"Elis cepatan!". Teriak Dava dari bawah.
"Iya,tunggu sebentar". Mengambil tasnya.
Langkahnya terhenti ketika bunyi pesan masuk ke dalam komputernya.
"Elis cepetan!".
"Iya, iya" menutup pintu kamarnya.
"Dari siapa ya, pakek kirim e-mail segala" Batinnya.
Motor sport itu keluar dari kawasan elit menuju jalan raya. Seperti biasa, menyalip kendaraan yang ada di depannya.
"Dav, bisa nggak pelanan dikit, nggak usah ngebut, lagian besok juga hari minggu"
Dava memelankan laju kendaraannya. Berbelok memasuki jalan sempit yang gelap, melewati perkampungan kecil hingga sampai di sebuah lapangan yang luas. Ia kemudian memakirkan kendaraannya di tempat parkir yang sudah disediakan.
"Dari mana kamu tau tempat ini?". tanya Elis
"Biasanya setiap tahun, mereka mengadakan pasar malam. Ayo'!"
Elis mengikuti langkah Dava memasuki arena pasar malam yang sebenarnya merupakan sebuah lapangan yang digunakan oleh anak-anak setempat untuk bermain.
"Dav,aku mau itu". Menunjuk penjual permen kapas.
"Kau mau?".
"Tidak, kau saja".
Elis mengagguk sambil terus menikmati permen kapasnya.
"Bagaimana kalau kita masuk ke rumah hantu, kelihatannya seru" Ajak Elis saat matanya menangkap wahana rumah hantu.
Setelah membeli tiket, mereka langsung masuk. Suasana gelap mulai menyelimuti mereka. Bayangan demi bayangan mulai berkelebat disekitar mereka. Bersama dengan munculnya berbagai macam makhluk yang biasa kita sebut sebagai hantu, mulai dari pocong, kuntilanak, sundel bolong, gunderuwo. Tak lupa juga dengan benda-benda yang berbau mistik. Sesekali mereka dikagetkan dengan kepala tengkorak yang jatuh.
"Kurasa kau tidak takut sama sekali".
"Just a game".
Seketika raut wajah Elis berubah setelah, sekelebat bayangan lewat begitu cepat. "Ada apa?" Tanya Dava saat Elis tiba-tiba berhenti.
"Tidak ada, hanya terkejut saja"
"Kau takut?". Ucap Dava mengangkat sebelah alisnya.
"Mungkin. Sedikit". Jawab Elis. Namun Dava tak percaya begitu saja, ada yang disembunyikan Elis, firasatnya berUcap begitu. Ada sebuah ketakutan yang terpancar dari bola matanya.
"Huuuhh…, akhirnya".
"Apa yang kamu takutkan?".
"Rumah hantu disini lebih seram dari yang pernah aku kunjungi. Kita kesana yuk!" Mengalihkan perhatian.
"Jepit ini kayaknya cocok untukmu". Memasangkannya pada Rambut Elis.
"Makasih"
"Aku ambil gelang yang ini" .
"Dav,kita istirahat sebentar ya, kakiku sudah pegel nih, dari tadi jalan terus".
"Kita duduk disana, sambil cari minum". Menunjuk salah satu penjual makanan.
"Mau minum apa?".
"Air mineral".
"Air botolnya dua,Buk".
"Ini". Menyodorkan dua botol tanggung mineral
"Makasih, bu" Ucap Dava menegluarkan beberapa uang ribuan.
"Baru pertamakali kesini ya nak?". Tanyanya kemudian
"Iya, buk". Ucap Dava berbohong"
"Wah, kalian beruntung sekali. Ada seorang paranormal yang entah kapan waktunya ia datang kemari. Ramalannya selalu tepat,banyak orang yang mencoba meramal nasip disana. Tapi ada juga yang tak berani, takut mendapatkan ramalan yang buruk" Ucap pedagang itu menjelaskan.
Mereka hanya mengangguk mengiyakan, penjelasan ibu itu."Apa kalian tak tertarik untuk mencobanya?".
"Kayaknya enggak buk, soalnya kami sudah lelah berkeliling dari tadi".
"Sayang sekali, ini kesempatan yang langka, bisa diramal oleh paranormal".
"Terima kasih atas tawarannya".
"Dav, kita pulang yuk!, udah larut malam ni".
Menganggukan kepalanya ke arah Elis". Kami balik dulu ya, bu".
"Iya, nak, hati-hati".
"Lewat sini Dav!".
"kenapa Elis memilih jalan yang lebih ramai?".
"Kenapa mereka ngikutin aku sama Dava, siapa mereka sebenarnya?". Memegang erat tangan Dava.
Dava hanya milirik tangannya yang dipegang Elis, sementara Elis mempercepat langkahnya tampa mempedulikan orang disekitarnya.
Elis masuk ke dalam sebuah tenda kecil yang tertutup. Menurutnya inilah tempat aman untuk bersembunyi sementara waktu. Ia membiarkan Dava menatapnya heran, sementara ia mulai mengatur jalan napasnya.
"Selamat datang di tempat Madam Eart"
Elis mundur selangkah. Namun badannya tertahan oleh tubuh Dava.
"Maaf, aku membuatmu terkejut" Ucap Madam Eart sambil tersenyum."Apakah kau ingin diramal bersama pasanganmu?".
"Tidak, eh bukan. Iya, aku ingin diramal dengan pasanganku. Ayo Dav!" Menarik tangan Dava.
Madam Eart hanya tersenyum, ia seakan tahu kalau Elis sedang berbohong kepadanya. Lalu, mempersilakan mereka duduk.
"Apa yang ingin kalian tahu tentang diri kalian?".
"Apa yang Madam bisa tahu?". Ucap Elis balik bertanya.
"Baiklah, ambil satu tulang ini!".
"Ambil!" Ucap Madam melihat Elis yang ragu untuk mengambil tulang dari dalam mangkuk..
"Kau juga!". Ucapnya kepada Dava.
"Tak usah takut, tulang ini dari bangkai-bangkai burung yang sudah mongering, sudah kuberi mantra" Ucapnya lagi seolah ia dapat membaca apa yang ada di dalam benak Dava.
"Terkadang masa lalu membuatmu tegar, walaupun kau ingin menghapus masa lalumu"
Dava heran dengan ucapan Madam yang secara tiba-tiba , tanpa ada yang pernah menyinggung tentang masa lalu.
"Lupakan!". Ucapnya kemudian melihat raut wajah Dava yang kebingungan.
"Letakkan tulangnya ke dalam api biru ini!".
Mereka mengikuti apa yang diperintahkan Madam. Seketika itu juga api mulai membesar melahap apa yang ada di hadapannya. Terkadang muncul semburan api berwarna merah darah yang kemudian mengecil menjadi api biru. Perubahan itu membuat mereka terkejut, terlebih lagi tulang belulang itu mulai retak termakan api. Namun, anehnya hanya satu tulang yang terbelah menjadi dua, sementara tulang yang satu hanya mengalami retakan.
"Wow,fantastic. Untuk pertamakali aku menemukan hal ini" Dengan wajah antusias.
Dava dan Elis saling berpandangan tak mengerti dengan apa yang diucapkan Madam Eart. Melempar tanya dengan bahasa isyarat. Setelah itu, mereka melihat wajah Madam yang berubah menjadi lebih serius.
"Bunga sakura berlumuran darah,bunga melati terpercik darah. Kegelapan datang dari utara menuju selatan, dilema dimasa lalu. Kemenangan membutuhkan pengorbanan" Ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari api yang mulai mengecil.
"Dan kau" Mengarahkan pandangannya ke arah Dava. "Dunia yang berbeda, dia akan hilang dan datang dengan masa yang berbeda, tergantung dari usahamu".
"Tak usah dipikirkan!, itu cuma trik seorang paranormal untuk memancing pelanggan". Ucap Dava sambil memasang helmnya.
Elis hanya terdiam banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Hingga ia tak mendengarkan ucapan Dava.
"El, helmnya".
"Eh, iya apa?".
"Kamu melamun?" Mengambil helm ditangan Elis,lalu memasangkannya. "Kamu nggak usah mikirin apa yang dibilang sama paranormal itu!"
Elis mengangguk pelan.
Motor sport itu melaju meninggalkan pasar malam, meninggalkan keramaian yang ada. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar di sepanjang jalan yang mereka lalui. Maklumlah, mereka berada didaerah pedalaman yang masih asri belum tersentuh oleh peralatan yang modern.
"Bagaimana ini ?,aku yakin mereka mengikuti kami. Apa yang harus aku lakukan ?,akankah aku memberitahu Dava kalau ada yang sedang mengikuti kami, tapi kalau aku memberitahunya, dia akan curiga. Akan tetapi jika aku tidak memberitahunya, ini akan membahayakan dia dan rahasiaku akan terbongkar. Bagaimana ini?"
Elis memejamkan matanyanya. Membangunkan indra keenam untuk mencari jawaban atas kebimbangannya.
"Dav,apapun yang terjadi, teruslah melaju jangan sampai berhenti!".
"Maksudmu?".
"Aku mohon, jangan bertanya dan dengarkan apa yang aku katakan!".
"Bisakah kau lebih cepat?".
"Apa kau yakin?".
"Iya" Mengeratkan pegangannya pada Dava.
Dava mengikuti ucapan Elis, menambah kecepatan sepeda motornya, walaupun ia tahu itu akan beresiko besar, terlebih jalan yang mereka lewati adalah jalan perkampungan yang sewaktu waktu orang bisa lewat kapan saja.
"Elis, kayaknya ada orang".
"Jangan berhenti!". Teriak Elis agar bisa didengar oleh Dava.
"Tapi, kita akan menabraknya".
"Tidak akan. Percayalah".
"Pegangan yang kuat!".
