"Ada apa denganku, kenapa lagu ini tidak bisa menenangkanku?, apakah aku terlalu khawatir?, bagaimana kalau ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Sebaiknya aku bawa dia pergi". Baru ia akan membuka pintu, hendphonenya bunyi tanda panggilan masuk. "Kebetulan seklai. Aku minta kau segera kesini!" Katanya pada suara diseberang sana.
Kurang dari lima menit, Nata sudah sampai di rumah Dava. Nata adalah orang yang menghubungi Ayuka. Dengan segera mereka membawanya keluar.
"Kita harus kemana sekarang?"
"Bagaimana kalau ke rumah Rangga. Dia pasti menerima kalian"
"Kau diam disni sebagai pengecoh mereka!" Lalu pergi meninggalkan Nata sendirian.
Elis membunyikan bel yang ada di samping pintu gerbang hingga tiga kali. Tak ada satupun yang keluar. Sambil terus memencet bel, Elis menelphone Rangga.
"Cari siapa non?" Tanya seorang satpam penjaga.
"Hallo, El" Ucap orang yang ada di seberang telephone.
"Aku di rumahmu. Cepat keluar!".
"Langsung masuk aja"
Mendengar percakapan Elis dan Rangga, satpam itu langsung membuka lebar pintu gerbang.
"Terima kasih ya, Pak"
"Sama-sama non" menutup kembali gerbang dengan rapat.
"Tumben malam-malam datang kesini. Ada apa?".
"Iya nih. Maaf ganggu. Dava pingsan".
"Pingsan?, dimana dia sekarang?". Tanyanya tidak melihat keberadaan Dava.
"Di mobil"
"Kok bisa pingsan sih?, gimana ceritanya?"
"Ntar aku ceritain. Bantuin bawa kedalam"
"Gimana ceritanya dia bisa pingsan gitu?" Tanya Rangga saat berada di ruang tamu.
"Jatuh dari tangga" Bohong Ayuka
"Kok bisa sampai pingsan?". Heran Rangga
Ayuka mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu menahu.
****
"Kok kalian bisa barengan , Dava mana?". Tanya Bimo melihat Ayuka tiba di kelas bersama Rangga.
"Ngga enak badan"
"Bisa juga tuh anak sakit". Beo Bimo.
"Yaelah, dia juga manusia kali". Sewot Rangga.
"Trus Natanya mana?". Sambil celingak celinguk.
"Disini" Jawab Nata.
"Ngga, Nyontek dong" Ucap Bimo kemudian teringat dengan tugasnya yang belum ia kerjakan.
"Nyontek apa?"
"Matematika, jangan bilang kalau kamu belum"
"Hehehe… lupa ngerjain" Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Udah aku duga. El, pinjem PR kamu dong" Berbalik kearah Elis.
Elis kemudian mengeluarkan buku dari dalam tasnya. "Thanks ya, kamu memang temanku yang paling pengertian"
"Ikutan dong, aku belum jadi nih"
"Belum ato ngga ngerjain"
"Berisik"
"Berisalam" Ucap sang ketua kelas.
"Aduh gimana ini, kita belum ngerjain PR" Bisik Bimo kepada Rangga.
"Aku juga nggak tahu"
"Maaf anak-anak. Bapak ganggu waktu kalian sebentar. Langsung saja bapak kasih tahu, kalau pak Saudi tidak bisa hadir, karena lagi keluar kota untuk itu beliau meminta saya untuk menggantikannya. Nah, berhubung setelah pelajaran beliau ada kelas olahraga, bagaimana kalau pelajaran matematika, kita ganti dengan pelajaran olahraga. Kebetulan sekarang materinya renang, jadi kita akan membutuhkan waktu lebih lama. Terlebih jika ada diantara kalian yang belum bisa berenang"
"Iya pak guru" Jawab anak –anak dengan serempak.
"Bim, kita selamat"
"Iya. Mungkin hari ini hari keberuntungan kita"
"Iya, Bim"
"Bapak kasih kalian waktu 10 menit untuk ganti baju"
Setelah berkumpul mereka dibagi menjadi dua bagian. Sebelah barat untuk yang cewek dan sabelah timur untuk yang cowok dengan pemanasan di pimpin oleh salah satu diantara mereka sedangkan pak Andi hanya mengamati.
"Kalungmu mana?" Bisik Nata.
"Di Dava, aku gunain tadi malam. Soalnya aku khawatir tinggalin dia sendirian"
Nata hanya menganggukkan kepalanya.
"Sudah cukup latihannya anak-anak. Sekarang bapak ingin lihat siapa diantara kalian yang sudah bisa dan belum bisa. Untuk itu bapak akan tes lima orang lima orang"
"Pak, boleh saya duluan ?". Tanya Ayuka
"Saya juga,pak" Sambut Nata.
"Kita juga, pak". Ucap Clara cs ikut-ikutan.
"Baiklah, kalau kalian mau duluan"
"Kalian ikut aku!". Ucap Clara pada kedua sahabatnya.
"Kemana?".
"Kita beri mereka pelajaran".
"Pelajaran apa?".
"Kalian ikut aja!, ntar kalian tahu".
Sesampai di kamar mandi, Clara meminta kedua temannya untuk mengambil baju Nata, sementara ia sendiri mengambil baju Elis.
"Siapa itu?" Ucap Ayuka mendengar pintu terkunci dari luar. Ia langsung menarik ganggang pintu."Siapa sih punya kerjaan ini?" Menarik narik ganggang pintu yang terkunci dari luar.
"Nata, aku terkunci".
"Sama, aku juga. Bajuku ada yang bawa".
"Kita tak bisa keluar dengan pakaian seperti ini".
"Kalian mengajak orang yang salah untuk bermain"
Cukup beberapa menit untuk mengembalikan semuanya. "Mereka harus diberi pelajaran" Ucap Nata kesal.
"Biarkan saja!. Aku punya cara lain untuk membalas mereka".
"Hai Clara cantik"
Nata sengaja menyapa mereka. Benar saja apa yang dikatakan Elis, mereka terkejut melihat orang yang barusan di kerjainnya.
"Kok bisa?" Ucapnya heran.
"Ngga tahu".
"Kalian taruh baju mereka dimana sih?"
"Ya di bak sampah"
"Coba kalian liat,apa baju mereka ada disana ato nggak!"
Mereka kemudian pergi untuk mengecek apakah baju itu masih ada atau tidak.
"Nggak ada" Ucap mereka dengan serempak.
"Kalian yakin bajunya nggak ada?".
"Iya suer deh. Kalau ngga percaya cek aja sendiri".
"Kok bisa ya?. Ada yang aneh".
"Bener, aneh banget".
"Apa yang aneh?".
"Sasa" Teriak Clara dan Ica.
"Apaan sih?"
"Sebelumnya kan kita kunciin mereka, bagaimana mereka bisa keluar terus ambil baju mereka?, ngga mungkinkan kalau mereka sendiri yang ngambil. Masa mereka mau berkeliaran pakek baju renang". Ucap Sasa menjelaskan.
"Tumben otakmu benar. Mmm…,berarti ada yang bantu mereka,tapi siapa ya?".
"Risya" Ucap Sasa.
"Bisa jadi, dia kan temannya Elis".
"Kamu sudah pintar ya sekarang". Ucap Ica memuji sahabatnya itu.
"Bukan".
"Maksud kamu?".
"Itu,Risya jalan sama anak basket" Menunjuk kearah Risya dan seorang cowok..
"Itu kan Irfan, ketua basket".
"Kasian Risya". Ucap Sasa miris.
"Kenapa lo jadi kasian sama Risya ?".
"Ya kasian aja, Irfan kan cowok playboy. Kalau Risya dikacangin gimana?".
"Biarin aja, kan kita musuhan sama dia"
"Iya iya".
"Kenapa kita jadi bahas Irfan?, bukannya kita mau cari tahu siapa yang nolongin dua anak sok pintar itu" Ucap Ica yang menyadari pembicaraannya berbelok.
"Sasa sih" Ucap Clara.
"Kok Sasa sih yang disalahin".
"Tau ah.Kita kembali ke pembicaraan kita yang tadi. Kemungkinan besar yang membuat mereka lolos dari kita adalah Risya. Soalnya hanya dia yang berani bantu Elis".
"Trus, rencana kamu apa?".
"Kita beri dia pelajaran".
