"Kau seperti melihat hantu saja, Nak? Ha-ha-ha"
Itu ibunya Bang Arya. Bikin kaget saja. Tadi bener, lho. Hampir saja aku mengira itu setan. Melihat rambutnya yang tagurajai mirip Kuntilanak tua yang sudah bosan mengganggu manusia.
"Duh, Emak bikin saya sport jantung saja. Untung saya tidak mati berdiri." Kuelus-elus dadaku, berusaha menenangkan detak jantung yang seperti dipukul ribuan kayu. Sementara ibu tua tersebut tertawa terkikik-kikik memperlihatkan giginya yang sudah ompong. Cantik sekali.
"Oalah, Bujang. Begitu saja kamu sudah terkentut-kentut." Dia mengambil lampu yang parkir mesra di dinding rumah.
"Siapa yang terkentut, Mak? Aku, tuh, terkejut. T E R K E J U T."
Ibunya Bang Arya kian terkekeh-kekeh sambil melambaikan tangan. "Jangan terlalu serius kamu, Bujang. Cepat tua kamu nanti. Kuylah, ikut Emak. Perutmu udah keroncongan kayaknya."
"Kenapa Emak memanggilku Bujang?" Penasaran, dong, ya, kenapa si Emak manggilku begitu.
"Terus emak mesti manggil apa, tho? Upik?"
Fiks! Aku serasa dikerjain. Ya udah, deh aku ngikut aja. Aku dibawa ke dapur, Guys. Si Emak meniup-niup kayu bakar.
"Masak apa, Mak?" Aku berdiri di belakangnya. Duh, kasihan sekali. Melihatnya yang meniup-niup api dengan bambu kering.
"Ini, Jang. Di sini cuma ada ubi rebus. Apa kamu mau makan ubi bakar?"
Ubi? Astaga. Dini hari begini makan ubi rebus pasti enak jika ditemani secangkir kopi hitam. Mantap, Mak!
"Ubi rebus saja, deh, Mak. Sini, aku bantu tiup apinya." Si Emak menyerahkan peniup api tersebut. Aku menyambutnya dan terkejut.
"Berat sekali, Mak?"
Peniup api tersebut terlihat seperti seruling bambu yang sering dimainkan pengembala di padang rumput. Cuma tidak ada lubang-lubang yang biasa mengeluarkan bunyi nada.
"Itu bukan peniup api sembarangan. Harta pusaka emak, tuh. Sejenis senjata sakti yang bisa digunakan untuk bertempur." Si Emak duduk di atas bangku kayu kecil di sampingku. Sementara aku kaget mendengar ucapan Si Emak. Sampai dia selesai bercerita, aku masih tidak mampu mengangkat peniup api tersebut.
"Berat, Mak. Aku tidak sanggup mengangkatnya."
Si Emak terkekeh. Dia memegang lenganku dan meremasnya pelan. Sesaat kurasakan hawa hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Badanku terasa begitu ringan, mataku pun terbelalak nyalang. Dalam sekejap, tanganku mampu mengangkat peniup api tersebut.
"Mak? What's happen?"
"Mak sudah memasukkan tenaga dalam ke tubuhmu. Dengan begini, kamu bisa menggunakan senjata ini. Sekarang, coba tiup Saluang Api-nya."
"Saluang Api?" Aku mengernyit. Kata Saluang begitu asing di telingaku.
"Iya, hik hik hik. Senjata ini pemberian bapaknya si Arya. Dia orang Sumatera Barat, orang Minangkabau."
Oh, begitu. Jadi Bang Arya ini Jawa Minang? Pantaslah. Loh, sama, dong, denganku? Bapakku juga orang Minang asli. Apakah itu suatu pertanda kalau aku ini adalah reinkarnasinya Bang Arya. Tubuhku bergetar hebat menyadari fakta hebat ini.
"Ayo, coba ditiup? Semoga apa yang emak pikirkan tidak menjadi kenyataan."
Ucapan Si Emak sukses membuatku penasaran. "Maksudnya gimana, Mak?" Aku mulai mendekatkan ujung Saluang ke bibirku. Saat itu aku merasakan kekuatan tak kasat mata, ibarat magnet menarik Saluang tersebut ke bibirku. Kucoba mengembuskan napas pelan.
Tak disangka, tak diduga, selarik api berwarna biru keluar dari ujung Saluang, membakar ludes dalam sekejap si kayu bakar.
Emak Bang Arya mendesis tak percaya dengan apa yang dia lihat. "Api Biru Sang Pangeran."
Aku segera menoleh ke arahnya, lalu beringsut mundur ke belakang. "Apa ... itu, Mak?" Karena aku benar-benar dibuat terkejut dengan api yang membakar kayu dalam sekejap. Menyisakan arang hitam yang masih mengepulkan asap.
Kutatap wajah tua itu terlihat begitu pucat. Matanya terbelalak menatapku. "Kamu ... di darahmu ... mengalir darah Pangeran Talu-talu."
"Artinya apa, Mak?" Aku bingung karena Si Emak begitu ketakutan.
"Artinya ... di dalam tubuhmu mengalir darah iblis!"
Seketika mataku terbelalak dan seakan-akan hendak melompat keluar dari rongganya. Jangan lupakan kata-kata terkejut, "APAAA?"
KUNTILINUUU ....