Dari balik spion, Elis dengan samar samar dapat melihat mereka, tapi sayangnya ia tidak dapat mengenali siapa mereka. Wajah mereka tertutup oleh topeng.
"Sekarang kau bisa memelankan motormu" Ucap Elis bernapas lega.
"Kau kenapa sih ?, kau terlihat aneh setelah diramal"
"Aku tak apa. Munkin aku hanya sedikit lapar"
Dava tersenyum dan langsung memarkirkan motornya disebuah restoran cepat saji.
"Mau makan apa?".
"Terserah kamu".
"Wajah kamu pucet banget, kamu sakit?". Menyentuh dahi Elis."Sebaiknya, kita pulang saja" Membawa Elis keluar dari dalam restouran.
"Kau langsung masuk. Aku memasukkan motor dulu" Ucap Dava saat mengunci gerbang.
Elis langsung masuk tampa mengucapkan sepatah kata. Sementara Dava masuk lewat pintu samping, setelah menaruh motornya dibagasi. Sebelum memasuki kamarnya, ia pergi ke kamar Elis untuk memastikan apakah Elis baik-baik saja.
"El… ?" mengetuk pintu kamar Elis.
"Kamu sudah tidur?" Tidak ada jawaban dari dalam.
"El… ?" kembali Dava mengetuk pintu kamar Elis.
"Pintu kamarnya nggak di kunci" Setelah menarik ganggang pintu. Ia kemudian masuk ke dalam kamar Elis. Namun, pemilik kamar tidak ada disana. Dava mencoba mencari disekitar kamar Elis. Namun tak ditemukannya.
Dava berlari turun kebawah, berharap ia akan menemukan Elis. Dicarinya di dalam ruangan yang ada satu persatu, mulai dari ruang tamu sampai dapur,tetapi orang yang dicari tetap tidak ada.
"Kemana perginya ?. Jangan-jangan" Ia kemudian berlari kearah pintu masuk. Benar saja, ia menemukan Elis tergeletak begitu saja. Dava kemudian membawanya ke dalam kamar.
***
Keesokan harinya, Dava langsung menuju meja makan, tak ada makanan yang ia temukan."Tumben dia belum bangun,apa munkin dia sakit?".
Ia kemudian naik ke kamar Elis. "El… ?". Tak ada jawaban. "Aku masuk ya?". Lagi-lagi tak ada jawaban. Ditariknya gangang pintu, lalu masuk kedalam kamar Elis.
Dava mencoba membangunkan Elis, tapi orang yang dibangunkannya tak juga bangun. Ia kemudian menyentuh dahi Elis untuk memastikan apakah dia sakit. Suhu tubuhnya normal, tapi anehnya kenapa ia tak juga bangun. Sudah beberapa kali ia membangunkan Elis, tetap saja orang yang dibangunkan tak kunjung sadar.
"Apa yang sebenarnya terjadi, suhu badannya normal, pernapasannya normal, tapi kenapa ia tidak sadar juga. Aneh". Ucapnya pada diri sendiri.
"Apa Elis punya penyakit?. Masa iya, tapi itu nggak munkin, papa nggak pernah cerita soal itu"
Handphone Elis tiba-tiba bergetar. Dava membukanya tampa izin. Ia tak mengerti dengan pesan yang ia baca. "Bahasa apa ini ?,kenapa huruf-hurufnya berantakan?'.
"Maaf, Elis lagi sakit. Ini siapa ya?" Membalas pesan yang dibacanya.
Handphone Elis kembali bergetar. Kali ini sebuah telephone masuk. Dava langsung mengangkatnya.
"Hallo?" Ucap Dava mengawali pembicaraan.
"Hallo, Elis sakit apa ya?" Tanpa bertanya siapa lawan bicaranya.
"Aku juga nggak tahu, dia pingsan dari tadi malam, tapi anehnya suhu badannya normal. Apa sebaiknya aku bawa dia kedokter?"
"Jangan!"
"Kenapa?" Tanya Dava pada orang diseberang telephone.
"Dia baik-baik saja, dia cuma kelelahan. Dua atau tiga hari dia bakalan sadar, tergantung tingkat kelelahannya, iya tergantung tingkat kelelahannya" Terdengar ragu.
"O-oh begitu. Baiklah, ada yang ingin kau sampaikan?".
"Tidak ada, nanti aku yang akan memberitahunya langsung. Ini Dava kan?".
"Iya. Dari mana kau tahu namaku?".
"Elis sering cerita tentangmu".
"Oh ya?".
"Iya. Perkenalkan namaku Nata"
"Ok., Nat, aku mau berangkat sekolah dulu, kita lanjutkan nanti saja" Mematikan saluran telephonenya.
"Dav, tumben kamu nggak barengan sama Elis?" Tanya Rangga sesampainya di dalam kelas.
"Dia ngga masuk"
"Kenapa?"
"Sakit"
"Sakit apa?"
"Ngga tau, Ucap temannya sih dia cuma kecapean". Mengangkat bahunya.
"Temannya?". Beo Rangga.
"Iya. Namanya Nata dia nelphone ke Elis, aku yang angkat". Jawab Dava menjelaskan.
"O-o" Ucap Rangga ber-oh, sambil menganggukan kepalanya..
"Beri salam" Ucap sang ketua kelas menghentikan obrolan mereka.
"Selamat pagi bu guru" Ucap anak –anak dengan serempak.
"Pagi anak-anak. Sekarang kalian mendapatkan teman baru dari negeri matahari terbit." Ucap bu Husna.
Terdengar suara gaduh dari anak-anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.
"Tenang anak-anak!" Sambil memukul meja.
Setelah cukup tenang, bu Husna mempersilakan murid baru itu masuk. Kali ini tak terdengar lagi suara gaduh, mereka terpana dengan murid baru itu, ada sesuatu yang berbeda dari dirinya yang tak pernah mereka jumpai selama ini.
"Ohayo (selamat pagi)
"Ohayo" Terdengar jawaban dari beberapa anak sementara yang lain hanya terdiam. Melihat hal itu, murid baru itu menarik napas sebelum ia mengucapkan kata selanjutnya.
"Perkenalkan namaku Tetsu Haranata. Kalian bisa memanggilku Nata. Aku berasal dari Jepang, tapi aku bisa bahasa Indonesia karena ada seorang teman yang mengajariku. Apakah ada yang ingin ditanyakan?".
"Matamu, iya matamu"
"Oh mata ini,secara medis mata ini disebbut heterochromia. Hal ini terjadi dari hasil mutasi ginetis, yang menyebabkan warna iris berbeda dari mata yang satu dengan mata yang ada disebelahnya" Ucap Nata menjelaskan.
"Oooh" Ucap mereka dengan serempak.
"Baiklah. Sudah cukup perkenalannya, kalian bisa bertanya di luar jam pelajaran. Nata silakan duduk!".
Nata menyapu pandangannya ke sekeliling kelas mencari bangku yang kosong. Hanya ada satu bangku kosong pada deretan paling belakang.
"Hai" Sapa Nata pada orang yang ada di sebelahnya. Namun orang yang disapa tidak mempedulikan kehadirannya. Dia tetap asyik dengan dunianya sendiri, memandang keluar jendela, entah apa yang dilihatnya.
"Oke". Ucap Nata dengan wajah santai yang dibuatnya. Ia tak ingin kalau hari pertamanya berantakan gara-gara perlakuan cowok di sampingnya itu.
"Ndak usah dipikirkan!, emang kayak gitu anaknya. Jangan dimasukkan ke dalam hati ya!".
Nata tersenyum kearah Rangga.
"Kenalin, Rangga"
Nata"
"Aku Bimo" Berbalik ke arah Nata
"Tumben kamu tertarik sama cewek. Aku kira kamu homo" Ucap Rangga yang melihat perubahan pada teman sebangkunya itu.
"Sialan, enak aja kalau ngomong, kamu kali yang homo".
"Idih…, gitu aja marah".
"Habisnya kamu ngomong kayak gitu di depan cewek, entar kalau dia ilfeel gimana?".
"Yah, itusih derita lo".
"Rangga, Bimo. Kalian ribut aja dari tadi. Mau ibu suruh keluar?".
"Jangan!". Teriak mereka dengan serempak.
Bu Husna kembali melanjutkan materi yang sempat tertunda akibat ulah Rangga dan Bimo sampai bel jam pergantian pelajaran berbunyi.
"Nat, Jepang itu kayak gimana sih?". Ucap Rangga setelah bu Husna keluar.
"Kayak negara" Ucapnya dengan wajah polos.
Mendengar jawaban Nata, lantas Bimo tertawa cekikikan.
"Kalau yang itu gua juga tahu,tapi kehidupan disananya".
"Ohh itu, biasa. Nggak jauh beda sama Indonesia, yah perbedaannya cuma dalam segi teknologi dan budaya, selebihnya sama kok sama Indonesia".
"Iyah, itu mah gua tahu".
"Itu tahu, kenapa nanya?".
Kembali Bimo tertawa mendengar jawaban Nata. Walaupun ia hanya mendengarkan. Sementara Dava asyik tertidur di bangkunya tanpa terganggu oleh tawa Bimo.
"Eh, kenapa dia dari tadi cuma diam doang?". Menunjuk kearah Dava
"Dia emang kayak gitu orangnya. Ngga usah dipeduliin!".
Nata mengangguk lalu memalingkan pandangannya dari Dava.
"Oh ya, hampir lupa, mau nanya nih" Ucapnya lagi.
"Apaan?".
"Kenapa kamu mau sekolah disini?, padahal disanakan sekolahnya lebih bagus"
"Karena ingin ketemu sama teman lama".
"Siapa?, dia sekolah disini juga?".
"Yang aku dengar sih kayak gitu, tapi dari tadi nggak keliatan"
"Munkin dikelas lain".
