Aku menghela napas panjang. Sepanjang jalan kenangan kita berdua. Iya, kita. Aku dan kamu. Itu artinya kita. Rasanya gondok gimana gitu, udah capek-capek bicara, eh, yang kuajak ngemeng ternyata hanyalah seekor patung. Kesel, deh, akh, akh, akh. Ikh, ikh, ikh. Yang paling seksi, seksi sekali. Kamulah makhluk hidup yang paling seksi, seksi sekali.
Udah, akh. Mending aku masuk ke dalam rumah. Gelap, Mak! Sangat gelap. Enggak ada cahaya sama sekali. Bagaimana ini? Lampu togok yang tadi dipinjamkan Pak Acung, sudah mati terhembus angin malam. Untung saja aku tidak phobia kegelapan. Dan untungnya lagi, aku walau bukan perokok aktif, selalu bawa korek hidung ke mana-mana.
Kunyalakan korek api, lalu cuzzz. Lampu togok pun menyala dengan riang gembira. Bahagia rasa hati begitu melihat cahaya yang menerangiku di dalam kehitaman tanpa noda, dosa, suci lahir dan batin. Semakin ke sini, kalimatku kian bertele-tele. Jangan kalian anggap ini kesalahan disengaja, ya? Karena sejujurnya pikiranku sedang berusaha mengusir rasa takut yang menyerang.
Bagaimana tidak? Coba kalian bayangkan, kalian berada di dalam sebuah rumah tua yang sudah tidak layak huni. Apa yang Pak Acung kata, ternyata bokis belaka. Katanya di dalam sini bersih dan rapi. Nyatanya, dipenuhi sarang laba-laba, lantai yang kotor dan lembab. Bau bangkai masih terasa menusuk hidung. Cuma ada dua kamar di dalam rumah ini. Atap rumah sebagian sudah lenyap entah ke mana. Hanya ditutupi oleh akar-akar pohon tanaman rambat menjela-jela.
Di salah satu kamar aku memutuskan untuk menenangkan diri. Sebisaku saja kubersihkan ruangan tersebut. Selain cahaya yang minim, aku juga tidak punya perlengkapan untuk bersih-bersih. Untungnya, selain ransel berisi pakaian, aku juga tidak lupa membawa matras gunung yang biasanya kugunakan di gunung. Namanya saja matras gunung, ya? Tentu saja digunakan di gunung. Kecuali susu beruang. Belum tentu itu diperas dari susunya beruang. Lucu sekali.
Terus mau ngapain kita lagi, nih? Duduk bengong sambil ngupil? Atau makan malam dulu? Kayaknya makan malam dulu, deh. Kebetulan aku bawa beberapa mi instan. Boleh sebut merk, 'nggak? Tentu tidak. Baiklah. Kukeluarkan Trangia. Mulailah aku kuking-kuking.
Tidak berapa lama kemudian, mi instan siap disantap.
Tamat.
Selesai makan, aku tidur rencananya. Habis boring banget, sumpah. Ngapain, sih, aku di sini? Kayak orang bodoh. Uji nyali apa harus segitunya? Datang ke kampung orang. Kampung antah berantah. Lalu tinggal di rumah tua yang tidak layak huni.
Demi apa?
Apa yang aku cari, Tuhan?
Tidak terasa mataku basah. Aku nangis, Gaes. Boleh nangis kejer, 'nggak? Boleh, dong, ya? Dan aku pun nangis meratap sambil guling-guling di lantai.
"Woy, kamu ngapain, sih? Berisik banget!"
Aku yang sedang guling-guling, sontak terkejut dan melompat bangun. Suara seorang perempuan.
Kuedarkan pandangan. Ketika mataku pas di posisi pintu kamar, mataku melotot berjamaah.
"Kamuuu ...?" Tenggorokanku mendadak kering kerontang. Dadaku berdebar sangat kencang. Tidak percaya dengan apa yang kulihat.
"Iya, aku! Kenapa? Ada masalah kamu dengan hidupku? Cih!"
Di depanku, seorang wanita memakai gaun panjang berwarna merah darah sambil menggendong sesosok bayi berdiri dengan wajah jutek. Rambutnya panjang tergerai. Hitam. Dan wajahnya itu, lho. Cantik. Sangat cantik. Walau pucat, ya? Tapi, rasanya sangat familiar.
"Tidak ... tidak ada masalah, Kak!" jawabku terbata-bata.
"Kak, kak, kak! Sejak kapan aku jadi bapakmu?"
Aku terkikik mendengar ucapannya. Lucu juga dia ternyata. "Maaf, Nona. Saya tidak tahu kalau ada orang lain di rumah ini."
"Makanya, punya mata itu dipakai. Sudah jelas-jelas aku menyambutmu di depan rumah, kamu malah bicara tidak karuan rupa."
Aku terkejut, dong, ya? Pantas saja wajahnya begitu kukenali. "Jadi Nona bukan patung?"
"Ya, enggaklah! Aku ini hantu. Kuntilanak merah. Penghuni rumah tua ini dan sekaligus aku dikenal dengan nama Rarashati. Kamu boleh memanggilku, Rara."
Dia mengulurkan tangan. Kami pun berjabatan tangan dengan hangat. Kulitnya lembut sekali.
"Salam kenal, Rara." Aku berikan senyum termanisku.
Dia tersenyum. "Untuk tamu, rasanya sangat tidak sopan kalau aku menyambutmu dengan kondisi seperti ini. Sebentar, ya?"
Rara mengacungkan tangannya ke udara. Lalu menjentikan jemarinya.
Cling!
Seketika ruangan di dalam kamar ini berubah.
Berubah jadi apa?
Prok prok prok!