Aku seperti korban perkosaan yang menyendiri di sudut kamar. Badanku serasa remuk-redam setelah dihajar habis-habisan oleh Bang Arya. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya sehingga tega menurunkan tangan jahat kepadaku yang ganteng bak dewa Yunani ini. Uhuy!
"Jahat kau, Bang. Tega sekali menjatuhkan tangan besi kepadaku. Kalau ditilik dari kacamata hukum, kau telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Bisa dilaporkan ke Komnasham dan dihukum seberat-beratnya." Aku merepet kayak emak-emak habis kecurian dompet.
Bang Arya masih menatapku marah. "Makanya, mikir pakai otak kalau bicara. Seenaknya saja menuduh Rara-ku perempuan murahan." Dia kembali berdiri dan melangkah ke arahku.
"Siapa yang bilang begitu, Bang? Aku hanya mengatakan Rarashati yang membawaku ke sini. Ke alam ini! Abang paham tidak? Aku ini bukan penduduk negeri ini! Aku tersesat, aku ditinggal sendiri di sini, dan aku tidak tahu jalan pulang! Tolonglah, Bang! Percayalah dengan ucapanku! Aku moohoon!"
Yah, wassalam, deh! Aku meratap sejadi-jadinya. Seumur-umur aku tuh tidak pernah dihajar orang. Ini tubuh serasa remuk semua. Anjay banget, deh!
Bang Arya yang tadi hendak menghajarku lagi, berdiri tertegun. Dia menatapku dengan wajah dingin. "Kau bohong 'kan? Berusaha mengecohku lagi? Khayalan dan omong-kosongmu itu membuat darahku mendidih saja. Gimana kalau kau benar-benar kukirim ke alam barzah?"
Astaghfirullah. Kok, jadi serius gini, sih? Semua sudah kujelaskan, tapi dia tetap saja tidak understand. So what yang harus aku to do kan? Astaga? Njelimet, Njir!
Kini terserah, deh! Kutunggu saja apa yang akan dia lakukan. Lebih baik aku diam saja. Bukankah hening itu emas batangan yang sering aku keluarkan setiap pagi?
Kupejamkan mata, kuhapus air mata. Biarlah kuderita sendiri.
Namun, tiba-tiba kurasakan usapan lembut di kepalaku. Kubuka mata, dan terlihat Bang Arya menatapku dengan lembut.
"Maafkan aku, ya? Aku ... memang susah mengontrol emosi. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan Rara, bawaannya pengen kawin saja." Dia terkekeh seperti tidak ada masalah apa-apa denganku. Aku rasa Bang Arya ini mengidap penyakit gila nomor 69.
"Kenapa Abang tidak nikahin saja dia? Tinggal ke penghulu, ijab kabul, sah! Bisa, deh, cikidipappap setiap malam." Aku memaksakan diri tertawa, akibatnya bibirku yang pecah berdenyut seperti bisul yang hendak meletus.
Bang Arya menggeprek kepalaku. "Kau kira segampang itu, Bocah? Pernikahan tidak bisa grasak-grusuk seenak jidatmu. Tergesa-gesa itu sifatnya setan. Emang menikah tidak butuh biaya? Apalagi ini peristiwa sekali seumur hidup, harus bisa dirayakan dengan meriah. Kalau perlu didatangkan artis dari Kabupaten. Semarak benar pesta pernikahanku, kelak." Matanya berbinar-binar seperti melihat ribuan bintang di langit tinggi.
"Lalu apa yang akan Abang lakukan? Sementara aku lihat, Abang enggak punya barang-barang mahal di sini. Coba saja lihat isi kamar Abang, ranjang kecil, lemari kecil. Udah, ini doang. Ckckck. Berat perjuangan kau, Bang!"
Matanya yang tadi berbinar dan penuh semangat, perlahan-lahan memudar. Helaan napas terasa begitu berat, keluar dari mulutnya. Jelas, kata-kata yang kusampaikan tadi membuat berat beban di pundaknya.
"Yah, begitulah. Aku harus giat lagi bekerja. Namun, kau tahulah di kampung ini hanya mengandalkan usaha pertanian dan perkebunan. Aku bukan orang yang memiliki lahan, tentu saja susah mencari harta banyak. Aku benar-benar bingung." Bunyi ranjang berderit ketika Bang Arya merebahkan badannya di kasur. Kedua tangannya dijadikan bantal, matanya nanar menatap langit-langit kamar.
"Menurutku, sih, kalau Rara sudah cinta sama kau, Bang, dia pasti tidak mengharapkan harta berlimpah. Tadi saja pas di kamarnya, ketika mendengar suaramu, wajahnya merona bahagia. Kentara sekali kalau dia begitu mencintaimu, Bang. Jadi, menurutku usahlah terlalu dipikirkan betul memburu kekayaan itu "
Suara mendengkus melengking di telingaku.
"Jika kau benar-benar mencintai seseorang, kau pasti tidak ingin dia hidup menderita bersamamu."
Aku mencebikkan bibir. Sok romantis, deh! "So, apa yang ingin Abang lakukan?"
"Tidur!"
"Tidur?"
"Yap."
"Why?"
"Karena aku sudah ngantuk. Kamu tidur di lantai saja, ya? Kasurnya sempit!"
"Oh, tidak bisa, Bang! Tamu adalah raja. Masa' tamu diperlakukan seperti itu."
"Pokoknya aku tidak mau tidur di bawah!"
"Aku juga tidak! Geser!"
Akhirnya mereka gencet-gencetan di atas ranjang kecil tersebut.
Kuntilinuuu ...