"Munkin aja".
"Ngga usah sedih, aku bakalan bantu kamu kok" Ucap Rangga penuh semangat
"Makasih"
"Aku juga" Kali ini Bimo angkat bicara.
"Terima kasih"
"Kayaknya lagi jam kosong nih, kantin ayo".
"Kalau guru datang gimana?".
"Tenang aja nggak bakalan kok,juga tinggal satu jam lagi".
"Iya dah ayo!, udah lapar banget ini". Ucap Bimo menimpali.
Nata berdiri mengikuti Rangga dan Bimo menuju kantin yang berada di bawah dekat lapangan basket.
Saat melewati kelas Xll IPA 4, Nata merasakan suatu yang aneh di dalam kelas itu. Auranya sangat kuat. Nata mencoba mencari tahu dari balik jendela siapa pemilik aura tersebut.
"Nat, ayo" Panggil Rangga dan Bimo hampir berbarengan.
"Iya, tunggu". Nata berlari kecil ke arah mereka.
"Liat apa sih?".
"Ngga ada, cuma liat mereka lagi belajar aja, kebetulan yang diajarin mereka udah aku pelajari di sekolah lama"
"Oooo. Hebat dong, kapan kapan boleh dong aku kerumah kamu buat belajar"
"Boleh".
"Aku juga dong".
"Iya" Sambil tersenyum kearah Rangga dan Bimo.
Untung saja mereka langsung percaya dengan ucapan Nata, sehingga ia tak perlu lagi mencari alasan lain.
"Gimana enak ngga, baksonya?" Tanya Rangga saat Nata mulai mencicipi bakso pesanannya. Ia hanya mengangguk tersenyum kecil.
"Kalau disini lebih enak kalau belanja pas sepi".
"Kenapa?".
"Kalau rame bakalan lama dilayanin".
"Oooh". Nata membeo.
"Iya. Nggak minat buat keliling ni sekolah, aku temenin dah". Ucap Rangga menawarkan. Sementara Bimo asyik dengan makanan yang ada dihadapannya. Emang tuh anak kalau ketemu makanan langsung berubah.
"Bim, kamu makan mulu dari tadi" Ucap Rangga yang tak tahu harus ngomong apalagi.
"Lagi lapar nih, tadi malam aku nggak makan"
"Dasar"
"Kamar mandinya dimana ya?". Tanya Nata menghentikan obrolan mereka.
"Dari sini lurus, terus nanti ada tangga ketiga, naik keatas larus dikit, nanti ada tulisan toilet, keliatan kok"
"Oke thanks" Nata kemudian keluar dari dalam kantin. Lalu berbelok ke halaman belakang, bukan ke arah yang ditunjukkan Rangga. "Mungkin, kalau dari atas gua bisa ngeliat semuanya"
Setelah melihat kiri kanan dan dirasa sepi, ia mulai naik melalui tembok, berlari secara vertikal. Ia memulai pengamatannya dengan menggunakan teropong yang ada dalam kacamatanya itu. Meneliti objek yang ada di hadapannya.
"Masih mencari?".
Berbalik kearah sumber suara."Aura yang tadi".
"Sampai mati pun kamu ggak akan nemuin dia. Apakah kamu masih mengingatku Tetsu Haranata ?". Membuka penutup jaketnya.
"Sanara Shouzan". Mata Nata melebar terkejut.
"Kau nampak terkejut melihatku".
"Sejak kapan kau ada disini?".
"Barusan. Sama seperti kau, aku murid baru disini".
"Kenapa kau disini?, apa tujuanmu datang kesini?". Sambil memasang kuda – kuda.
"Kau tak perlu begitu, aku tak akan menyerangmu disini. Sama seperti kau, aku ingin menemui tuanmu dan membawanya kembali untuk membunuhnya. Dengan begitu tidak ada lagi keturunan Batosai di dunia ini".
*Batosai adalah sebutan untuk para pembunuh berdarah dingin pada zaman restorasi meiji.
"Dunia ini sudah berubah bukan lagi zaman Edo atau restorasi Meiji. Kau tak perlu mencari kami sampai sejauh ini. Biarkan kami hidup dengan tenang. Lagi pula tuanku, menghilang dari Jepang agar ia bisa hidup dengan tenang. Tampa dikejar –kejar oleh orang seperti kalian".
*zaman Edo adalah awal zaman modern di Jepang.
*restorasi meiji terjadi pada abad ke-19 dimana pada masa itu samurai dikarang menggunakan katana.
"Itu hanyalah alasanmu untuk melindungi tuanmu. Setelah kalian bersatu kalian akan membunuh kami bukan?, kalian pasti sedang menyusun strategi untuk membasmi kami. Mana mungkin seorang Batosai akan hidup damai tanpa membunuh. Selain itu juga kami sudah berjanji pada Lucifer untuk memberikan air mata dan darah tuanmu".
Nata terdiam.
"Kurasa pertemuan kita cukup sampai disini. Sampai jumpa lagi Ara-chan." Lalu pergi melalui tangga yang ada.
DEG!
"Beraninya dia menyembut nama itu lagi" Rasanya tubuhnya mulai memanas, terbakar oleh kebencian.
"Habis kemana aja, Nat?, keringatan lagi". Ucap Rangga setiba Nata di kelas.
"Kesasar" Ucap Nata berbohong.
"Lain kali, kamu ikut saran aku buat keliling ni sekolah"
"Hehe, iya. By the way, cowok yang ada disebelah kemana ya?".
"Pulang".
"Pulang?".
"Iya, dia izin, sakit".
"Oooh, pantasan dari tadi tidur mulu".
"Tidak ada yang tahu dia sakit atau nggak, soalnya kayak gitu kebiasaannya".
"Nggak dimarah?".
"Ngga ada yang berani negur dia, termasuk para guru".
"Kok bisa?".
"Anaknya paling pinter di sekolah ini, terus ayahnya adalah penyumbang dana terbesar di sekolah".
"Oooh, pantas". Ujarnya cuek.
"Tapi tenang aja, orangnya baik kok. Dia nggak ngandalin harta bokap buat populer".
"Oooh". Nata hanya membeo tak peduli.
"Dia sahabatku, dia yang bantuin aku kalau kalau lagi kesusahan".
"Dasar cewek gegatalan" Nata langsung menoleh kepemilik suara..
"Kenapa Nat?".
"Kamu nggak dengar kalau dia bilang aku cewek kegatalan?".
"Nggak".
"Astaga aku lupa lagi dimana".
"Mungkin perasaan kamu aja".
"Selamat siang anak-anak" Sapa seorang guru.
"Siang pak guru" Jawab mereka serempak sambil ada yang memperbaiki mejanya yang tak beraturan dan posisi duduknya.
"Apa kalian sudah mengerjakan PR kalian?".
Mereka saling berpandangan satu sama lain. Melempar pertanyaan lewat bahasa tubuh dengan teman terdekat mereka."Belum, Pak" Ucap mereka dengan wajah sedih yang dibuat-buat.
"Baiklah, apa ada yang bersedia menuliskan bapak soal kemarin?".
"Saya, Pak" Ucap Bimo kemudian.
Rangga terkejut dengan sikap teman sebangkunya yang berubah secara mendadak , tak biasanya Bimo mau maju kedepan untuk menulis soal, terlebih ini soal fisika.
"Kesambat setan apa tuh anak, bukannya dia paling alergi maju ke depan?". Ucapnya pada diri sendiri.
"Terima kasih, Bimo" Ucap pak guru setelah Bimo selesai menulis soal.
"Baiklah, apa ada yang mau mencoba?, nanti bapak bantu" Ucap pak guru kemudian.
Tak satu pun bergerak dari posisinya, mereka masih setia berdiam diri di bangku masing- masing.
"Murid baru, apa kau ingin mencoba?". Tanya pak guru kemudian.
Nata langsung mengambil spidol dari tangan pak guru dan mulai mengerjakan soal tersebut. Tak membutuhkan waktu lama untuk mengerjakannya. Bahkan ia mengerjakan semua soal sekaligus.
"Terima kasih, Nak. Kamu boleh duduk". Ucapnya setelah Nata selesai mengerjakan soal yang ada di papan.
"Kern" Puji Rangga.
"Sombong sekali, coba aja Dava ngga pulang dia bakalan bisa ngalahin anak baru itu"
Nata menoleh kearah cewek yang meremehkannya. Sambil tersenyum puas, karena merasa sudah mengalahkannya.
"Hebat banget, padahal soalnya sulit" Ucap sang ketua kelas.
"Aku harus cari tuan kemana ya?" Batinnya setelah sekolah bubar. Dengan mengendarai mobil Nata menyusuri sepanjang kota Jakarta.
"Kemana lagi aku harus mencari?, semetara hari semakin gelap" Memarkirkan mobilnya dipinggir jalan.
"Mungkin dengan sedikit menggali ingatan aku akan mendapat petunjuk"
"Bukannya tadi pagi, aku menelpon Yosimura dan yang mengangkatnya adalah temannya. Mungkin jika aku menelponnya lagi aku akan mendapat petunjuk tentang keberadaan tuan dari dia" Kemudian ia mengambil ponsel dari dalam tasnya.
"Tersambung"
"Hallo" Ucap orang yang berada disebarang telephone.
"Apa Yosimura sudah sadar?".
"Yosimura?". Tanya suara diseberang sana kebingungan.
"Iya, kau kan yang menerima telponku tadi pagi, aku masih ingat dengan suaramu".
"Iya itu benar. Tapi orang yang kamu cari nggak ada disani".
"Lalu, kemana perginya Yosimura?".
"Tidak ada namanya Yosimura disini, hanya ada Elis yang masih pingsan dari kemarin. Mungkin salah sambung" Mematikan saluran telephonenya.
