Udara malam ini terasa semakin menusuk tulang. Apa yang disampaikan Nyai Jelita-ibunya Bang Arya-membuatku bingung. Segera kudekatkan telapak tangan ke dahi ibu tua tersebut.
"Emak sehat 'kan? Enggak lagi demam atau sebangsa dan setanah air?" Aku tertawa terbahak-bahak.
"Kamu tidak percaya dengan apa yang emak sampaikan?" Wajahnya mengelam bagai malam tanpa bintang. Aku pun jadi canggung seketika.
"Ya, bagaimana saya bisa percaya, sih, Mak? Serasa khayalan dan fantasi saja. Lagian, sekarang zaman sudah maju, Mak. Mana pula ada kerajaan-kerajaan. Apalagi ini di Indonesia. Haram hukumnya mendirikan kerajaan. Bisa-bisa dibom sama pemerintah itu kerajaan." Aku kembali terkekeh-kekeh. Tiba-tiba saja kurasakan muncungku diremas oleh tangan yang tidak kasat mata.
Kutatap Nyai Jelita yang sekarang memandangku tajam. Dia sepertinya marah. Apakah aku sudah terlalu lancang? Dasar mulur kurang ajar.
"Sekarang kamu boleh tidak percaya. Bagaimana kalau emak tunjukkan sesuatu sama kamu?" Nyai Jelita mengambil telapak tanganku, lalu meniupnya kuat. Aku memekik merasakan panas yang membakar. Nyai Jelita memegang erat tanganku ketika kucoba meronta-ronta. Semakin kuat kutarik, semakin panas, lalu keluar api kebiru-biruan dari telapak tanganku.
"Inilah api iblis yang selama ini mendekam di dalam tubuhmu, Nak!" Nyai Jelita melepaskan tanganku. Aku masih berusaha memadamkan api yang terus membakar. Rasanya seperti tubuhku akan hancur lebur menjadi abu. Sangking panasnya membuatku ingin meloncat ke kolam saja rasanya.
"Mak ... tolong ... panas banget ini! Tolong, Maaak!" aku kibas-kibaskan tanganku ke delapan penjuru angin. Namun, itu api masih saja menyala dengan hebat bahkan sekarang menjalas hampir ke sekujur tubuhku.
Apakah aku akan berubah menjadi Ghost Rider? Astaga! Somebody help meee!
"Tenang, Bul. Kamu tahu apa lawannya api?"
"Air, Mak!"
Aku ngeri sendiri melihat api berkobar dari mulutku. Ya ampun, pasti keren banget ini. Seluruh tubuhku menyala, Cuy! Gokil banget, sumpah! Duh, kamera dong! Kameraaa! Astaga!
"Betul! Air! Sekarang cepat keluar menuju pintu, terus mencebur ke sungai di belakang rumah." Dengan santainya nenek sialan ini menyuruhku berlari keluar rumah setelah apa yang dia lakukan.
Aku segera menuju pintu, menghambur keluar dan berlari ke belakang rumah. Benar saja. Ada sungai di sini. Walau tidak terlalu besar, tapi cukup membuat nyali ciut.
Kenapa?
Karena airnya deras banget.
Namun, aku tidak mau membuang masa. Tubuhku sudah seperti mau terbakar. Aku harus segera memadamkannya. Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera meloncat ke dalam sungai.
Wuzzzz!
Seperti api bertemu dengan air, begitulah suara desisan yang terdengar olehku. Rasa panas yang tadi menyelimuti tubuhku, sekarang berganti dengan hawa dingin yang sangat membekukan. Satu hal yang terlupakan olehku.
Aku tidak bisa berenang!
Astaga! Bagaimana ini? Aku kelelep. "Toloong! Maaak! Aku tenggelam, tolong aku ... Maaak!" Aku panik sumpah. Air terasa begitu deras hendak menghanyutkanku. Tanganku menggapai-gapai, berusaha mencari pegangan. Ya Tuhan, apakah aku akan mati hanyut? Enggak keren banget, sumpah! Selamatkan hamba-Mu, Ya Allah.
"Emaaak! Tolooong!"
"Kamu lebay banget, deh, Bul! Tinggal berdiri doang, kok. Itu kan airnya cuma setinggi pinggang. Heran, deh, anak jaman now, gampang panikan!"
Benar saja! Kakiku langsung bisa menyentuh dasar sungai. Aku pun berdiri dengan gagah berani dan menepuk dada. Alhamdulillah, aku masih hidup dan tidak jadi koit.
Tertatih-tatih, aku keluar dari sungai. Capek banget sumpah. Nyai Jelita berdiri di sampingku sambil terkekeh. "Kuy, ikutan emak."