"Caranya?". Tanya Ica yang masih belum bisa menebak pemikiran Clara
"Pada punya aide nggak?". Tanya Clara balik bertanya.
"Yah, malah nanya"
" Ngga usah nanya ke Sasa!" Ucap Ica melihat Clara melirik ke arah Sasa. Sasa sudah akan menyuarakan suaranya, tapi terhenti ketika Ica mengintrupsi.
"Jahat bangat sih. Iya udah kalau nggak mau dengerin ide Sasa". Pasrah Sasa.
"Disini yang jadi ketuanya siapa sih sebenarnya?".
"Kamu" Jawab Sasa dan Ica kompak.
"Jadi, aku yang harus nentuin siapa yang boleh ngomong. Lagian kita juga sahabat. Ayo Sa, apa ide kamu?".
"Aku punya dua ide".
"Yang pertama, kita minta orang lain buat suruh dia ke gudang dengan alasan kalau Irfan yang nyuruh. Pasti Risya mau, soalnya dia kan…"
"Yang kedua?" Potong Ica.
"Yang pertama belum selesai penjelasannya".
"Nggak usah di jelasin, aku sudah ngerti apa yang ada di kapalamu".
"Ya sudah, rencana yang kedua kamu yang jelasin!". Kesal Sasa
"Marah ya?. Maaf deh".
"Aku lanjutin yang tadi. Risya suka sama Irfan, jadi dia bakalan mudah masuk perangkap kita. Pas dia sudah disana, kita kunciin gudang, ato kita beri dia sedikit pelajaran dulu. Itu sih tergantung kalian. Yang kedua, setiap ada PR kita sembunyiin buku PRnya, biar dia dimarah sama guru".
"Rencana diterima" Ucap Clara sambil tersenyum licik.
Mereka kemudian tertawa membayangkan rencana mereka.
"Sebentar dulu".
"Apa lagi sih?" Ucap Ica sensi.
"Kapan rencananya dimulai?".
"Tahun depan". Jawab Clara dan Ica kompak, mereka berdua kesal dengan otak Sasa yang konslet tidak tepat waktu.
"Serius nih".
"Aku lebih serius"
"Sasa, rencananya dimulai setelah pulang sekolah" Clara menjelaskan dengan sabar.
"Bukan itu".
"Trus apa?"
"Menyembunyikan buku PRnya Risya. Nanti pelajaran terakhir ada PR kan?". Sasa meluruskan kesalah pahaman kedua temannya itu.
"Kalau begitu kita harus pergi sekarang, mumpung semuanya pada di Kantin". Usul Ica semangat.
"Ini nih, kita sembunyiin dimana?" Tanya Sasa saat buku Risya ada di tangannya.
"Buang aja di bak sampah, siapa yang bakalan tahu juga". Usul Clara.
Sasa celingak celinguk melihat apakah ada orang, setelah dirasa aman, ia kemudian langsung melemparnya ke bak sampah.
"Beres".
"Ayo kita cabut".
"Ayo'".
"Haa, itu bel masuk udah bunyi. Ayo kita masuk, kita ngga boleh diam disini, ntar ada yang curiga sama kita". Ujar Sasa panik setelah mendengar suara bel masuk.
"Baiklah teman-teman, karena semuanya sudah masuk, saya akan memberitahu kalian kalau jam terakhir tidak bisa diisi soalnya bu Yuni juga ikut pergi keluar kota. Beliau menitipkan soal buat kita. Sekretaris, tolong tulis di papan" Menyodorkan selembar kertas.
"Yes, hari ini memang hari keberuntungan" Ucap Rangga.
" I'm very extremely happy"
"Kamu, ngomong apa sih. Nevermind. Yang penting sekarang aku happy "
"Sial, kalau kayak gini rencanaku gagal total" Batin Clara kesal.
Suara gaduh mulai terdengar di dalam kelas. Ketua kelas mulai menenangkan dengan cara memukul meja untuk menarik perhatian. "Perhatian semuanya!, jangan ribut!, nanti kalau ada guru yang datang buat marahin kita gimana, aku juga yang kena". Curhat sang ketua kelas.
"Kholil mah nggak asyik" Ucap Galih yang tidak setuju.
"Iya nih, sok bijak. Padahal sudah biasa dimarah" Reni menimpali.
"Makanya itu, saya minta kebijakan kalian. Tolong dengerin saya!, please!, jangan ribut!". Ucap Kholil mulai emosi.
"Ok. Sang ketua kelas kita yang sangat baik, kita nggak akan ribut, asal kita dikasih izin ke kantin" Sambil menepuk bahu Kholil.
"Woooyyy…., yang mau ikut ke Kantin aku traktir" Ucap Endi
"Aku" Terdengar suara murid bersahutan. Kelas kembali rebut.
"Kalian mau pergi gitu aja, sementara tugas kalian belum jadi. Kalian mau cari ilmu, ato gratisan?". Sindir Nata.
Semua terdiam mendengar ucapan Nata, langkah mereka terhenti seketika. Hal ini membuat Endi geram.
"Eee…, anak baru, jangan ikut campur, sok suci, cih"
"Itu tanggungjawab kalian sebagai siswa, wajarlah aku tegur kalian". Nata membela diri.
"Cukup!, kalian semua duduk dibangku kalian masing-masing". Titah Elis yang sudah jengah dengan kelakuan teman kelasnya itu.
Mendengar ucapan Elis semua orang terdiam dan kembali ketempat masing-masing. Entahlah bagaimana bisa ucapan Elis sebagai titah bagi mereka, hanya dengan satu kalimat mampu membuat mereka tidak berkutik. Ada aura aneh dalam kalimat Elis yang membuat semua orang patuh, ya Aura seorang pemimpin.
Semua mengerjakan tugasnya walaupun ada yang ogah – ogahan. Sementara Endi sambil menggerutu kembali ke bangkunya, ia juga mulai membuka bukunya.
"El?" Ucap Kholil menghampiri tempat duduknya.
"Silakan". Ucap Elis tenang.
"Boleh nanya?". Ulang Kholil.
"Iya, silakan". Ucap Ayuka memperhatikan lawan bicaranya.
"Nomor dua ini, gimana caranya?".
"Coba saya liat"
"Aku juga nggak ngerti" Sahut Lia yang mendengar suara Kholil.
"Gimana kalau kamu yang ngejelasin kita di depan, El" Usul Rangga.
"Iya, Kita nggak paham, El". Sahut Sinta.
Elis maju menjelaskan apa yang diminta teman-temannya itu.
"Mulai lagi nih anak jadi pahlawan". Gerutu Clara benci. Ayuka menoleh kearah Clara sekilas, lalu mengangkat bahu cuek.
"Nomor tiga juga, El"
"Ok". Ayuka kembali menjelaskan kepada seisi kelas dan berujung ia menjelaskan semua soal yang diberikan, lebih tepatnya menulis semua jawaban.
"Thanks ya El" Ucap seisi kelas saat semua sudah menyalin apa yang ada di papan.
Ayuka hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan teman kelasnya. Satu persatu mereka meninggalkan kelas.
"El, Nat. Kalian liat Risya nggak?".
"Mungkin masih di kelas"
"Makash, El, Nat". Berlari berlawanan arah dengan Elis dan Nata.
"Tumben dia cari Risya. Apa mereka pacaran?". Tanya Nata.
"Kayaknya nggak, setahuku mereka sepupuan"
"Sepupuan?".
Nata mengangguk paham. Mereka berpisah di parkiran, Nata menggunakan motor sport milik Dava, sementara Ayuka ikut dengan Rangga menggunakan mobil Nata.
Mobil mewah itu kemudian berjalan secara perlahan meninggalkan gedung sekolah menuju jalan besar yang bercampur dengan panasnya aspal jalanan dan polusi yang menari bebas.
"Ngga, kamu nggak laper?" Tanya Elis setelah lama terdiam.
"Mau makan dimana?". Tanyanya balik.
"Cari restouran terdekat aja, lapar bangat nih"
Rangga kemudian memelankan laju mobilnya kemudian berhenti di sebuah restouran yang tidak terlalu ramai.
"Mau makan apa?".
"Apa aja deh, yang penting cepet"
Rangga lalu mengangkat tangannya sebagai isyarat kepada pramusaji. "Mba, menu spesialnya dua sama jus jeruknya dua"
"Handphone ku mana ya?". Meraba saku bajunya.