"Yah, dimatiin" Nata kembali menelphone nomor yang tadi.
"Apalagi sih, mbak. Orang yang anda cari tidak ada disini" Ucapnya dengan nada kesal.
"Tunggu sebentar!, jangan ditutup!. Tadi pagi bukannya kamu bilang kalau temanmu itu pingsan dari kemarin dan belum sadarkan diri, sementara suhu tubuhnya normal"
"Iya".
"Bisa aku datang kerumahmu?".
"Buat apa?".
"Aku ingin melihat keadaannya, karena dia mengalami…,ahh tak bisa kujelaskan disini. Bisakah kamu memberitahu dimana rumahmu!. Apakah itu dekat dari SMA JAYA WANGSA?".
"Iya, sekitar 3 km kearah utara, disana kamu akan menemukan perumahan dan nomor rumahku 07". Ucap Dava tanpa curiga sedikitpun. Entah kenapa ia tak curiga terhadap orang asing, mungkin bagi Dava keselamatan Elis lebih penting.
"Baiklah, aku akan kesana sekarang" Menutup telephonenya
Dijalankan mobilnya dengan kecepatan penuh."Semoga aku bisa menemukan petunjuk dari orang itu"
Tiiit…. Tiiiitt…tiiitt…
Terdengar bunyi klakson berulang kali. Dava turun kebawah untuk memastikan siapa yang dengan semberangan menyembunyikan klakson mobilnya.
"Siapa sih, iseng banget. Ngga tahu apa kalau ada orang sakit" gerutu Dava.
"Ngapain tuh orang di depan rumah ngelakson ngga jelas" Ucap Dava setelah membuka pintu rumahnya.
"Heiii…. !!!, kalau mau ribut jangan disini. Sono tuh dikuburan ngga bakalan ada yang marah" Ucap Dava kesal.
Nata keluar dengan tampang tak bersalah. Sambil cengegesan ia menyapa Dava.
"Kamu?. Ngapain kamu kesini?" Ucapnya terkejut bercampur tidak senang.
"Mau ketemu Yosimura, eh bukan Elis maksud ku".
"Dari mana kau kenal Elis?" Ucap Dava curiga..
"Aku teman lamanya".
Dava nampak ragu, tapi ia tepiskan rasa curiganya. "Ayo, masuk!".
Dava mengantarnya ke kamar Elis. Dava heran melihat sikap Nata yang sangat aneh. Nata membungkuk setelah melihat Elis, kemudian meminta izin kepada Dava untuk mendekati Elis. Ia duduk di lantai, walaupun di dekatnya ada sebuah kursi yang bisa digunakan untuk duduk.
"Cewek aneh" Batin Dava.
Ia tak mengerti dengan apa yang diucapkan Nata pada Elis, tapi dari raut wajahnya ia sangat menyesal. Dava mendekati mereka. Namun ia hanya diam, membiarkan Nata berbicara sesukanya.
"Bisakah kamu keluar sebentar?!".
"Hah?" Ucap Dava tak mengerti.
"Sebentar saja. Dia akan baik-baik saja. Percayalah, Please" Nata memohon kepada Dava dengan wajah yang memelas.
"Tapi…".
"Percaya sama saya, kalau saya berbuat macam-macam silakan telephone polisi". Ucap Nata berusaha menyakinkan Dava.
Dava mengangguk dan keluar dari kamar Elis walau hatinya sedikit khawatir. "Mau apa cewek gila itu dengan Elis?". Batin Dava.
Sudah satu jam Dava mondar mandir di ruang tamu. Namun Nata belum juga keluar dari kamar Elis. Hal itu membuat Dava curiga. "Dia ngapain di dalam, apa jangan-jangan…" Dava berlari kecil menaiki tangga kamar Elis.
"Woy… cewek gila, lagi ngapain sih?, lama amat". Ucapnya dari balik pintu"
"Bentar lagi"
Terdengar suara pintu dibuka. Dava langsung masuk dan melihat Elis sudah sadar.
"El, kamu ngga papa kan?". Ucapnya khawatir terdengar jelas dari suaranya. Ia memegang tangan Elis dengan lembut dan mungusap-usapnya dengan jari jempolnya. Melihat itu, Nata langsung menghantam tubuh Dava hingga terpental ke belakang.
Elis terkejut dengan sikap Nata, begitu juga Dava yang tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ditambah lagi hantaman yang diberikan membuatnya meringis kesakitan.
"Nata… !!!" Teriak Elis.
"Sumimasen. Watashi wa…" Belum selesai Nata berbicara. Elis memberikan isyarat untuk diam.
"Gunakan bahasa Indonesia!". Titahnya.
"Baik tuan" Sambil menundukkan kepala.
"Kamu, nggak papa kan Dav?" Tanya Elis khawatir.
"Nggak, aku nggak papa"
"Bohong". Sahut Nata sarkas.
"Tebus kesalahanmu". Titahnya lagi.
Tampa mengucapkan sepatah kata pun, Nata kemudian mengeluarkan alat akupuntur dari dalam tasnya.
"Tolong buka bajumu!". Pinta Nata lembut.
Dava malah mengalihkan pandangannya kepada Elis. Sementara Elis mengisyaratkan kepada Dava untuk mengikuti perkataan Nata.
"Aku baik-baik saja" Ucap Dava setelah melihat jarum akupuntur. Ia bergidik ngeri melihat semua jarum yang dikeluarkan Nata.
"Kau takut ya?". Ejek Nata.
"Nggak. Aku nggak takut, Cuma baru liat aja jarum kayak gitu" Alibi Dava.
"Alasan klasik" Batinnya.
"Tak perlu takut, lukamu cuma sedikit, sambil memasangkan jarum akupuntur ke tubuh Dava sebelah kiri.
"Tanda apa ini?" Batin Nata setelah melihat tanda di punggung Dava. Elis juga melihat tanda di punggung Dava, baru ia tahu kalau Dava memiliki tanda pedang dan bekas sayatan. Terlebih ia tak tahu tanda apa itu.
"Oke sudah selesai" Ucap Nata kemudian.
"Dav, bisa tinggalin aku sama Nata sebentar?!"
Meski tak rela Dava mengambil bajunya dan pergi meninggalkan dua perempuan itu.
"Tuan, melihat tanda itu?". Tanya Nata setelah Dava pergi.
"Iya aku melihatnya. Tapi aku tidak tahu menahu tentang tanda itu, baru pertama kali aku melihatnya".
"Akupun begitu tuan".
"Kau cari tahu tentang tanda itu!".
"Baik, tuan".
"Jangan pernah memanggilku dengan sebutan tuan dihadapan orang-orang ini, mereka akan curiga, terlebih Dava, dia akan tahu siapa aku. Panggil saja aku Elis. Sekarang namaku Elisa Sulistia"
"Baiklah, Elis. Nama yang bagus".
"Aku tidak memintamu untuk mengomentari namaku. Apa tujuan kamu datang kemari?, kamu tidak sekedar mencariku tanpa membawa informasi kan?". Selidik Elis.
"Shouzan datang mencarimu".
"Dimana kamu melihatnya?".
"SMA JAYA WANGSA. Dia bersekolah disana"
"Sejak kapan?".
"Tadi pagi".
"Rupanya keinginan mereka untuk melenyapkan klan Kenshin tak pernah padam. Sampai ia harus bersusah payah mencariku kesana kemari". Keluh Elis. Kehidupan tenangnya akan berakhir.
"Aku bertemu dengannya di atap sekolah. Namun aura yang dipancarkannya tak begitu kuat seperti dulu, sehingga aku hampir tak mengenalinya. Dia sudah bertambah kuat dengan berhasil menyembunyikan auranya. Dia bilang, dia bekerja sama dengan Lucifer"
"Lucifer. Dia pasti menginginkan darah dan air mataku".
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?, apakah aku harus memanggil mereka?".
"Jangan!, jangan memanggil mereka!, cukup kita saja yang terlibat. Aku tidak mau mengganggu kedamaian yang sudah mereka bangun sejak lama".
"Tapi Elis, Lucifer sangat kuat".
"aku tahu itu. Aku minta padamu, tolong jaga Dava sementara aku belum pulih".
"Baiklah" Ucap Nata menunduk. "Tuan banyak berubah, sebegitu pedulikah tuan dengannya". Batin Nata yang dapat dibaca oleh Elis.
"Kemarin aku bertemu dengan Alexsandria, dia memberitahuku bahwa anak itu akan berguna suatu saat nanti". Menjawab perkataan Nata.
"Bagaimana kalian bisa bertemu?".
"Dia menjadi paranormal keliling".
"Lagi pula ia adalah amanah untukku. Aku ingin membalas budi kepada mereka. Berkat mereka aku masih hidup. Mereka yang menolongku saat anak buah Shouzan mengejarku" Ucapnya setelah terdiam. Terpancar kesedihan dalam mata Elis.
"Aku akan melakukan tugasku dengan sebaik mungkin, apapun yang terjadi, walaupun nyawa taruhannya" Ucap Nata dengan tegas.
"Pulanglah, aku ingin beristirahat"
"Baik" Meninggalkan kamar Elis.
Ia langsung pulang tampa berpamitan terlebih dahulu kepada Dava. Berlari kecil menuju mobilnya kemudian melesat entah kemana.
Tak lama setelah Nata pergi, Dava mengetuk pintu kamar Elis.
"Masuk!". Ucap Elis.
"Mmmm…, apa kau ingin beristirahat?".
Elis mengangguk, mengiyakan pertanyaan Dava."Baiklah, Selamat beristirahat" Menutup pintu kamar Elis.
"Tunggu!" Ucap Elis menghentikan langkah Dava.
