Chereads / JERITAN HATI SANG KUNTILANAK / Chapter 6 - 6. Kolor Kuntilanak

Chapter 6 - 6. Kolor Kuntilanak

"I can't breath! Let ... meeeh ... goooh. Pleaseee ...." Rambut Rara semakin tebal saja rasanya. Hampir menutupi seluruh wajahku. Sesak sekali dada ini, Puan. Apakah yang Kuntilanak ini inginkan dariku? Apakah aku akan mati konyol begitu saja?

"Susah bernapas, ya? Mau mati rasanya, kan?"

Aku mendengar suara Rara, tapi tidak bisa lagi melihat wujudnya. Karena mataku ketutupan rambut yang baunya mulai begitu aneh.

"Apa yang Nona inginkan dari saya?" tanyaku dengan tenggorokan kering. Jantungku sudah tidak tahu lagi iramanya. Meloncat sana, meloncat sini. Sumbang dan tidak lagi bisa berdendang riang.

"Tidak ada. Justru kamu yang menginginkan sesuatu dariku, bukan?"

Kembali kumereguk ludah. Rasanya dia tahu apa yang aku inginkan. Kemampuannya bisa membaca pikiran dan mendengarkan suara hatiku membuatnya mudah mengetahui maksud terselubungku datang ke tempat ini dan bertemu dengannya.

"Jangan bermimpi kamu akan mendapatkannya. Tidak segampang itu, Ferguso! Kolor Kuntilanak hanya bisa didapatkan dengan cinta. Apa kamu memilikinya? Adakah cinta di hatimu, Wahai Lelaki Dari Kalangan Manusia?"

Lilitan rambut di kepalaku mendadak lenyap. Sebagai gantinya, aku dibuat histeris dengan penampakan wajah Rara. Kulit mukanya melepuh seperti disiram air panas. Biji matanya semerah darah. Mulutnya robek dan meneteskan cairan berbau busuk.

Aku terbelalak ngeri. Inikah penampakan asli Kuntilanak Merah? Begitu menakutkan dan mengerikan. Gaun merah menyelimuti seluruh tubuhnya. Tangannya terangkat ke atas, menampakkan jari jemari berkuku panjang dan runcing.

'Tahan napas selama 10 hitungan.'

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Tiba-tiba saja Rara celingukan. Wajah buruk rupanya mendadak lenyap, berganti dengan paras cantik jelita.

"Bul?"

Dia masih celingak-celinguk. Mencari-cari keberadaanku.

"Astrea Bulan? Kamu di mana?"

Aku masih diam menahan napas sambil menghitung-hitung. Dadaku mau pecah saja rasanya. Setiap hitungan ke sepuluh, aku mengembuskan napas secepat yang aku bisa lalu kembali menahannya.

Pertanyaannya sampai kapan aku akan melakukan hal ini?

"Aku tahu kamu masih ada di ruangan ini. Keluarlah! Aku tidak akan menyakitimu. Bukankah tujuanmu datang ke kampung ini adalah untuk bertemu denganku? Sekarang, aku sudah ada di hadapanmu, lalu kenapa kamu menggunakan ilmu menahan napas, melenyapkan raga?"

Dia tahu dengan triks bersembunyi dari hantu ini, Coy! Hebat benar si Rara. Bukankah dia bisa membaca dan mendengar suara hatiku? Aneh bin ajaib juga kalau dia sekarang tidak bisa mendeteksi keberadaanku.

"Ya sudah. Aku ingin tahu, selama apa kamu mampu bertahan dan bersembunyi dariku. Jika nanti kita bertemu lagi, aku tidak segan-segan mencabut jantungmu dan membunuhmu, Bulan!"

Tentu saja ancaman ini tidak bisa kuanggap sepele. Aku sangat takut dan jelas, sangat khawatir. Buru-buru aku mengembuskan napas dan terengah-engah karenanya.

"Hikhikhik ... ternyata mentalmu tempe sekali, Astrea Bulan. Baru diancam segitu saja sudah langsung nongol. Enggak seru, akh!" Rarashati melayang ke arahku. Satu hal yang luput dari perhatianku adalah kenapa tidak ada bayi dalam gendongannya? Ke mana perginya makhluk kecil mungil yang tadi melengking tinggi suara tangisannya?

Ah, bomat! Setidaknya aku harus tahu, mau ngapain aku sekarang?

"Aku capek sekali. Bisakah kamu pergi, Nona? Aku mau tidur!" Tanpa menunggu jawabannya aku kembangkan matras, lalu langsung bergelung di atasnya.

"Duh, cepat amat tidurmu. Bencong aja pulangnya pagi. Ayo, bangun dulu, Cuy! Aku mau ngegosip, nih!"

Mendengar kata gosip, aku segera duduk. Kapan lagi coba bisa mengghibah dengan Kuntilanak.

"Ayo, duduk sini! Kamu mau cerita apa?"

Rarashati segera duduk di sampingku. Bau bunga rampai kembali memenuhi ruang hidung.

"Tapi sebelum aku cerita, ngopi dulu, dong! Biar makin mantap dan maknyos!"

Dengan semangat pula aku menjerang air lalu menyeduh dua cangkir kopi. Kepulan uap dari minuman tersebut  mengantarkan aroma wangi kopi hitam.

"Aku terharu ...." Rarashati terisak-isak tanpa kusadari.

"Eh, kamu kenapa nangis?"

"Ini ...." Dia membaui aroma kopi, "Sudah lima puluh tahun aku tidak minum kopi. Rasanya, aku seperti masih hidup di bumi. Menyesap kopi berdua dengan Mas Arya."

"Who is Mas Arya?"

Mendengar pertanyaanku, mata Rara tiba-tiba menggelinding jatuh ke lantai. Membuatku terpekik kaget. Namun, secara ajaib mata itu kembali melesat dan masuk kembali ke dalam rongganya.

Dia terkikik-kikik kesenangan, "Kamu mudah sekali jantungannya. Ntar copot lho jantungnya. Apa mau mati muda? Apa tidak mau merasakan indahnya surga dunia?"

Aku hanya bisa memelintir kumis dan mengeluarkan kutuk serapah di dalam hati. Dia senang, aku gamang!

"Jadi, Mas Arya itu siapa?"

Kali ini kepalanya yang copot.

Sudahlah! Aku enggak kuat lagi. Aku enggak sanggup lagi dimainin kayak gini.