di masa ini? Masa yang mundur ke masa lima puluh tahun yang lalu.
"Aku bayanganmu!" jawabku sambil menyembunyikan wajah di sela-sela jariku. Tangannya terulur, menarik tanganku. Aku bersikukuh tidak mau lepas.
"Buka!" hardiknya dengan suara keras.
"Tidak mau!" jawabku tak kalah sengit. Enak saja nyuruh-nyuruh buka. Ini kan di luar. Kalau di kamar okelah. Astaga. Pikiranku, Ya, Allah.
"Keras kepala!"
Terasa tangannya mencengkram bahuku. Dengan kekuatan yang sangat hebat, dia membetot tubuhku, lalu kurasakan tubuhku melayang.
GEDEBUK!
Aku melenguh kencang ketika punggungku mendarat dengan sukses di tanah yang becek.
Kontan aku menjerit sejadi-jadinya. Melejang-lejangkan kaki kayak anak lagi tantrum.
"Ih, cemen! Segitu aja udah nangis kayak bayi! Diam kau!"
Dia terus saja menghardik dan memarahiku. Emang aku ada salah apa sama dia? Namun, tetap saja aku turutin kemauannya dia. Aku diam dan memilih duduk menjelepok di tanah.
Sambil jongkok, dia memegang wajahku. Matanya menyiratkan keheranan yang teramat sangat. Memandang wajahnya sedekat ini aku merasa bercermin.
Kok bisa semirip ini, ya?
"Kok, wajahmu mirip dengan wajahku?" tanyanya sembari menepuk-nepuk pipiku dengan telapak tangannya yang terasa kasar.
"Jangan ditepuk, sakit, Njir!" ujarku sambil menggenggam tangannya.
"Jangan pegang-pegang! Dasar maho kau, ya?"
Astaga! Lama-lama aku bisa mati berduduk, nih, kalau begini ceritanya.
"Ya sudah, pergi sana! Ngapain nanya-nanya masalah wajah. Kalaupun mirip, anggap saja kebetulan. Simpel 'kan?" Aku mengibaskan tangan dan beranjak pergi. Loh, bukannya dia yang seharusnya pergi. Jadi bingung sendiri mau ke mana. Aku menggaruk-garuk kepala. Bajuku kotor, terus enggak ada baju ganti. Gimana, dong, ini?
"Kenapa bengong?" tanyanya lagi sambil mendekat. Kali ini dia seperti mengukur-ukur tingginya denganku. "Benar-benar ajaib. Aku serasa berkaca. Tapi kamu versi lembutnya. Ih, jijik. Coba lihat tanganmu halus. Kulitmu juga terawat. Bandingkan dengan aku yang jantan sampai ke sum-sum tulang belakang!"
Pret! Bicara dengan orang zaman dulu memang susah. Mana ngerti dia dengan perawatan pria jaman now!
Aku mengabaikan semua ucapannya. Yang penting bagiku saat ini adalah bagaimana caranya aku bisa kembali ke masa depan dan selamat dari hal-hal yang tidak aku inginkan.
"Bang Arya, ajak aku ke rumahmu, dong?" Aku merayu bagai perawan di sarang penyamun.
Dia mendelik, "Ngapain?" lanjutnya sambil menaikkan alis. Ih, cute! Astaga! Jangan belokkan aku, Tuhan! Kutampar pipiku sendiri.
"Aku tidak punya tempat tinggal dan tidak tahu mesti ke mana. Boleh, ya? Please!"
Dia memutar bola mata. Ngeri juga bola matanya bisa berputar-putar gitu, mirip gasing. Kwkwkw. Lebay-nya narasiku.
"Ya udah, mari kita caw!"
"Caw maracaw uwaw-uwaw."