"Temani aku disini" Ucap Elis berbohong. Sebenarnya ia membutuhkan waktu untuk sendiri lebih lama. Namun, ia tak enak dengan Dava.
Dava kemudian duduk di samping Elis. Saraya mengajukan bertanyaan pada Elis, memecahkan ribuan tanya dalam benaknya.
"Boleh aku tanya?".
"Apa?".
"Dari mana kau mengenal Nata?".
"Nata adalah temakku saat aku masih di Jepang. Dulu, kami adalah teman yang akrab hingga kami harus terpisah karena kepindahanku ke Indonesia. Walaupun begitu kami tetap menjaga kekerabatan kami" Ucap Elis menjelaskan.
Dava menganggukan kepalanya beberapa kali tanda mengerti. Ada satu hal yang terlintas dalam benakanya, jika memang mereka sahabatan sejak kecil, tapi kenapa saat Nata pertamakali melihat Elis malah hormat, ekspresi wajahnya juga berubah tidak seperti biasanya. Malahan terlihat seperti orang yang sedang berhadapan dengan seorang raja. Juga, ia tak mengenal nama Elis. Apa yang mereka sembunyikan?.
"Kenapa Dav?". Ucap Elis melihat Dava hanya diam saja mendengarkan penjelasannya.
"Nggak ada. Aku buatin bubur ya?!. Semenjak kamu pingsan, kamu belum makan sedikit pun".
Elis hanya mengangguk kecil. Dava kemudian keluar dari kamar Elis. Sementara itu, ia memandang kepergian Dava hingga hilang dibalik pintu.
Tak lama kemudian Dava kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air mineral.
"Aku suapin!". Ucap Dava melihat kondisi Elis yang masih sangat lemah.
"Aku bisa sendiri". Ucap Elis menolak.
"Kamu masih sakit, kalau nanti buburnya tumpah, kan aku juga yang repot".
"Tapi kan…". Ucapnya masih bersikukuh.
"Nggak ada tapi-tapian, sekarang aku suapin" Ucap Dava tak mau kalah.
Elis malas berdebat dan memilih untuk mengalah. Namun, baru satu suapan yang ia makan. Terdengar dari luar suara bel dipencet.
"Siapa lagi sih?". Gerutu Dava.
"Bentar ya El, aku lihat dulu siapa yang datang". Menaruh bubur di atas nangkas, kemudian keluar mencari tahu siapa yang datang malam-malam begini.
"Mau apa kalian kesini?". Tanyanya ketus.
"Sadis benar sama sahabat sendiri. Lagian kita kesini bukan cari kamu, kita kesini buat cari Elis" Melirik kearah Azwin dan ajik. Setelah itu, mereka langsung masuk ke dalam rumah tampa mempedulikan empunya rumah.
"El, kok kamu bisa sakit sih, apa Dava ngga pernah kasih kamu makan?". Tanya Rangga iseng
Sebagai jawaban, Elis mengarahkan pandangannya kearah semangkuk bubur di sampingnya.
"Hehe…". Rangga terenyuh dengan leluconnya sendiri.
"Kamu sakit apa sih?" Tanya Azwin kemudian.
"Cuma kecapean aja".
"Kok bisa sampai pingsan?, kamu di paksa kerja rodi ya, sama Dava?".
Elis menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kearah mereka. Pertanyaan keduanya sama sekali tidak bermutu. Lelucon receh.
"Buburnya gua yang suapin ya, kayaknya belum sempat dimakan" Ucap Rangga mengusulkan diri.
Elis mengangguk pelan atas tawaran Rangga. Di saat suapan terakhirnya, ia menyadari aura seseorang di sekitar rumahnya.
"Udah malam banget ni, aku mau pulang dulu" Ucap Rangga melihat jam tangannya.
"Aku juga" Ucap Azwin dan Ajik hampir berbarengan.
"Kalau mereka pulang, bakalan bahaya bagi mereka" Ucapnya dalam hati."Entaran dulu!".
"Kamu, kangen ya sama aku?". Ucap Rangga kemudian setelah terdiam beberapa detik.
Elis mengangguk polos dan tersenyum kecil."Dav?, liat ponsel aku nggak?".
"Oh,ini" mengambilnya dari dalam saku celanya, lalu menyodorkannya pada Elis. Elis mencari kontak nomor seseorang, lalu mengetik pesan.
Setelah menerima pesan dari Elis Nata kembali ke rumah Dava dengan membunyikan klakson sebanyak tiga kali sebagai tanda ia sudah datang.
"Hai, Sanara" Sapa Nata turun dari mobilnya.
"Ngapain ngumpet disana?, lagi main petak umpet?, sama siapa?, Jangan disana entar dikira maling lagi".
"Berisik!!!"
"Kalau aku teriak maling, bagaimana reaksi warga sini ya?". Ucap Nata dengan senyum mengejek.
"Kamu mau apa?". Ucap Sanara was was.
"Ikut aku ada yang ingin aku omongin". Ajak Nata.
"Kita mau kemana?". Tanya Sanara melihat Nata yang meninggalkan rumah Dava.
"Mau makan, kalau ngga mau aku turunin nih"
"Sialan". Umpat Sanara.
"Serius ni, masa aku ajak orang yang nggak minat"
"Ok. Aku ikut"
"Dia nggak berubah, masih saja gila" Batin Sanara.
"Kamu lupa lagi sama siapa. Nggak usah ngomong dalam hati, bilang aja langsung ke orangnya!". Kata Nata memperingati.
Sanara memilih diam,untuk saat ini ia tak ingin bertengkar dengan Nata. Bukan saatnya, bakalan ada saatnya mereka akan bertarung pada pertarungan yang sesungguhnya. Hanya saja bukan disini, tetapi dinegara asalnya, ia akan menggiring mereka kembali ke kampung halamannya dan mati disana.
"Aku mau makan disini, nasi gorengnya enak. Kamu mau?".
"Terserah".
"Pak, nasi gorengnya kayak biasa dua" Ucap Nata setengah berteriak.
"Ok" Jawab bapak penjual nasi goreng.
"Kayaknya kamu udah lama tinggal disini".
"Lumayan sih, dua bulan".
"Ngapain aja selama itu?".
"Menurut kamu apa?"
"Bukannya Ayuka ingin hidup damai, lantas kenapa kamu juga mencarinya?".
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan".
"Apa?". Tanya Sanara penasaran.
"Itadakimasu" . Mengabaikan ucapan Sanara.
"Masih ingat sama tradisi?". Tanya Sanara meremehkan.
"Bacot, lebih baik kamu diam dan makan, makananmu!" Kata Nata tersinggung.
"Itadakimasu" (selamat makan). Ucap Sanara. Namun dengan suara kecil.
Baru pertamakali bagi Sanara mencicipi yang namanya nasi goreng. Makanan yang menjadi paporit orang Indonesia.
Terdengar suara deringan telephone dari saku celana Nata. "Shitsurei shimasu" Lalu, menjauh dari Sanara.
"Wah, dia benar-benar tidak melupakan tidak melupakan budaya asalnya" Bangganya dalam hati.
"Shitsurei shimashita" Ucap Nata menemui Sanara.
"Syukur dah, kamu belum melupakan tradisi".
"Bagaimana aku bisa melupakannya. Tradisi ini sudah mendarah daging, kalian yang melupakan tradisi kita"
* shitsurei shimasu diucapkan ketika seseorang meninggalkan meja ditengah – tengah jamuan makan, atau ketika memasuki ruangan orang lain, atau ketika melewati kumpulan orang lain.
* Shitsurei shimashita diucapkan ketika kembali ke ruang yang ditinggalkan di tengah – tengah sebuah pertemuan atau jamuan makan, atau ketika setelah menabrak seseorang tampa sengaja.
"Seperti yang pernah kau katakan, kalau kita sudah tidak lagi di dizaman Edo atau restorasi Meiji"
"Jika begitu kau seharusnya tak mencari tuanku".
"Aku hanya mengikuti perintah ayahku".
"Oh" Ucap Nata dengan kesal. Dia memperjelas rasa kesalnya lewat raut wajahnya."Sebisanya aku makan bersama dengan musuhku sendiri, anak dari orang yang telah membunuh ayah sahabatku".
"Kau membenciku?, Jelas kau membenciku" Ucap Sanara.
"Gochiso-sama deshita" Ucap Sanara, lalu meninggalkan Nata sendirian.
* Gochiso-sama deshita diucapkan ketika setelah selesai manikmati makanan atau minuman. Sebagai bentuk ungkapan terima kasih.
Nata tertunduk. Nafsu makannya hilang seketika, seolah dibawa pergi. Setelah membayar makanannya, ia kemudian pergi meninggalkan tempat itu, entah kemana dia pergi. "Haaaaaaa" Nata berteriak dalam mobilnya dan membanting setir mobil sesuka hatinya.
"Aku benci perubahan" Ia mulai meneteskan air matanya, kemudian membanting setir motornya kesisi jalan.
"Aku membencimu Shouzan, aku berjanji akan membunuhmu". Ucapnya dengan penuh amarah. Hatinya kini dipenuhi rasa dendam tak berkesudahan. Rasa sakit yang terpendam kini tak bisa dikendalikannya lagi. Ia muncul kembali, setelah sekian lama ia mencoba berdamai dengan hatinya itu. Rasa benci dan cinta yang bercampur aduk seolah mempermainkan hatinya.
****
Keesokan harinya, walaupun Elis sudah sadar, ia masih belum bisa masuk sekolah, bukan lantaran kondisi fisiknya yang belum membaik melaikan rencananya untuk menyembunyikan siapa dirinya untuk sementara waktu pada musuhnya itu.
"El, kamu mau masuk sekolah atau…. ?". Ucapannya terhenti saat melihat Elis tertidur pulas. "Mungkin, dia belum pulih betul". Batin Dava menutup pintu secara perlahan takut membangunkan Elis.