"Mungkin ketinggalan di mobil".
"Aku ambil dulu kalau gitu".
Elis langsung menyalakan mobil dan meninggalkan Rangga sendirian. Namun, sebelumnya ia mengirimi pesan kepada Nata.
Nat, lo tmenin Rangga di restouran dket sekolah. Ada yg lagi ngawasi aku.
Elis mempercepat laju mobilnya, ia berjalan mengelilingi Jakarta, kemudian masuk ke dalam sebuah perkampungan dan berhenti.
"Adek…" Panggil Elis saat seorang anak kecil lewat di hadapannya.
"Iya, kak. Ada apa?".
"Minta tolongnya, kumpulin semua warga!, bilang ada makan gratis di warung sebelah sana. Nah yang bayar nanti itu, yang pakek mobil warna hitam ya. Kakak tunggu disini, okay?. Oh ya, satu lagi, jangan lupa nanti bisikin ke tukang baksonya, kalau kakak yang itu yang bayar, disuruh sama ceweknya"
"Rasain tuh. Emang enak gua kerjain" Umpat Elis cekikan.
Para warga mulai berdatangan dan memesan semangkuk bakso. Suasana yang ramai menjadi keuntungan buat Ayuka untuk kabur, sementara musuhnya kewalahan untuk keluar dari kumpulan orang – orang yang sedang memesan.
"Sial, dia mengerjain aku" Gerutunya.
"Heeeiii, mau kemana?, Ucap anak ini kamu yang bayar semua makanan"
Laki-laki itu kebingungan dengan ucapan tukang penjual bakso. Ia tidak mengerti dengan bahasa yang digunakan penjual bakso itu.
"Cepat bayar!". Geram penjual bakso.
"Mungkin dia tidak bisa bahasa Indonesia. Lihat saja wajahnya kebingungan begitu!"
"Mungkin saja, lalu bagaimana ini?". Tanya penjual bakso panic.
"Mungkin kalau menggunakan bahasa Inggris dia akan mengerti" Ucap seorang pemuda.
"Boro – boro bisa bahasa Inggris, baca tulis aja udah syukur" Ucap sang penjual.
"Exused me. I'm sorry sir, can you speak english?". Tanya pemuda tadi.
"Yes, I can. What happen?".
"You must to pay for all the food already in…, in apa ya ?, apa pesan ?, apa bahasa inggrisnya?. aduh, pakek lupa segala lagi" Melihat ke kiri kanan.
"Order" Ucap anak kecil yang tadi.
"Ah ya, order. You must to pay for all the food already in order" Ucap pemuda mengulanginya lagi.
"Do you have money ?" Ucap pemuda itu lagi.
"I just have this" Menunjukan dompetnya yang berisi lembaran uang yen.
"Aduh, gimana tuh ini, rugi ane. Bisa gulung tikar nih". Ujar tukang bakso hampir menangis.
"Ngga kok pak, ntar uangnya ditukar sama rupiah, pak".
"Bisa, ya. Tapi, itu uang apaan?".
"Ini namanya yen, mata uang Jepang".
"Ooohhh…, satu yen berapa rupiah?".
"Nah, itu kurang tau, pak"
Lelaki itu semakin bingung, ia kemudian menyerahkan dompetnya kepada penjual bakso, lalu pergi entah kemana.
"Eeh, mas dompetnya" Teriak penjual bakso.
"Pak, mungkin dia bingung berapa harga baksonya, makanya di kasih dompetnya". Ujar yang lain.
Penjual bakso itu hanya mengangguk masih bingung dengan kondisi yang dihadapinya.
"Boleh minta satu lembar, pak?"
"Boleh. Terimakasih ya, berkat kamu. Dagangan ane nggak jadi gulung tiker" Mengeluarkan 3 lembaran uang yen dari dalam dompet.
"Iya, pak sama-sama" Menerima pemberian tukang bakso.
Disisi lain, setelah terbebas dari kejaran musuhnya yang tidak dikenalnya. Elis menelphone Nata.
"Hallo, Nat. Lagi dimana?".
"Masih sama Rangga nih".
"Itu Elis?, sini biar aku yang ngomong" Terdengar suara Rangga dari seberang telephone.
"Rangga mau ngomong nih".
"Kasih aja!".
"El, kamu dimana?, kok ninggalin aku gitu aja sih"
"Sorry, sorry. Ada urusan mendadak tadi. Kan aku sudah suruh Nata nemenin. Nggak apa apa kan?"
"Iya, ngga apa apa kok, lain kali jangan ninggalin lagi!".
"Siiip. Masih lama kan?, aku kesana". Tanya Ayuka memastikan. Ia merasa tidak enak meninggalkan Rangga, padahal ia yang mengajak Rangga untuk makan siang.
"Iya. Cepatan!, ngga pakek lama. Kalau lama aku pulang nih". Ancam Rangga.
"Iya, ya. Lima menit sampai kok". Putus Ayuka.
"Udah lima menit ni, belum juga dia datang" Protes Rangga pada Nata.
"Tunggu aja, baru juga lima menit. Kayak mau kemana aja". Membela Ayuka.
"Kalau lewat dari sepuluh menit, kita pulang aja bosan aku disini"
"Pulangnya pakek apa?, jalan kaki?" Canda Nata.
"Nah itu dia" Menunjuk orang yang baru saja datang.
"Telat satu menit. Jadi kamu yang bayar semua makanan"
"Iya, ya. Bilang aja kalau mau di traktir. Makannya udah selesai kan?"
Rangga mengangguk mengiyakan.
"Pulang yu'!". Ajak Ayuka.
" Kamu nggak makan?"
Ayuka menggelengkan kepalanya, lantas pergi menuju meja kasir untuk membayar makanan yang telah dipesan. Setelah itu, mereka kemudian keluar dari restouran dan berpisah di tempat parkir. Elis dan Rangga menuju parkir mobil sedangkan Nata menuju parkir sepeda motor. Tidak lama kemudian mereka bertemu kembali. Nata mengiringi mereka sampai persimpangan jalan, lalu berbelok menuju rumah Dava.
"Kemana saja kalian?". Tanya Dava saat mereka tiba di rumah.
"Kencan". Ucap Rangga santai.
"Enak banget.Sementara aku disini lumutan nunggu kalian" Ucapnya dengan wajah kusut.
"Aku mau mandi dulu, capek" Berjalan meninggalkan mereka berdua. Baru beberapa langkah ia teringat sesuatu, lalu membalikan badannya. "Oh ya. Ntar malam kita jenguk Azwin sama Ajik. Ucapnya mereka udah bebas"
"Bebas?" Tanya Dava. Namun Rangga tak mempedulikan pertanyaan Dava, ia terus saja berjalan menuju kamarnya. Sadar tak di respon ia lantas menoleh ke arah Elis dengan ekspresi penuh tanya. Sama seperti Rangga Elis juga mengabaikan Dava.
"Pada kenapa sih?". Bingung Dava.
Dava keluar dari rumah besar itu berjalan menyusuri tratoar di temani semilir hembusan angin sore. Seorang tukang bubur lewat di hadapannya membuat cacing diperutnya bernyanyi. Irama musiknya terdengar memilukan sekaligus mengundang tawa yang mendengarnya, tapi untuk pemiliknya hanyalah malu. "Bang, beli buburnya" Teriak Dava, berlari mengejar tukang bubur.
"Pak, pak, pak. Buburnya satu"
"Sebentar ya, den" Ia kemudian memarkirkan sepeda bersama gerobaknya ke pinggir jalan. Lalu, menyerahkan sebuah kursi plastik kepada Dava.
"Makasih, pak " Menerima kursi yang diberikan.
"Aden lagi kesal ya?". Tanyanya sambil menyerahkan semangkuk bubur ayam.
Ia menanggapi pertanyaan yang diberikan bapak penjual bubur dengan diam tanda tidak ingin ditanya. "Mulut memang bisa berbohong, tetapi mata tidak" Ia kemudian menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Setiap orang pasti pernah merasakan yang namanya kecewa. Namun, sebenarnya rasa kecewa itu hadir karena sebuah harapan. Berharap lebih dari seseorang"
Dava menoleh kearah penjual bubur ayam yang duduk di sampingnya tampa mengatakan sepatah kata pun. Bapak itu mulai menceritakan kisah hidupnya tanpa pernah Dava minta.