"Ke mana, Mak?" Aku masih ngos-ngosan. Badanku dingin banget. Menggigil, Cuy!
"Ikut aja. Ntar keburu subuh." Nyai Jelita menyebrangi jembatan yang membentang di atas sungai. Aku segera beranjak mengikutinya. Begitu sampai di ujung jembatan, hutan lebat menyambut kami. Sangat gelap, dingin dan angin yang berembus seolah-olah menyiratkan agar aku hati-hati.
Di depanku Nyai Jelita melangkah dengan gesit. Tidak terlihat kalau dia sudah begitu sepuh. Padahal ketika aku sampai di rumahnya tadi siang, aku melihatnya menggunakan tongkat. Sekarang itu tongkat ke mana?
"Mak, tongkatnya mana?" Aku berdiri di sampingnya. Nyai Jelita berdiri tertegun menatap gelapnya belantara. Dia tidak menjab pertanyaanku. Lalu di menarik sesuatu dari rambutnya. Tadinya aku mengira itu hanyalah sebatang lidi yang digunakan untuk menyanggul rambut. Namun, ketika benda tersebut dia hunjamkan ke tanah, tiba-tiba saja berubah menjadi tongkat kayu hitam dan terlihat kuat.
"Wow! Bukan sulap, bukan sihir. Aku kira tadi ini tongkatnya Nabi Musa, Mak. Jangan-jangan bisa berubah jadi ular?"
Nyai Jelita terkekeh. "Kamu ada-ada saja. Ini namanya tongkat sakti. Namanya Tongkat Pembunuh Iblis."
Ih, ngeri namanya. Btw, selama perkenalanku dengan Nyai Jelita, ada-ada saja benda ajaib yang dia perlihatkan kepadaku. Mulai dari saluang api, sekarang tongkat kayu yang belum tahu aku apa kehebatannya.
"Emang iblis bisa dibunuh, Mak?" tanyaku penasaran. Karena setahuku, iblis itu abadi sampai kiamat tiba. Kalau Nyai Jelita bisa membunuh iblis, keren banget pasti.
"Namanya doang, Bul! Biar keren! Kamu gimana, sih? Itu saja tidak tahu." Dia kembali terkekeh. Perasaan Nyai Jelita suka sekali tertawa.
Dia mulai melangkah memasuki jalan setapak ke bagian terdalam hutan ini. Aku deg-degan sekaligus khawatir, kalau-kalau nenek tua ini melakukan hal jahat kepadaku. Secara personal, aku belum tahu banget tentang dia.
"Kita sebenarnya mau ke mana, sih, Mak?" Aku mulai tidak sabaran karena makin ke dalam semakin gelap. Jalanan setapak itu sudah lenyap berganti dengan belantara yang harus disibak dengan tangan.
"Kita sampai."
Aku ternganga ketika begitu keluar dari rerumputan yang setinggi manusia, dihadapkan pada sebuah lapangan luas. Hampir seluas lapangan bola.
"Ini di mana, Mak?"
Nyai Jelita tidak segera menjawab. Dia memegang tanganku dan menuntunku pada tumpukan batu di tengah lapangan. Ada satu batu sebesar baskom di antara batu-batu lainnya.
"Singgasana iblis ...." Nyai Jelita mendesis. Matanya menyiratkan misteri yan tidak tercerna oleh otakku.
"Singgasana iblis?" Aku bertanya dengan setengah berbisik. Perasaanku kian tidak enak. Ada hasrat untuk segera pergi dari tempat itu. Namun, pegangan Nyai Jelita kian kuat.
"Tempat ini adalah pusat kerajaan Talu-talu. Batu besar yang sekarang kamu lihat, dulunya adalah sebuah kursi singgasana sang raja. Namun, ketika kejayaan kerajaan ini runtuh, seluruh istana lenyap bak ditelan bumi, menyisakan batu hitam ini."
Aku diam bergeming. Perasaan gelisah kian kuat mendekam di dalam jiwa. Ada hal buruk sepertinya akan terjadi.
"Karena di darahmu mengalir darah sang Pangeran, maka kamu bisa menghadirkan kembali istana tersebut." Mata Nyai Jelita mendadak bersinar penuh harapan. Kuat dan mengintimidasi. Aku yang biasanya menanggapi segala hal dengan guyonan, mendadak lidahku terasa kelu.
"Apa ... yang harus kita lakukan?"
"Aku butuh darahmu, Astrea Bulan!" Suara Nyai Jelita melengking. Tangannya yang memegang tongkat, tiba-tiba diayunkan kuat ke tengkukku. Dunia terasa berputar. Tubuhku terjerembab ke bumi. Hal terakhir yang aku ingat adalah kekehan Nyai Jelita.
***
Tidakkah ada yang mau memberi komentar dengan cerita ini?