Setelah mendengar suara sepeda motor yang semakin menjauh, Elis bangkit dari tempat tidurnya, berniat melakukan meditasi untuk menyembuhkan extrasensory perception atau yang biasa mereka sebut dengan esper dirinya, akibat penggunaan precognition walapun hal itu hanya sebentar.
"Elis masih belum masuk Dav?". Tanya Rangga setibanya di kelas.
"Kamu, bisa liat sendiri kan?". Ucap Dava masih tetap dingin.
Sementara itu tampa sepengetahuan mereka Nata tersenyum"Syukurlah, tuan mengikuti apa yang ku katakana".
"Yeee, gua cuma nanya padahal. Nggak usah ngegaskan bisa. Sewot Rangga.
"Berisalam" Ucap ketua kelas melihat pak Andi dengan seorang cowok yang kira – kira berumur 24 tahun. Mengintrupsi perdebatan yang akan terjadi pada Rangga dan Dava.
* Exstrasensory perception atau bisa disingkat ESP adalah indra khusus diluar penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa.
* Esper adalah kemampuan khusus yang dimiliki seseorang diluar keadaan normal.
* Precognition adalah keahlian melihat masa depan yang merupakan jenis dari exstrasensory perception
"Karena aku disini guru baru, mohon kerjasamanya ya?" Ucapnya setelah pak Andi pergi. Nata tidak memperhatikan sama sekali apa yang terjadi di depannya, pemikirannya melalangbuana entah kemana.
"Iya pak" Jawab anak – anak dengan serempak.
"Pak Ryu, boleh nanya?"
"Iya, silakan!"
"Sudah berapa lama bapak tinggal di Indonesia, sehingga bahasa Indonesia bapak bisa sangat lancar?" Ucap seorang siswa perempuan.
"Sekitar enam bulanan" Jawabnya sambil tersenyum manis membuat para siswa langsung histeris.
"Ok. Giliran aku bertanya. Siapa yang sedang melamun tidak memperhatikan?". Mengarahkan pandangannya kearah Nata.
Semua mata tertuju pada arah pandangan Ryu dan kompak menjawab. "Nata pak"
"Lalu yang tidur itu?". Tanyanya lagi.
"Dava, pak". Ucap anak-anak itu.
"Biarin saja pak, mereka berdua pintar" Celetuk seorang anak.
"Tidak bisa seperti itu, kalian disini sama, tidak ada yang diistimewakan. Kalian disini sama-sama sedang mencari ilmu. Jadi semua harus memperhatikan semua guru".
"Dav,bagun!". Ucap Rangga menggoyangkan tubuh Dava. Sementara itu Bimo yang menyadarkan Nata dari lamunannya.
"Sekarang aku ingin lihat kepintaran kalian seperti apa hingga berani tidak memperhatikan guru di kelas. Terutama kau" Sambil menunjuk Nata.
"Aku?" Tunjuknya pada diri sendiri.
"Iya kamu, masih pagi kok ngelamun".
"Kusso (brengsek). Awas aja kalau kamu bertanya padaku soal Ayuka, Ryu kenshin" enggeretakan giginya.
Nata mulai mengerjakan semua soal yang diberikan dengan begitu cepat. Membuat para cowok semakin kagum dengan kepintarannya itu.
"Sepertinya disini kau punya musuh juga" Bisik Ryu saat Nata mengembalikan spidol. Ia mendengar suara hati salah satu siswi yang berada di dalam kelas.
"Bodo amat" Ucapnya cuek, lalu kembali ke tempat duduknya.
"Rupanya guru baru itu suka sama kamu, Nat" Ucap Rangga saat Nata melewati tempat duduknya.
"Bodo amat" Jawab Nata ketus.
"Liat aja tuh!, dia senyum-senyum ke kamu" Timpal Bimo.
"Dasar gila, kenapa juga dia bisa diterima disini?".
Setelah bel keluar berbunyi, para siswa mulai meninggalkan kelas termasuk Nata.
"Boleh bicara sebentar?". Ucap Ryu saat Nata melewatinya.
"Nanti aja ya Pak, soalnya kita mau ke Kantin, udah lapar bangat nih". Ucap Nata beralasan.
"Cuma sebentar. Rangga, Bimo kalian duluan nanti Nata nyusul kalian!". Titahnya tak ingin dibantah.
"Iya,Pak" Ucap mereka pasrah. Sejujurnya mereka dongkol dengan sikap guru baru itu terhadap Nata, tapi apa mau dibilang, mereka hanya murid.
"Kalau kamu tak ingin memberitahuku dimana Ayuka, aku bisa mencarinya sendiri" Ucap Ryu dalam hatinya. Ia tahu kalau ada orang sedang mencoba mendengarkan pembicaraan mereka.
"Lebih baik kamu kembali dan jangan pernah mencarinya. Kau hanya akan memperkeruh keadaan disini. Tuan tidak ingin banyak orang yang terlibat dalam masalahnya, terlebih disini adalah negara orang, tempat tuan berhutang budi" Ucap Nata.
"Aku disini tidak akan berbuat onar, aku hanya mencari Ayuka dan membawanya pulang. Hanya itu" Ucap Ryu lalu meninggalkan Nata.
Ia keluar dan melihat Rangga dan Bimo berdiri dibalik pintu. Namun tak dipedulikannya.
"Nat, sebenarnya ada apa?, kayak kamu musuhan sama bapak itu". Tanya Rangga saat Nata keluar dari dalam kelas.
Nata tak menjawab, ia berjalan meninggalkan mereka berdua. Mereka berlari mengejar Nata sampai sejajar dengannya.
"Kamu kenapa sih?" Tanya Rangga saat sampai di Kantin.
"Lagi ngga mood aja ni" Ucap Nata sambil mengaduk aduk minumannya.
"Hai, aku ikut gabung ya?" Ucap Sanara Shouzan sambil membawa makanannya.
Nata mengunyah makanannya dengan begitu cepat, lalu pergi meninggalkan mereka.
"Nat, mau kemana?, makanannya belum di bayar". Teriak Rangga.
Nata tak mengindahkan perkataan Rangga, ia terus saja berjalan. "Bro, kamu yang bayarin kita ya?" Ucap Rangga dan berlari meninggalkan Sanara disusul oleh Bimo.
"Nat…., tunggu!". Teriak Rangga sambil berlari. Melihat Nata yang tak menghentikan langkahnya ia menambah kecepatan.
"Kamu kenapa sih?, kamu nggak suka sama cowok Jepang itu?" Ucap Rangga sambil mengatur jalan napasnya.
Tak mendapat tanggapan dari Nata, Rangga bertanya lagi. "Kamu kenapa sih?"
Nata melotot ke arah Rangga, matanya berubah tajam dan mengerikan. Sontan, Rangga langsung mundur dibuatnya hingga terjatuh dengan sendiri. Terlihat diwajahnya kalau ia sedang ketakutan. Menyadari hal itu, Nata langsung mengubah sikapnya.
"Maaf, gua lagi benar – benar ngga mood sekarang". Sambil menyodorkan tangannya untuk membantu Rangga berdiri.
"Ayo!" Ajak Nata melihat tangannya yang tidak juga di raih Rangga.
Rangga membangunkan dirinya tampa bantuan tangan Nata. Ekspresi wajahnya masih menyiratkan ketakutan. Rangga berdiri mematung, kakinya lemas sulit untuk digerakan.
"Itu hal yang biasa. Ketika marah,mata ku akan berubah seperti tadi. Aku minta kamu jangan takut. Aku masih ingin berteman" Ucap Nata sambil tersenyum, mencoba menghilangkan ketakutan Rangga. Tersirat penyesalan dan kesedihan dari ucapan tersebut.
"Itulah tidak enaknya mempunyai kelainan. Tak ada teman yang mau berteman denganmu, kalaupun ada setelah mereka tahu siapa kamu, mereka akan menjauh. Dimata mereka kau terlihat seperti moster. Yah, walaupun kamu menjelaskan yang sebenarnya tidak akan ada yang percaya" Sambil teringat dengan masa lalunya. Tampa disadara Rangga air mata Nata jatuh mengenai lantai.
Rangga terdiam. "Tapi aku beruntung, disaat orang-orang membenciku dia menemukanku. Membebaskanku dari neraka yang bernama kesepian. Membebaskan orang-orang seperti ku dari ketidak adilan dunia, sampai dunia mengakui kami. Namun sayangnya, saat dia dalam masalah, dia melarikan diri tanpa mau menerima bantuan kami".
"Astaga, aku ngelantur" Ucap Nata kemudian.
Rangga masih terdiam, ia yakin apa yang dikatakan Nata adalah bagian dari masa lalunya yang pedih. "Menemukannya?, sebenarnya seperti apa masa lalu Nata"
"Kenapa kalian diam disini?" Tanya Bimo yang baru datang.
"Nungguin kamu" Ucap Rangga bohong.
"Thanks, kau memang sahabat yang baling best" Merangkul pundak Rangga.
"Masuk ayo'!" Ajak Bimo kemudian.
Mereka pun memasuki kelas bersamaan dengan bunyi bel yang dikumandangkan. Pikiran Nata terbang menuju masa lalu yang kelam dan mengerikan. Masa lalu yang begitu menakutkan. Darah, tangis, tawa yang menghiasi hari-harinya. Akankah kejadian yang dulu akan terulang atau akan tetap menjadi masa lalu, termuat dalam memori dan sejarah.
Rangga menendang meja Nata, membuat ia tersadar dari lamunannya. "Apaan sih?" Ucap Nata kesal karena merasa di ganggu oleh Rangga.
"Di panggil sama pak guru tuh" Ucap Rangga setengah berbisik.
"Buat apa?" Ucap Nata linglung.