Lama kelamaan Dava mulai tertarik dengan cerita hidup bapak penjual bubur,ia tak menyadari kdatangan seseorang, sampai seseorang itu berdiri tepat di belakangnya. Ia baru sadar ketika bapak itu melempar senyuman kearah orang tersebut.
"Sejak kapan kamu disini?".Ucapnya sedikit terkejut.
Elis tersenyum kepada keduanya sebelum menjawab pertanyaan Dava. "Sejak tadi dan dari mana aku tahu kamu disini, dari GPS. Kan kamu seendiri yang masang ADM, android davice manager di hp aku" Memperlihatkan handphonenya.
"Wah, canggih ya neng". Sambil menengok kearah handpone Ayuka.
"Pak, kami permisi dulu" Ucap Elis menarik tangan Dava setelah membayar bubur itu.
"Mau kemana sih?" Tanya Dava saat di dalam mobil. Entah kenapa moodnya sedang tidak baik. Ia masih kesal ditinggal Elis.
"Kerumahnya Azwin, masa lupa?". Tanya Ayuka dengan sabar. Ia kemudian bertukar tempat dengan Dava, membiarkan kemudi diambil alih.
"Nata sama Rangga udah duluan kesana" Ucap Elis memberitahu, karena dia gereget dengan Dava yang hanya diam saja tanpa mau mengajaknya berbicara.
"Yah, Dav, kenapa lewat sini?" Tanyanya kemudian saat Dava memilih jalan yang tak pernah dilewatinya dan terlihat sepi.
"Biar cepet, kalau lewat jalan utama rame".
"Tapi, Dav jalan ini sepi banget, kalau ada oranng jahat gimana?".
Baru saja ia selesai bicara, di depannya sudah ada dua orang berdiri menghadang mereka.
"Gawat nggak bisa ngehindar" Dibunyikannya klakson berapa kali agar dua orang itu menyingkir dari jalan. Namun, tetap saja tak bergeming. Terpaksa ia harus menginjak rem dalam dalam agar tak menabrak dua orang tersebut. Decitan gesekan antara ban mobil dengan aspal sangat kentara, pasti meninggalkan bekas.
"Kamu ngga apa apa kan?" Tanya Dava melihat Elis kebentur.
"Cuma kena kepala sedikit"
" Jangan keluar!".
Entah dari mana mereka datang, dua orang lagi dari arah kiri kanan member isyarat kepada mereka untuk keluar. Dava memegang tangan Elis yang mencoba membuka sabuk pengamannya, reflek Elis melihat kearah Dava. Dava menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju. Ia kemudian keluar menghadapi orang-orang dengan baju hitam bak ninja di dalam film action.
Elis membuka sabuk pengamannya bersiap siap membantu jika dibutuhkan. Pertarungan diantara mereka tak dapat dihindari. Berapa kali Dava melayangkan pukulan ke arah lawannya. Akan tetapi tak jua mengenai lawannya, lawannya terlalu gesit dalam bergerak. Musuh tak sebanding dengan kemampuannya terlebih ia harus menghadapi empat orang sekaligus. Dua orang lagi datang dari arah yang gelap siap menghajar Dava. Dengan sigap, Elis keluar dari mobil dan menyerang mereka. Melihat Elis, Dava kehilangan fokus.
"Dava awas!!!". Ayuka berlari kearah Dava, lalu melompat memegang kedua pundaknya sementara kedua kakinya menjepit kepala musuh dan melemparnya seperti gasing hingga mengenai dua orang dibelakangnya.
Saking terkejutnya Dava kehilangan keseimbangan ia tak dapat menahan tubuh Elis. Untung saja Elis sudah mendarat terlebih dahulu di tanah dengan begitu ia dapat menarik tangan Dava agar tak jatuh.
Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Orang yang salama ini bersamanya dalam satu jam berubah mejadi orang lain.
"Dava, bukan waktunya untuk bengong!". Teriak Elis sembari terus melawan musuhnya.
Dava tersadar dari lamunanya, kembali melakukan menyerangan. Salah satu dari mereka berteriak dengan bahasa yang tak dimengerti Dava, mereka berlari seperti sekelebat bayangan hitam. Setelah dirasa semua sudah pergi, mereka langsung masuk kedalam mobil. Dava memutar balik laju kendaraannya membuat Ayuka heran."Kenapa balik?, ini bukan arah ke rumah Azwin".
Dengan kasar ia lalu menepikan mobilnya dan berhenti. "Jujur!, kamu siapa?" Teriak Dava membuat Elis terkejut.
Elis menarik napas panjang, ia tahu hari ini bakalan terjadi. Tapi ia tak menyangka akan secepat ini. mungkin ini saatnya Dava tahu yang sebenarnya. "Ceritanya panjang"
"Sepanjang apakah itu?, sepanjang jalan inikah?, berjuta juta kilometer?". Tanya Dava emosi.
"Cukup Dava!, kamu tidak akan mengerti". Balas Ayuka emosi.
"Kita pulang sekarang, lalu ceritakan padaku agar aku mengerti" Ucapnya sarkas.
Baru kali ini ia melihat Dava semarah itu. Sebelumnya ia tak pernah semarah itu, walau ia membuat kesalahan. "Pulang ke rumah Rangga?". Ucap Elis dengan hati-hati.
"Bukan, kerumah kita".
"Jangan!". Spontan Ayuka berteriak membuat Dava heran dengan orang yang ada dihadapannya iini. "Kenapa?, ada yang salah?".
"Kuncinya dibawa sama Nata". Ucapnya ngasal.
"Kita dobrak"
"Tapi, Dav…"
"Apa sebenarya yang kamu sembunyikan?". Selidik Dava. Ia menganggap perilaku Elis saat ini sangat aneh tidak seperti biasanya.
Ayuka terdiam seribu bahasa. Ia tak bisa menyangkal ucapan Dava, terlalu banyak hal yang ditutupi."Mungkin ini saatnya aku memberitahu yang sebenarnya, tapi bukan kah ini terlalu cepat, bagaimana jika Dava tak bisa menerimanya, bagaimana jika ia tak bisa menerima takdirnya"
"Kenapa diam?". Tanya Dava semakin dibuat kesal.
"Baiklah kalau kamu ingin tahu yang sebenarnya, tapi kau harus janji padaku untuk mengikuti apa yang aku Ucapkan" Menyodorkan kelingkingnya.
"Iya, janji" Tidak ingin berdebat panjang ia menyambut kelingking Elis.
"Kau harus siap dengan apa yang aku katakan, kau harus menerimanya" Menarik napas panjang sebelum melanjutkan ke pembicaraan yang lebih serius.
"Dengar karena aku hanya akan mengatakannya sekali. Orang yang menyerang kita barusan adalah musuhku. Mereka mengincarku. Secara otomatis kamu akan terlibat di dalamnya, karena mereka telah melihatmu. Semua yang berhubugan denganku siapa pun itu kemungkinan besar akan terseret ke dalamnya".
"Aku tidak mengerti". Apa maksudnya ini, musuh, orang yang terserat, apakah ini sebuah lelucon untuk menghiburku.
"Memang sulit untuk dipahami, tapi seiring dengan berjalannya waktu kamu akan mengerti dengan sendirinya".
"Kau membuatku bingung, sebenarnya kamu ini siapa?, mereka itu siapa?".
"Maaf, jika selama ini aku membohongimu. Namaku yang sebenarnya…, aku tak bisa mengatakannya disini"
"Kenapa?". Tanyanya heran. Ia mengabaikan rasa marahnya, rasa penasaran lebih mendominasi.
"Ini bukan tempat yang aman untuk membicarakan hal ini".
Elis mengambil alih kemudi, ia kemudian mengajak Dava ke sebuah rumah yang tak perpenghuni. Dari luar rumah itu terlihat coreng moreng tak terawat, tetapi ketika dimasuki ke tempat yang lebih dalam, di ruang bawah tanah. Dava terkagum di buatnya. Ruangan dipenuhi dengan barang elektronik dan beberapa komputer yag dibiarkan menyala begitu saja. Dengan menggunakan sidik jarinya, Elis mengajak Dava memasuki sebuah ruangan yang dirancang khusus.
