Aku masih ngambek dan mengkal. Cekikan Rara di leherku terasa sakit. Sialan! Seenaknya saja main cekik orang. Dikira enggak sakit apa? Setan memang seenak jidatnya saja. Mentang-mentang nafsunya lebih besar dari pada hatinya. Kalau sampai aku mati gimana? Sayang, kan, ya? Cowok seganteng aku dan berkualitas gini tewas dicekik Kuntilanak?
"Kamu masih ngambek?" Rara asyik menggantung di langit-langit rumah. Kadang aku heran sama ini Kunti. Dia kira dia kelelawar apa? Kali ini bau bunga udah berganti dengan bau bangkai. Bahkan dia menampakkan rupa jeleknya.
"Siapa yang ngambek?" Aku mendengkus dan membuang mata ke luar jendela. "Aku hanya tidak tahan dengan bau busuk dan menatap tampangmu yang menakutkan itu."
"Mulai ... mulai! Main fisik lagi, main fisik lagi! Kamu memang hobi menghina orang, ya? Sok banget, deh. Jangan karena kamu tampan, gagah dan ganteng, terus kamu seenaknya saja menghina orang." Kali ini dia meliuk-liuk mirip penari ular di langit-langit kamar. Kepalanya bergerak-gerak mirip ular kobra. Semakin menakutkan saja. Apalagi matanya yang merah itu menatapku buas.
"Emang kenyataannya begitu, Rara. Coba saja kamu bercermin. Lihat tuh gimana tampangmu. Jangankan aku, kamu sendiri pasti akan terkentut dan terkencing-kencing melihat rupamu sendiri." Walau takut, tapi mengatakan kebenaran itu perlu disampaikan. Aku yakin, hantu-hantu, setan dan makhluk halus lainnya itu pasti tidak pernah bercermin. Makanya tidak tahu kalau mereka memiliki wajah burik.
"Masa', sih? Awas, ya, kalau kamu bohong! Aku tidak segan-segan memakan jantungmu!"
Aku memutar biji mata sangking kesalnya. Sementara itu Rara perlahan-lahan turun dari awang-awang. Gaya turunnya itu benar-benar bagaikan slow motion. Namun, tetap saja mengerikan dengan wajah dan bau bangkainya itu.
Pelan-pelan dia mendekati cermin tua yang tergantung di dinding kamar. Dia yang terkejut aku yang terpekik.
"Apa, sih? Ngagetin aja, deh!" Rara melotot sambil menoleh marah ke arahku. Aku mengulum tawa. "Ternyata kamu benar. Wajahku jelek banget, ya? Ini kenapa ada belatung hidup, ya? Asli 'nggak, sih, ini?" Rara mengambil dua ekor belatung segede kelingking bayi dari pipinya. Terus dikasih lihat ke aku, "Periksa, Cuy?"
"Maleees! Ngapain juga aku ngurusin belatung segala macam. Setidaknya kamu sekarang tahu dan sadar, kan? Kalau tampangmu itu benar-benar menakutkan." Aku memencet hidung karena bau bangkai yang menguar dari tubuh Rara semakin pekat dan kuat.
"Iya juga, sih! Aku sampai ngompol dalam celana ini. Kaget sumpah melihat rupaku seburuk ini. Pantas saja anakku selalu menangis kalau aku gendong. Hikhikhik." Rara menghentakkan kakinya ke lantai. Saat itu juga tubuhnya diselubungi cahaya merah menyala. Sangat menyilaukan. Aku menutup mata agar tidak terjadi kerusakan pada mata indahku.
Begitu cahaya hilang. Sosoknya pun lenyap tak berbekas. Aku jadi kelimpungan.
"Rara?" Aku menatap ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Namun, Kuntilanak ajaib itu benar-benar lenyap tak berbekas.
"Rara ...! Where are you? Don't leave me, beibeh!" Aku panik, dong, ya? Masa' dia main tinggal gitu aja, sih? Ini aku masih terjebak di masa silam. Kalau dia ngilang gini, aku kudu gimana baliknya? Ya Tuhan, aku benar-benar takut, sumpah.
Di saat-saat panik begini, aku mendengar langkah kaki mendekat. Astaga, ada orang. Sepertinya mau masuk kamar. Duh, aku mesti ngumpet ini. Mesti bersembunyi biar aman. Segera saja aku berguling ke bawah ranjang kayu. Tak berapa lama aku melihat pintu terbuka, lalu sepasang kaki jenjang, putih dan bersih melangkah masuk.
Ini pasti kaki perempuan! Enggak ada bulunya. Mulus dan kerongkonganku mendadak terasa kering. Telingaku mendengarnya menyenandungkan sebuah lagu. Lagu yang tidak pernah kudengar.
Ini tahun berapa, sih, sebenarnya?
"Raraaa ....!"
Aku mendengar teriakan. Rara? Jadi orang yang baru masuk ini Rara? Hampir saja aku hendak keluar dari persembunyian ketika ingat mungkin ini Rara yang asli.
"Ya, Bu?" Suaranya benar-benar merdu. Hanya mengatakan ya Bu saja sudah membuat dadaku berdebar kencang.
"Ada Arya di luar!" Terdengar lagi jawaban seseorang di balik kamar. Mendengar nama Arya jelas aku kepo banget. Inilah lelaki yang Rara ceritakan beberapa waktu lalu.
"Bang Arya? Waaah! Sebentar, Bu!" Kentara sekali Rara begitu senang mendengar nama pria tersebut. Aku mencoba mengintip. Melihat apa yang Rara lakukan. Dia sedang berbedak dan menyisir rambutnya yang hitam dan panjang. Subhanallah! Ini makhluk apa, sih, yang diciptakan Tuhan? Cantik benar, deh!
Tidak berapa lama dia sudah berada di luar kamar. Aku pun bergegas keluar dari bawah ranjang dan mengintip dari celah dinding.
Saat itulah aku terlonjak dan tersurut mundur. Bang Arya? Dia ....!
Lidahku terasa kelu. Jadi Bang Arya itu ....
***
Ayo tebak, siapa dia? Hihihi!
***