"Ngerjain soal lah, emang mau ngapain?, bisa nggak?" Tanyanya balik.
Nata menganggukan kepala lalu maju kedepan kelas untuk mengerjakan soal seperti biasa. Setelah itu kembali ke bangkunya.
"Aku ngga bisa diam disini, aku harus memberitahu tuan, iya aku harus memberitahunya, sebelum Ryu menemukan keberadaan tuan. Ah, permasalahannya semakin rumit"
"Pak, boleh saya minta izin?, rasanya saya kurang enak badan" Ucap Nata disela-sela penjelasan beliau.
"Iya, baiklah. Nanti kamu ke ruang BK, disana ada bapak atau ibu guru yang bakalan antarin kamu" Ucap beliau menjelaskan.
"Iya,Pak" Lalu mengambil tasnya dan keluar dari dalam kelas.
"Baiklah, sekarang saatnya untuk memberitahu tuan"
Ia kemudian berlari menuju belakang sekolah dan melompati tembok pembatas. Berlari dengan cepat sambil melompati atap rumah tampa mempedulikan apakah ada orang yang melihatnya atau tidak.
"Jendela kamar tuan terbuka, lebih baik aku lewat sana" Dengan satu lompatan ia berhasil masuk dan menggelinding ke lantai.
"Kau ceroboh sekali, kalau orang lain melihatmu bagaiamana?". Tanya Ayuka yang tak lain adalah Elis.
"Hehe…gomen ne" Ucap Nata menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Kenapa kamu ada disini?".
"Ryu, sedang mencarimu. Ia berencana membawamu pulang. Sekarag dia sedang menyamar menjadi guru di sekolah untuk mencari tahu keberadaanmu"
"Kenapa kamu tidak menyuruhnya pulang?".
"Tuan lebih tahu dia".
"Aku tidak bisa terus – terusan bersembunyi, Dava pasti bakalan curiga. Aku harus menggunakan cara lain".
"Tapi, cara seperti apa?, apa tuan akan pergi lagi?" Ucap Nata khawatir.
"Tak ada cara lain lagi, Nat. Aku harus pergi dari sini, mencari tempat dimana tak satupun ada yang tahu".
"Tapi Tuan, apa tuan tidak khawatir dengan keputusan yang tuan ambil?".
"Mereka hanya mencariku, bukan kalian, jika aku pergi kalian bisa hidup dengan tenang".
"Iya. Tuan benar aku bisa hidup aman,tapi bukan mereka"
"Maksudmu?". Mengernyitkan dahinya.
"Dulu, Tuan bisa menghilang entah kemana, dan kamipun demikian mencari tempat sembunyi. Tapi sekarang, tuan berada di tempat yang berbeda, disekeliling tuan ada orang-orang yang tak bersalah yang akan menjadi korban mereka. Terlebih hal itu menjadi peluang mereka untuk menangkap Tuan. Dengan menggunakan Dava dan keluarga angkat Tuan sebagai umpannya".
Elis mengepalkan tangannya hinga jari-jari kukunya memutih.
"Tuan tidak bisa terus lari dari masalah ini. Ini saatnya Tuan menyelesaikan masalah Tuan. Aku disini siap membantu Tuan, walau nyawa harus ku korbankan"
"Terima kasih Nata, kamu memang sahabat terbaikku" Memeluk Nata.
"Jangan panggil aku Tuan lagi!" Melepaskan pelukannya.
Nata mengangguk pelan. Ia belum terbiasa menyebut tuannya dengan nama Elis.
"Oh iya tuan, eh bukan, Elis. Apa perlu kita mengumpulkan mereka untuk membantu kita?".
"Kurasa tidak, kita akan menghubungi mereka,jika dalam keadaan genting"
"Baiklah, jika itu maumu. Aku permisi dulu".
"Lewat pintu, jangan lewat jendela!" Ucap Ayuka saat melihat Nata hendak menuju jendela.
"Hehehe… Sip BOS".
"Oh iya, Elis. Bagaimana dengan Dava, bukannya kita pernah melihat tanda yang dimilikinya, kenapa kamu tak membantunya?".
"Entahlah. Aku menginginkan dia hidup normal, tampa kekuatan. karena kekuatan itu hanya akan membuatnya dalam bahaya".
"Aku tahu maksudmu El. Tapi itu demi kebaikan Dava. Musuh sudah semakin dekat, kamu tidak bisa selalu ada di dekatnya".
"Kalau begitu ajari dia, tapi tidak secara langsung"
"Maksudmu?".
"Kau paham maksudku", Lalu pergi begitu saja.
****
"Dava, bangun!. Sudah pagi". Mengentuk pintu.
"Mungkin dia terlalu lelah untuk latihan pertamanya". Membuka pintu kamar Dava.
"Dav, bangun!" Menggoyangkan tubuh Dava.
Dava membuka matanya yang terasa berat "Udah pagi ya?" Tanyanya kemudian.
"Iya iyalah, kalau ngga pagi ngapain aku bangunin kamu".
"Letih banget rasanya, kayak habis berantem gitu". Keluh Dava.
"Mau coba akupuntur?".
"Ngga ah, males. Males sama jarumnya".
"Males apa takut?". Goda Ayuka
"Oooh… udah berani sekarang ya?".
"Sudah-sudah nanti kita telat. Sebelah mana yang letih?".
"Semuanya"
"Semuanya?" Tanya ayuka mengulangi ucapan Dava.
"Iya".
"Eh, eh. Mau ngapain?" Ucap Dava saat Ayuka membalik tubuhnya.
"Auw!!!. Sakit tau".
"Tahan!, tinggal dikit lagi".
"Selesai". Ucap Ayuka. Seketika itu juga tubuh Dava terasa ringan dan segar.
"Mandi sana!" Ucap Ayuka lalu keluar dari kamar Dava.
"Hebat juga nih anak, badan gua udah ngga ngerasa sakit lagi"
"Sarapan dulu!. kita masih punya banyak waktu untuk pergi ke Sekolah. Ngga usah buru-buru, nyantai aja kali" Melihat Dava hendak ke Bagasi.
Dava kemudian mengikuti Ayuka menuju dapur.
"Habis kemana aja semalam?" Tanya Ayuka saat di meja makan.
"Biasalah"
"Terus, kok bisa badan kamu sakit kayak tadi?" Tanya Ayuka memastikan.
"Nggak tau. Pas bangun udah sakit. Tapi, tadi malam aku mimpi aneh"
"Mimpi apa?". Tanya Ayuka pura-pura tidak tahu.
"Ketemu seseorang yang pakainya aneh banget. Dia bilang kalau apa yang ia ajarkan akan berguna kedepannya" Mengingat isi mimpinya.
"Yang ia ajarkan?".
"Iya. Semacam kekuatan dalam".
"Mimpi yang aneh" Guman Ayuka.
"Never mind. Just a dream"
"Alright"
"Mau berangkat sekarang?" Ucap Ayuka membuyarkan lamunan Dava.
"Eh iya, apa?".
"Berangkat sekarang" Ulang Ayuka
Dava mengangguk dan bergegas menuju garasi.
Sesampainya di kelas, mereka disambut oleh Bimo dan Rangga, lebih tepatnya menyambut kedatangan Elis yang tak pernah mereka liat beberapa hari yang lalu. "Kayaknya udah sembuh ni" Ucap Bimo saat Dava dan Elis tiba.
Ayuka membalasnya dengan sebuah senyuman.
"Wah, ini senyuman yang aku rindukan".
"Ngga usah gombal!" Rangga sewot.
"Apaan sih, emang benar, senyumnya Elis itu manis banget galahin gula".
"Ingat udah ada patennya" Rangga memperingati.
"Oh ya Dav, lo ikut ngga ke partynya Azwin ntar malam?". Tanya Rangga.
"Nanti malam kan ada bulan purnama, kalau Dava datang, bisa gawat"
"Ngga bisa, Dava mau ajarin aku pelajaran yang ketinggalan sambil liat bulan purnama. Iya kan Dav ?" Menyenggol pinggang Dava.
"Nanti malam bulan purnama?Terus bagaimana Elis tahu?, bokap aja nggak tahu apa apa soal bulan purnama, dia tahunya dari mana?". Batinnya.
"I…Iya". Tersadar dari lamunannya setelah dicubit oleh Ayuka.
"Kamu kan bisa ajarin dia ntar siang pas pulang sekolah, lagian party nya ntar malam".
"Siangnya aku tidur. Disuruh banyak istirahat sama dokter". Bohong Ayuka.
"Ada yang aneh sama Elis, apa dia tahu apa yang terjadi jika bulan purnama?".
"Elis nggak usah belajar ya!, kamu kan udah pintar". Bujuk Rangga.
"Nggak bisa. Kalau nggak belajar gimana bisa pintar" Kilah Ayuka tidak mau kalah.
"Yah, kamu nggak asik". Ucap Bimo muram.
"Mau gimana lagi" Ucap Ayuka cuek
"Ngomong apaan sih, serius banget?". Tanya Nata yang baru datang.
"Ini nih, aku ajak Dava ke party nya Azwin, tapi dia ngga bisa" Ucap Rangga menejelaskan.
"Oooh, kalau aku yang gantiin gimana?".
"Boleh, boleh. Tapi kamu perginya sama aku". Ucap Rangga menawarkan
"Sama aku aja" Ucap Bimo tak mau kalah.
"Ikut ikutan aja. Aku yang nawarin duluan"
"Kok ribut gini jadinya" Ucap Nata. Memandang dua sahabat akrab yang sering bertengkar itu.
"Habisnya ni anak cari masalah" Ucap Rangga membela diri.
"Biar adil, kita berangkat barengan. Ntar aku yang jemput kalian"
"Ide bagus tuh" Ucap Bimo
"Yeee… bilang aja mau numpang" Ejek Rangga.