Ayuka menekan sebuah tombol, membuat beberapa barang yang ada berpindah, lalu menghilang begitu saja. Mereka kemudian duduk di sebuah karpet merah.
"Duduklah, aku akan menceritakan yang sebenarnya padamu" menepuk nepuk karpet.
"Sebenarnya, namaku adalah Ayuka kenshin. Aku keturuan batosai. Aku kesini karena menghindari pemerintah. Mereka ingin memusnahkan para samurai, waktu itu aku masih kecil, anak buah kakek membawaku kabur, berkeliling hingga sampai disini. Namun saat dalam perjalanan mereka tewas di bunuh. Aku dapat lolos dari mereka, karena kalung yang kamu gunakan".
Dava meraba lehernya dan memegang kalung tersebut.
"Aku yang memasang kalung itu saat kamu pingsan. Kau ingat kenapa kau bisa bingsan?".
Dava mengingat ingat kejadian yang dialaminya sebelum pingsan. Bagaimana ia bisa berubah menjadi moster yang menakutkan dan melempar Elis tampa menyentuhya.
"Kamu bukan orang biasa. Yang terjadi padamu bukanlah sebuah kutukan, itu adalah takdir yang harus kau terima, tidak semua orang terlahir dengan sebuah keistimewaan. Tapi jika kau tak bisa mengendalikannya dia akan menjadi bencana bagimu dan orang lain"
"Takdir?, aku tidak mengerti".
"Kamu tidak perlu mengerti sekarang". Menjawab kebingungan yang dirasakan lawan bicaranya.
"Apakah kamu bisa membaca pikiran?". Tanya Dava yang terkejut dengan apa yang dikatakan Elis sesuai dengan yang ada dibenaknya.
"Bisa dibilang seperti itu, aku bisa mendengar suara hati setiap orang jika aku mau".
"Berarti selama ini kau tahu apa yang ada dipikiran dan hatiku?".
"Tidak, karena aku tidak ingin mencampuri pikiran orang lain. Tapi terkadang, aku bisa mendengarnya walaupun aku tidak mau. Seperti keluhan,umpatan dan kebencian orang lain"
"Kau ingat saat Nata menendangmu?, aku melihat tanda lahir di pundakmu, tanda keturunan pengendali pedang. Tanda itu bukan sembarangan orang bisa memilikinya, walaupun ia adalah keturunan pengendali pedang sekalipun. Kamu beruntung memilikinya,tapi bagaimana kau mendapatkannya? , apa itu bertanda kamu bukan anak kandung paman Bayu. Tidak mungkin tanda itu terdapat pada oranng yang bukan keturunan pengendali pedang. Karena tanda itu diwariskan secara turun temurun.
"Hmmm…., ini aneh. Sebaiknya kau harus mencari silsilah keluargamu. Tapi sebelumnya aku harus mengajarimu pertahanan diri, agar aku tak kewalahan seperti tadi".
Dava masih mencerna setiap kalimat yang dikatakan Elis menurutnya ini sangatlah tidak masuk akal. Ini terlihat seperti di film dongeng.
"Tidak ada waktu untuk berpikir Dav". Membuyarkan lamunannya. Ia tahu ini semua mendadak, Dava butuh waktu untuk menerima semuanya.
"Tidurlah!" Titah Ayuka.
"Tidur?". Tanyanya heran.
"Iya, tidur. Lakukan apa yang aku minta". Ucapnya tidak ingin dibantah.
Elis menghentakkan kakinya kelantai, seketika itu juga lantai langsung terbelah dua, dari bawah muncul sebuah kasur lengkap dengan bantal gulingnya.
"Orang Jepang memang hebat" Kagum Dava.
"Tidurlah".
"Hah?".
"Lakukan saja apa yang ku katakan". Gemas Ayuka.
Dava mulai merebahkan tubuhnya, sementara Elis duduk bersila bermeditasi. Masuk ke dalam mimpi Dava.
Sebelum memulai latihan, Elis merubah asmofir mimpi Dava menjadi sebuah padang rumput yang luas dengan angin sepoin – sepoi yang menyejukkan dengan begitu dapat mengurangi rasa lelah Dava.
Ia mulai mengajari Dava latihan fisik mulai dari tingkat dasar sampai ke tingkat menengah. Untuk tenaga dalam akan diajarkan setelah ilmu fisik dikuasai.
"Hanya dengan sekali melihat saja kamu sudah menguasainya". Pujinya.
Dava hanya tersenyum, ia merasa senang dengan kemampuan yang dimilikinya saat ini.
"Serang aku!". Ucap Elis mencoba kemampuan Dava.
Sudah sejaman mereka saling menyerang, kekuatan Dava semakin meningkat. Namun, tiba-tiba atmosfir berubah menjadi gelap. Elis jatuh tersungkur ke tanah, kemudian menghilang begitu saja.
"Ayukaaa…". Teriak Dava, namun tak ada jawaban.
"Ayuka, Elis siapapun namamu, tolong jawab aku".
"Dava tak boleh melihat ku dalam keadaan seperti ini, dia pasti akan menganggapku lemah" Ia bangkit dari tempat duduknya dan keluar menuju laboratorium.
"Aku hanya butuh istirahat untuk memulihkan kondisiku" Elis kembali mengingat kejadian saat ia diserang. Sebetan Katana sempat mengenai pinggangnya, lukanya cukup dalam. Namun, berkat kemampuan yang dimiliki ia bisa memulihkan dengan hitungan detik.
"Suruhan siapa mereka?, apa mungkin itu anak buahnya Shouzan?, jika begitu, dia pasti sengaja menyerangku saat bersama Dava, ia berencana membuat Dava benci padaku. Kau salah besar Haranata…, aku telah mendahului rencanamu. Kau lihat saja apa yang telah ku persiapkan untuk kalian semua. Kalian telah mengusik ketenangan yang selama ini ku buat"
Dalam pikirannya ia terlelap ditemani sunyinya malam, dinding tua yang kokoh dengan chat putih bersih seolah sebagai pelindung baginya yang sedang terlelap di meja berhias komputer dan elektronik lainnya. Hanya pakaian yang menempel dibadan menyelimuti tubuh mungilnya dari dinginnya malam dan ac ruangan yang menyala 24 jam non stop.
****
Senja kemerahan terlihat jelas di ufuk timur, mentari dengan malu – malu mulai menampakkan cahanya, tersenyum kepada dunia, menyambut harapan setiap makhluk ciptaan sang Khalik. Bulan perlahan mundur bersama bintang digantikan sang mentari setelah berjaga semalaman menemani setiap insan yang kesepian. Cewek itu, berjalan mondar mandir tak karuan dari kamarnya, walau ia tahu matahari sedang menyapa dari balik jendela kamar Elis yang sekarang di tempatinya. Kegusaran menyelimuti kalbu nampak jelas dari mimik wajahnya. Kekhawatiran akan tuannya tak dapat ia tahan, terlebih ketika semalam Elis dan Dava tak juga datang ke rumah Azwin seperti kesepakatan yang telah dibuat, tak ada kabar sedikitpun yang terdengar, entah dimana mereka sekarang ia tak tahu. Ditanyanya kepada beberapa teman tidak ada juga yang tahu. Lantas kemanakah ia akan mencari?, muncul perasaan buruk meracoki pikirannya, mungkinkah tuannya telah ditangkap dan dibunuh? ataukah dijadikan umpan untuk memusnahkan para samurai?.
"Tuan… kemanakah aku harus mencarimu lagi?, apa kau baik – baik saja?, kenapa handphonemu tak aktif, apakah kau tak tahu aku disini khawatir padamu?" Memutar mutar handphonenya.
"Apa aku harus menghubungi mereka?, tapi bagaimana aku akan memanggil mereka sementara aku belum mendapat izin. Jika dia marah, habislah aku.Tapi…, jika aku memanggil salah satu dari mereka tuan pasti tidak akan marah, karena aku akan memberinya sebuah alasan. Yah, benar, itu ide yang bagus. Tapi siapa yang akan ku panggil ?, siapa kira – kira yang cocok untuk mencari keberadaan tuan?" Nata mulai menelaah kelebihan dan kekurang teman-temannya itu. hingga akhirnya memutuskan untuk memanggil Amber si mata serigala.
"Sekarang aku harus pergi mencai tahu keberadaannya" Ia pun keluar menuju bagasi dan memanaskan motor untuk beberapa menit kemudian melaju bersama cakrawala harapan disaksikan sinar mentari yang semakin tersenyum lebar.
Tibalah kini ia disebuah gedung yang kumuh, coreng moreng tak terawat. Ditengoknya sekelilingnya terlihat masih sepi. Sekira dirasa aman Nata memarkirkan motornya di belakang rumah. Ia menyapu sekelilingnya, matanya membelalak heran melihat mobil yang dikenalinya.
"Ini kan mobil ku" Semakin memperhatikan desain mobil yang dilihatnya. "Iya, ini mobilku. Berarti…, tuan ada di dalam" Nata berlari kecil kegirangan.
Dibukanya pintu ruangan dengan sidik jarinya, betapa terkejutnya ketika mendapati tuannya yang sedang terlelap didepan komputer. "Kenapa dia tidur disini?, kenapa tidak di kamarnya?, tidak biasanya" Ucapnya dengan heran.
"Apa pintunya mancat hingga tak bisa di buka?" Secara perlahan Nata membuka ganggang pintu. "Terbuka. Lalu, kenapa tuan tidur disana, tak biasanya dia seperti itu, mana acnya nggak di matiin lagi"
"Siapa dia?" Ia mendekati orang yang telah berani tidur di kasur tuannya itu. Betapa terkejutnya ketika mengetahui siapa yang ada disana. "Dava…"
"Apa tuan yang memberinya izin, tapi kenapa?, kenapa ia membiarkan Dava tidur disana, sementara keadaan dia lebih buruk. Apa jangan jangan tuan menyukai Dava, tapi itu tidak mungkin. Itu tidak boleh terjadi, tuan tidak boleh menyukai Dava, ia tidak boleh menyukai siapa pun. Menyukai seseorang hanya akan menjadi penghambat, hanya akan jadi boomerang. Cinta tak boleh bersarang di hati kami, cinta hanya akan meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh, aku tidak ingin apa yang terjadi padaku terjadi pada tuanku. Cinta hanya untuk orang-orang bodoh, cinta hanya untuk manusia normal seperti mereka. Cinta tidak cocok untuk kami, para samurai, orang berkekuatan khusus"
"Apa yang sedang kau lakukan?".
Nata terkejut mendengar sebuah suara yang tak asing di telinganya. "Eh Elis, kamu sudah bangun rupanya"
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Tuan tidak boleh tahu kalau aku berencana menghubungi Amber" Batin Nata. "Aku yang seharusnya bertanya padamu, kenapa kalian bisa ada disini?, kenapa kau tak tidur di kamarmu?, kenapa kau lebih memilih memberikan temmpatmu untuk orang lain?". Cecar Nata tidak terima jika Dava diperlakukan dengan spesial.
"Ceritanya panjang". Jawab Ayuka sekenanya.
"Sepanjang apakah itu?, tidak membutuhkan waktu 24 jam kan untuk menceritakannya?!". Nata mulai kesal.
"Sejak kapan kamu mulai berani menghakimi ku?". Ayuka menatap tajam Nata yang terlalu berisik menurutnya.
"Kau mengalihkan pembicaraan. Apa jangan-jangan kau menyukainya ".
"Jangan sembarangan kamu!" Elis merasa bahwa Nata mencurigainya atas suatu hal yang tidak diketahuinya.
"Lantas kenapa dia bisa ada disana?, ingat cinta hanya menghambat seseorang menuju tujuannya!". Nata mengingatkan Elis dengn penuh rasa khawatir dan marah.
"Kendalikan emosimu!, kau tahu siapa aku, kau sudah mengenaliku sejak kecil. Lalu, kenapa sekaranng kau meragukanku?".
"Sikapmu sudah berubah, kau lebih peduli padanya".
"Hey…, Nata. Apa aku hanya peduli padanya?, sadar Nata…, sadar. Bukannya aku juga peduli padamu, apa aku tak peduli dengan banyak orang, ingat siapa yang telah menyelamatkanmu!, ingat bukan kamu saja yang pernah ku selamatkan. Aku berbuat baik kepada siapa saja yang memiliki keistimewaan. Aku tahu apa yang harus kulakukan, kau tak perlu khawatir tentang hal itu. Aku tahu kau memikirkanku, khawatir padaku. Tapi percayalah aku akan baik-baik saja" Memegang pundak sahabatnya.
Nata menundukkan kepalanya, ia diam akan ucapan Ayuka yang tegas namun lembut. "Aku hanya takut, apa yang menimpaku terjadi padamu".
"Kenapa kau masih disini?, jam berapa ini?, seharusnya kau pergi sekolah. Jika tidak, mereka akan curiga".
"Tapi aku masih ingin disini, menemanimu".
"Pergilah!, aku baik baik saja, percaya padaku" Melirik arlojinya "Astaga, kau bisa terlambat. Lakukan apa yang bisa kau lakukan. Aku akan mengirimi motormu nanti"
Nata kemudian keluar dan mulai melompati atap – atap rumah yang ada. Ia berlari secepat mungkin bak angin di padang tandus. Dengan kecepatan yang dimiliki membuat dirinya tak terlihat.
Rangga menengok ke belakang, ia merasa kalau di belakangnya ada seseorang. Sontan saja saat menoleh,Rangga langsung berteriak membuat dirinya menjadi pusat perhatian.
"Kamu kenapa Ngga?" Tanya bu guu.
"Ngga ada bu, cuma tangan saya ke jepit meja" Ucap Rangga berbohong.
"Makanya jangan ceroboh?". Nasehat bu Husna.
"Iya bu, maaf ". Ucap Rangga merasa tidak enak telah mengganggu konsentrasi seisi kelas.
"Baiklah kita lanjutkan". Mengembalikan fokus yang sempat hilang.
"Kenapa kamu bisa ada disini?, kapan kamu nyampenya?". Tanya Rangga heran.
"Dari tadi kan". Jawab Nata santai.
"Aku nggak lihat kamu dari tadi ada disini".
"Makanya mata itu dipakek buat ngelihat, bukan cuma plototin paha cewek doang. Mending kamu perhatikan bu guru, biar dapat ilmu yang berkah"
"Malah diceramahin. Eh, Nat, kalian tukaran mobil ya?" .
"Ngga kok, siapa bilang gitu?".
"Buktinya, sekarang kamu pakek motornya Dava".
"Oh, itu ceritanya panjang. Sampai lebaran monyet pun ngga bakalan selesai ceritanya".
"Ya elah segitu amat".
"Nat, kalau Dava aja bisa tukaran motor sama kamu, aku mau dong tukaran hati" Ucap Bimo ngegombal.
"Idih…, haram hukumnya". Nata bergidik ngeri mendengar gombalan receh Bimo.
"Tiga yang di belakang keluar!!!" Sambil melempar penghapus ke arah Rangga, Bimo, Nata. Langsung saja ruang kelas itu sepi senyap bak kuburan. Hanya ada mata yang memandang ke arah mereka.
"Kalian nggak dengar?!. Cepat keluar!!!" Suaranya semakin meninggi.
Tak ingin dimarahi lagi, mereka pun keluar. Bukan rasa bersalah yang bersarang pada diri mereka. Malah mereka kabur menuju kantin, menikmati es teh bersama dengan gorengan hangat.
"Ternyata kamu suka juga makan gorengan?" Ucap Bimo melihat Nata dengan lahap memakan gorengan yang ada di hadapannya.
"Kamu cantik" Ucap Rangga kemudian. Langsung saja Nata mengernyitkan alisnya mendengar penuturan Rangga yang tiba-tiba. "Kamu bilang apa tadi?". Ucap Nata pura-pura tidak mendengar.
"Nggak ada". Jawab Rangga gelaggapan. Ia mengutuk mulut sialannya yang asal berbunyi tanpa dapat ia control.
"Bim, kamu dengarkan apa yang di bilang sama Rangga?".
"Iya, dia bilang kamu cantik".
"Tu kan, Bimo aja dengar. Siapa yang kamu bilang?".
"Eee… itu, anak kelas X itu?" menunjuk seorang cewek yang kebetulan menuju kemari.
"Oh itu, mau aku salamin?". Tawar Nata.