"Dasar sirik"
****
"Pesta yang bagus" Guman Nata.
"Ayo kita masuk!" Ajak Rangga.
"Bim, Ngga" Sapa Azwin.
Rangga, Bimo dan Nata berjalan kearah orang yang memanggilnya. "Dava mana?". Tanyanya kemudian.
"Dia nggak bisa ikut"
"Kenapa?".
"Biasa, lagi sama ceweknya".
"Bukan, Rangga bohong. Dia lagi ngajarin Elis pelajaran yang ketinggalan". Bela Nata. Ia tidak terima jika tuannya difitnah seperti itu.
"Ooohh" Azwin ber-oh mendengar penjelasan Nata. Ia kecewa karena sahabatnya itu lebih milih cewek ketimbang dirinya, namun ekspresi kecewanya tak ditunjukkan. Ia tak mau malam bahagianya hancur.
"By the way, dia siapa?".
"Dia Nata, temannya Elis yang pernah aku ceritain"
" Lebih cantik dari fotonya. Azwin, teman Rangga sama Bimo" Mengulurkan tangannya.
"Nata" menyambut uluran tangan Azwin. Azwin memincingkan matanya, ia tidak melihat mata yang berbeda dari mata Nata, seperti yang diceritakan temannya itu.
Nata mengangkat alisnya sebelah, melihat tatapan Azwin yang penasaran akan matanya. Sudut bibirya terangkat sekilas. " Aku pakek lensa" Azwin mengangguk paham. "Oke. Semoga kalian menikmatinya. Aku kesana dulu" Pergi meninggalkan mereka, menyambut tamu yang baru datang.
"Rangga, Bimo kesini!" Teriak seorang cowok di tengah perkumpulan.
"Kita kesana" Ajak Rangga.
"Kenalin!, ini Nata, teman kelas ku"
Nata kemudian menyalami mereka satu persatu. Namun, ada aura aneh pada salah satu diantara mereka. Aura yang buruk."Ada yang nggak beres dengan orang ini".
"Azwin" Panggil orang itu kemudian.
Azwin kemudian menghampiri kami. Sedangkan orang itu member isyarat kepada seseorang.
"Aku harus menggagalkannya".
"Gua ambil minum dulu ya" Ucap Nata lalu pergi menemui seseorang.
"Hey, tunggu!".
"Ada apa ya?".
"Boleh kita ngobrol sebentar?, sebentar saja". Pinta Nata.
"Iya".
"Kita bicara disana" Menunjuk dua kursi dekat kolam renang.
"Ada apa?" Tanyanya setelah berada pada kursi yang ditunjuk tadi.
"Hanya ingin mengenal teman-temannya Azwin. Siapa tahu kita bisa akrab"
Cewek itu menganggukan kepalanya. Tapi sorot matanya menatap Nata curiga.
"Boleh aku minta jusnya?" Ucap Nata yang melihat dua gelas jus yang dibawa oleh teman Azwin. Tanpa menunggu persetujuannya Nata langsung mengambil dan meneguk jus itu. "Thanks". Ucapnya setelah meneguk hingga setengah jus tersebut.
"Nanti aja, lagi nggak haus". Kilah cewek itu.
"Kalau nggak haus kenapa bawa dua gelas?". Skak mat Nata. "Ayo diminum". Ucap Nata sambil tersenyum.
"Resek banget nih orang". Ia pura-pura meminumnya.
"Nggak usah sungkan, diminum jusnya!. Astaga hampir lupa buat kenalin diri. Nama ku Nata"
"Maya"
"Ayo minum!, masa dari tadi aku aja yang minum".
"Sialan, siapa sih cewek ini, maksa bangat"
"Ayo!". Ucap Nata sedikit memaksa.
Dengan terpaksa ia meminumnya. Namun tak terjadi apa apa dengannya. "Rupanya kau baik baik saja, sebenarnya apa yang kau taruh di dalamnya?"
"Bentar ya" Ucap Nata saat melihat Ajik disodori minuman. Minuman yang sama yang di minum oleh Maya.
Nata menekan hak hilsya saat berjalan menghampiri mereka dan menjatuhkan diri tepat di hadapan Ajik. Ajik menangkap tubuh Nata, membuat minuman yang dipegangnya terjatuh.
"Kamu nggak apa apa kan?". Tanya Ajik setelah Nata berdiri tegak.
"Nggak apa apa kok, tapi…". menunjukkan haigh hilsnya patah.
"Ada polisi, ayo lari".
"Gimana bisa?". Tanya Azwin pada temannya itu.
"Ada yang ngasih tahu kalau disini ada yang makek".
"Shit, Fuck" Bagaimana ia akan kabur ini rumahnya sendiri, siapa juga yang berani menggunakan barang laknat itu di rumahnya.
"Nata, kita harus pergi dari sini" Ucap Rangga menarik tangan Nata.
"Kenapa?, apa kita membuat kesalahan?". Tanya Nata santai.
"Tidak, tapi orang lain". Jawabnya panic.
"Ayo tidak ada waktu lagi" Ucap Bimo lebih panic lagi.
"Ngebut Nat!" Ucap Bimo yang menengok ke belakang.
"Oke."
"Hati-hati".
Rangga dan Bimo terkejut dengan sabuk pengaman yang dipasang secara otomatis. "Kern" Ucap mereka serempak.
"Kamu pasti kaya banget sampai bisa beli mobil kayak gini, kapan kapan mau dong kita ke rumahmu" Ucap Bimo sesampai di depan rumahnya.
Nata hanya membales dengan senyuman, setelah itu ia melanjutkan perjalanan untuk mengantar Rangga.
Sementara disisi lain Dava sedang berjuang mengendalikan kekuatannya. Tali yag digunakan untuk mengikatnya semuanya putus dengan sekejap.
"Sekarang kamu sudah tahu siapa aku. Aku moster berwujud manusia" Sambil menahan rasa sakit.
"Kamu bukan moster, kamu adalah orang yang diberi kemampuan khusus. Di tempatku juga ada orang yang sepertimu. Awalnya mereka menolak takdir yang diberikan. Tetapi mereka kemudian bertemu dengan seseorang yang mengubah pandangan hidup mereka, hingga akhirnya mereka bisa mengendalikan kekuatan yang dimiliki dan menggunakannya untuk kebaikan"
"Dimana dia sekarang?" Teriak dava disela rasa sakit yang kian menghujam tubuhnya.
"Di hadapanmu".
"Apa kau juga sama sepertiku?".
"Tidak, aku berbeda denganmu"
"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan. Aaaaaaaa…"
"Kekuatannya semakin besar,ngga ada cara lain"
"Apa ini, kenapa aku tidak bisa bergerak?"
"Aku menyegel tubuhmu, tapi ini hanya sementara. Cobalah berkonsentrasi untuk mengendalikan kekuatanmu!"
"Caranya?".
"Dengan pikiranmu. Berpikirlah kalau kamu bisa mengendalikannya!"
"Aaww…." Elis mengerang kesakitan, tubuhnya terhempas menabrak tembok.
"Ini saatnya Dav" Melihat aura tubuh Dava tak lagi memancarkan kekuatan yang besar seperti sebelumnya.
Dava mulai berkonsentarsi dengan menyatukan pikiran dan kekuatan. Sementara Elis menoleh ke luar jendela. "Baguslah, bulannya tertutup awan"
Elis kembali terlepar, kali ini mengenai lemari pakaian. matanya terbelalak saat melihat lemari akan jatuh menimpa dirinya. Dengan cepat ia menggelindingkan, namun anehnya tak ada bunyi benturan yang terdengar.
Senyum mengembangkan dari wajah Elis "Akhirnya kamu berhasil, Dav"
Dava mengembalikan lemari itu ke tempat semula, lalu menjatuhkan tubuhnya ke lantai.
"Kasurnya rusak, dia tak bisa tidur disini" Elis membawa Dava ke kamarnya dengan menggunakan sedikit kekuatan yang dimiliki. Sementara ia tidur di lantai.
"Bintang di langit memang terlihat cantik, tapi siapa yang mengira kalau ia begitu membara. Begitu juga dengan orang yang memiliki kekuatan khusus terlihat menakjubkan,membuat iri yang memandang, tampa pernah berpikir rasa kelabunya" Memasang earphonenya, memejamkan mata sambil menikmati alunan music yang menggema ditelinganya.
Ai no kotoba hibike yozora e
Uchu made todokete amore
Yuutsu na amagumo yabutte
Nijuu yon jika hashiri tsudzukeru
Hashiri tsudzukeru sadame
Aoki yami wo kirisaite
Kanata wo sasu tsuki no kage
Yoi no hana ni terihaete
Setsuna no yume ni mai odoru
Chikai wo tateshi hitomi wa
Mabayuki mirai wo yadoshi
Hikari matoishi aoki sugata ni
Saa tsubasa hirogete
Ai no kotaba hibike yozora e
Uchuu made todokete amore
Yuutsu na amagumo yabutte
Nijuu yon jikan hashiri tsudzukeru
Hashiri tsudzukeru sadame
Moshimo kimi wo miushinatte mo
Kokoro no koe wa utai tsudzukeru yo
Moshimo kimi ga hanarete ite mo
Kokoro no koe de utai tsudzukeru yo
Ai no kotoba hibike yozora e
Uchu made todokete amore
Kagayaki hanatsu aoki hoshi ga
Kono te ni inochi wo yadosu
Ai no kotoba hibike yozora e
Uchu made todokete amore
Nijuu yon jikan hashiri tsudzukeru
Hashiri tsudzukeru sadame
Ai yo chikyuu wo sukue
Akaki tsuki ni terasarete
Setsuna no yume ga mata hajimaru
By : Baby mental