"Nggak ah, dia udah punya pacar". Alibi Rangga
"Uuuu…. Kacian"
"Cuitt…cuitt…" Bimo memasukan jari telunjuk dan jempolnya ke dalam mulutnya saat cewek yang dimaksud Rangga melewati mereka. Bukan rasa malu yang dirasakan Rangga, malah dia dan kedua sahabatnya itu tertawa lepas lantaran air liur yang keluar dari mulut Bimo. Bimo menyolek Rangga saat cewek itu menoleh ke arah mereka. " Dia ngeliat tuh"
"Apaan sih?, balik yu' " Pinta Rangga badmood.
"Belum habis nih"
"Yang terakhir yang bayar" Ucap Nata iseng. Nata menarik tangan Rangga dan mengajaknya berlari. Panasnya terik matahari tak dirasakan Rangga. Angin perlahan bertiup seolah memberi dukungan padanya. Di liriknya tanganya yang di genggam Nata, menambah rasa sesak di dada. Namun, begitu dinikmati Rangga hingga ingin rasanya waktu berhenti detik ini juga.
"Andai kamu tahu Nat, saat pertama kali kamu menginjakkan kaki di ini, saat pertama kali kamu masuk dan duduk di belakang ku. Perasaan aneh itu muncul, perasaan yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Ku kira rasa itu adalah hal yang wajar, karena kau berasal dari Jepang dan kebetulan sekali aku seorang J-pop. Seiring waktu berlalu, rasa ini tak jua hilang. Aku menyadari rasa aneh itu adalah Cinta. Namun, aku bingung bagaimana aku mengatakannya, bagaimana aku mengutarakannya padamu. Aku takut jika kau tahu kau akan menjauhiku, aku takut itu. walaupun sebenarnya aku benar-benar ingin memilikimu
"Kalian pacaran ya?, sampai ke kelas aja gandengan tangan"
"Apaan sih, Yol" Ucap Nata melepas genggaman tangan Rangga.
"Andai apa yang dibilang Yola itu benar. Gua pasti senang banget, gua bakalan jadi orang yang paling beruntung sedunia".
Nata kemudian menerobos masuk melewati Yola dan Sari yang berada di depan pintu kelas. Di ikuti oleh Rangga.
"Kenapa?" Tanya Rangga membalikkan tubuhnya menghadap Nata perhatian.
" Badmood nih".
"Bawa motor?".
"Tuan udah nganterin ngga ya?. Udah pasti, tuan nggk mungkin lupa".
"Iya, kenapa?".
"Nanti, motornya Bimo yang bawa, terus kamu ikut aku".
"Kemana?".
"Rahasia". Jawab Rangga.
"Bimo ikut?".
Rangga menggelengkan kepala yang menandakan bahwa Bimo tidak ikut. Mengerti dengan apa yang akan ditanyakan oleh Nata, Rangga langsung menjawab "Rahasia".
"Kalau dia nanyak gimana?".
"Itu urusan kamu" Ucap Rangga sambil tersenyum jahil.
"Issshh…".
Rangga membalikkan tubuhnya untuk melihat kedatangan teman sebangkunya itu.
"Kalian lagi ngomongin aku ya?".
"Kok kamu tahu?".
"Karena pas aku datang, kalian langsung liatin aku, jadinya aku menarik sebuah kesimpulan kalau aku ini ganteng". Ucapnya bangga.
"Kesimpulan apaan kayak gitu?, ngga nyambung banget sih". Sewot Rangga.
"Masa bodo, yang penting aku itu ganteng, ya kan Nat?". Meminta pendapat.
"Tau ah, coba tanya Linda!" Melihat Linda yang baru masuk kelas.
"Lin, sini Lin!" Panggil Rangga.
"Apaan?".
"Ditanya sama Bimo"
"Apa?".
"Aku gantengkan?". Ucapnya percaya diri.
Linda merespon ucapan Bimo dengan tertawa meledek "Tubuh gendut, buncit kayak kamu, ganteng?, kalau di samain sama bangsa gorila mungkin iya, gantengan kamu". Ucapnya disela tawa.
"Wah, parah kamu Lin, masa aku disamain sama gorila".
"Di rumah nggak punya cermin ya?, nih ngaca". Mengambil cermin kecil di saku bajunya.
"Tuhkan aku ganteng. Mama aku juga bilang kalau aku ganteng" Sambil merapikan rambutnya.
"Ya jelaslah mama kamu bilang ganteng, kamu anak tunggal".
"Jahat banget. Jangan terlalu jujur napa". Ucap Bimo dengan muka sedih yang dibuat-buat.
"Sorry, sorry. Coba deh kamu kurusin badan, mungkin agak ganteng" Memperhatikan postur tubuh Bimo.
"Masa?, beneran nih. Ngga bantuin ya?!" .
"Iya, ya".
"You are the best. Ntar sore temenin aku fitness ya?!". Ucapnya antusias.
"Yah, kalau ntar sore nggak bisa, ada planning".
"Oh ya, kayaknya kalian kurang personil deh. Elis sama Dava kemana ya?". Tanya Linda memotong percakapan dua sijoli.langsung saja pandangan mereka tertumpu pada Nata.
"Huuhh…, sudah ku duga kalau kalian akan bertanya. Mereka bilang mau ke kampung Elis. Soalnya, mamanya Elis sakit".
"Waah, berarti mereka ke Lombok dong. Yah, nggak ngajak ngajak, padahal aku pengen banget ke sana".
"Mereka kesana bukan buat liburan, Bim Bim".
"Ya dah, tau ni Bimo. Temen lagi kesusahan malah pikir liburan. Dasar otak ayam" Linda menimpali.
"Sambilan sih. Aku kan pengen lihat namanya Gili Kendis yang bentuknya seperti cinta itu, siapa tahu ketemu jodoh disana".
"Kurusin aja tuh badan, baru omongin jodoh".
"Rese banget sih. Dari tadi ngatain mulu. Jangan-jangan kamu suka ya sama aku?" Ucapnya sambil memainkan alisnya.
"Iiiihhh…, suka sama orang gendut kayak kamu?, amit amit deh".
"Jangan gitu!, ntar benaran suka. Cinta sama benci beda tipis lo". Rangga memperingati.
"By the way, pak guru mana ya?, kok nggak keliatan?".
"Si Wikipedia ini malah bahas pak guru, syukur aja dia nggak masuk".
"Wikipedia?" Tanya Rangga dan Bimo serempak.
"Iya, kalian paham kan maksudnya?".
"Wikipedia, bagus juga tuh. Setuju, setuju" Ucap Rangga kemudian.
"Apaan sih kalian ini, main ganti nama orang sembarangan aja".
****
"Ngapain kita ke sini ?".
"Karena ini tempat yang cocok untukmu, tidak ada orang, hanya ada kita berdua dengan semilir angin lembut yang sedang menari. Kamu tahu gesekan angin dengan pepohonan, rumputan, bunga-bunga ini adalah melodi yang sangat indah".
" Kenapa kau melihatku seperti itu?, coba pejamkan matamu, dengarkan suara indahnya! , gunakan hatimu!".
"Hahahahaha… kamu lucu sekali". Tawa Nata tidak bisa berhenti. Menurutnya perkataan Rangga terlalu melankolis.
Rangga membuka matanya secara perlahan, melirik orang yang ada di sampingnya " Apa perkataanku lucu?".
"Iya, bukan hanya perkataanmu, tingkahmu hari ini sangat lucu, berbeda dari biasanya" .
"Oh ya? ,seberapa lucu?, apakah aku terlihat seperti badut?". Sambil memperagakan gaya badut.
"Iya".
"Apa kau bilang?".
"Maksudku kau benar, ketika kita memejamkan mata dan merasakannya dengan hati akan terasa indah".
"Ku kira kau membenarkan ucapanku yang terakhir".
"Apa kau merasa seperti itu?".
"Karena kau mengatakannya".
"Sudahlah, aku mengajakmu kesini untuk menenangkan hatimu yang kusut".
Nata menoleh ke arah Rangga dengan tatapan penuh tanya. "Lagi-lagi tatapan itu, sudah dua kali kau melakukannya"
"Seperti ini?". Semakin mendekatkan dirinya pada Rangga.
"Wajahmu memerah, apa kamu sakit?". Tanya Nata memicingkan matanya.
"Ti..tidak. Aku hanya kepanasan, iya, cuacanya sangat panah". Alibi Rangga.
"Apa itu benar?, ku kira kamu sedang menahan malu". Ucap Nata blak blakan.
"Malu?, untuk ?". Tanya Rangga menutupi kegugupannya. Ia berusaha terlihat biasa saja.
"Kenapa kau bertanya padaku?, tanyakan saja pada dirimu sendiri".
"Aku sudah tahu".
"Tahu apa?. cepat katakan padaku!".
"Katakan apa?" " Padahal aku mengatakannya dengan sangat kecil, dia masih bisa mendengarnya"
"Helloo…"Melambaikan tangannya.
"Apa?".
"Kau bengong setengah menit"
"Setengah menit?, dari mana kau tahu?"
"Kamu lupa kalau orang yang sedang bersamamu adalah orang yang cerdas?" Katanya menyembongkan diri.
"Aku tidak lupa, hanya saja aku tidak ingat".
"Sama saja" Nata menggelengkan kepala" Dasar tukang ngeles".
"Kau tahu?, saat melihatmu tersenyum bahagia seperti ini, aku adalah orang yang paling bahagia sedunia, terlebih karena aku yang membuatmu tersenyum, bukan orang lain".
"Makan yu', tapi lo yang teraktir".
"Iya, iya".
Mereka kemudian berjalan menuju warung makan yang berjejeran dengan rapi. "Kenapa berhenti?" Tanya Rangga melihat Nata yang berdiri di tengah deretan warung makan.
"Bingung mau makan apa?".
"Makan nasi goreng, mau , tapi kita makannya di danau. Di sebelah sana kayaknya adem" Menunjuk ke arah danau yang rimbun dengan pepohonan".
"Okelah"
"Kita minumnya air mineral ya, soalnya kita ngga mungkin bisa pesan yang lain. Takutnya nanti jatuh". Mengusulkan saran.
Nata menganggukkan kepala tanda setuju.
"Kamu suka sama nasi goreng ya?"
"Iya, suka banget malahan"
Rangga menganggukkan kepala, lalu melempar satu sendok nasi yang ada di piringnya. Ikan – ikan kecil berhamburan menggerubuti nasi yang di lemparkannya.
"Kalau turunin kaki ke dalam air mungkin seru" Ucap Nata kemudian.
"Ya seru sih, tapi kita harus ke tepian dulu".
"Pak kita ketepi ya" Ucap Nata antusias.
"Iya, neng".
"Bapak orang Sunda ya?".
"Iya, neng".
"Atos sabaraha lami bapa cicing di dieu?".
"Atos lami. Sangki sangki 10 warsih, neng".
"Lami pisan, ya pak".
"Iya neng"
"Ngomong apa sih?". Tanya Rangga kebingungan.
"Aku nanya, sudah berapa lama bapak ini tinggal disini, Ucapnya 10 tahun" Nata menjelaskan.
"Ooh" Rangga hanya ber-Oh mendengar penjelasan Nata. " Jangan pakek bahasa Sunda dong, aku kan nggak ngerti" Rengek Rangga.
Mereka tertawa melihat Rangga yang merengek seperti anak kecil. Sementara Rangga hanya bisa menahan malu atas ketidak tahuannya.
"Anak muda jaman sekarang, jarang ada yang bisa bahasa Sunda. Boro boro mau belajar, buat tahu aja kagak ada yang mau. Kalau budaya orang bee… ngga usah disuruh, pasti di ikutin.
Rangga semakin di buat malu. "Bukannya nggak mau belajar, pak. Tapi nggak sempet"
"Gimana mau sempet, pacaran mulu"
"Kita nggak pacaran" Ucap mereka dengan serempak.
"Pak, bapak disini sendirian atau sama keluarga?". Tanya Nata mengalihkan pembicaraan.
"Sama keluarga, neng".
"Terus keluarganya mana?".
"Itu istri bapak yang lagi jualan balon" menunjuk seorang wanita bersama anak kecil.
"Anaknya nggak sekolah, pak?".
"Nggak, neng. Nggak ada biaya. Tapi alhamdulillah anak yang pertama bisa sekolah, jadinya dia yang ngajarin adik – adiknya".
"Hebat" Puji Nata.
"Ah, neng bisa aja".
"Pak, bukannya tempat ini tetep rame kalau udah sore ?"
"Alhamdulillah, disini tetep rame".
"Tapi kok bisa, penghasilan bapak tak cukup untuk menyekolahkan anak bapak?, anak bapak ada berapa sih".
"Anak bapak ada dua, tapi bapak merawat anak yatim piatu".
"Masih ada ya, orang baik seperti bapak".
"Semua orang terlahir dalam keadaan suci, tapi sebagian dari kita memilih jalan lain. Akan tetapi sejahat jahatya orang di dalam dirinya terdapat kebaikan, sekecil apa pun itu".
"Lihat ini!" Ucap Rangga saat ikan ikan mulai menggerubuti kakinya. Nata mengikuti apa yang dilakukan Rangga dengan menyeburkan kakinya ke dalam air. Tak puas hanya dengan kaki, ia mulai melettakan kedua tangannya ke dalam air. Seeokor anak ikan berwarna merah mnghampiri tanganya, berputar putar seolah mengajaknya bermain. Nata, mencoba menangkapnya. Ikan kecil itu terlalu gesit, dengan lincah ia mengelak dari tangan Nata yang mencoba menagkapnya.
Secara perlahan tapi pasti, ikan kecil berenang semakin ke tengah. Nata yang tak menyadari itu kehilangan keseimbangan, tangannya tak sampai untuk menangkap ikan merah kecil. Al hasil, ia tercebur ke dalam danau. Cipratan air mengenai Rangga dan bapak pemilik sampan.
"Bantuin aku naik !". Pinta Nata setelah muncul kepermukaan.
Belum sempat ia meraih tangan Rangga. Telinganya mendengar orang berteriak minta tolong. Lantas ia langsung berenang menuju seorang anak yang hampir tenggelam.
Rangga merasa khawatir saat Nata tak muncul di permukaan, di ceburkan dirinya ke dalam danau untuk mencari Nata.
Beberapa menit kemudian, rasa khawatir berubah menjadi hiasan senyum bangga dari wajah Rangga. Heran bercampur senang itulah yang kini merasuk ke dalam hatinya. Senang karena orang yang dicintainya selamat sekaligus bisa menyelamatkan orang lain, heran karena cara Nata berenang berbeda dari orang lain. Ia hanya menyelam dan sesekali muncul kepermukaan untuk mengambil napas.
"Terima kasih, nak. Kau telah menyalamatkan putriku". Ucap ibu itu bersyukur sambil memeluk dan sesekali mencium kening anaknya.
"Sama-sama bu, lain kali anaknya…" Belum selesai ia berbicara. Ibu itu langsung pergi begitu saja. Ia malah terlihat menemui penjual balon yang tak jauh dari tempat kejadian.
"Rasakan ini, akibat balon ibu, anak saya hampir tenggelam" Memecahkan beberapa balon.
"Kenapa ibu, menyalahkan ibu saya?, salah ibu saya apa?" Ucap anak kecil yang bersamanya.
"Anak kecil jangan ikut campur".
"Maaf, bu ada apa ya?" Memecahkan keributan yang ada di hadapannya.
"Anak saya hampir tenggelam gara-gara dia" Menunjuk ibu penjual balon.
"Ibu melihat ibu ini menenggelamkan anak ibu?"
"Tidak, tapi gara-gara balon yang di jualnya anak saya hampir mati"
"Oohh… ibu menyalahkan ibu ini. Apakah balon itu ibu terima dengan percuma atau membelinya?".
"Aku belilah, mana ada barang gratisan".
"Kalau begitu, ibu sendiri yag salah. Kenapa ibu membeli balon dari ibu ini, padahal dia tidak pernah memaksa ibu untuk membeli".
"Anak sku yang menginginkannya".
"Kalau begitu anak ibu yang salah".
"Kenapa kau menyalahkan anak ku, diakan masih kecil"
"Jika si kecil ini tidak bersalah, berarti ibu yang salah. Lihatlah !!!, banyak orang tua yag membeli balon untuk anaknya, tapi mereka baik – baik saja. Hanya anak ibu yang hampir tenggelam, itu semua karena ketoledaran ibu dalam menjaga anak. Jika ibu tidak toledor, tidak akan ada kejadian seperti ini. Jadi, jangan pernah menyakahkan orang lain atas kesalahan ibu sendiri".
Ibu itu diam membisu. bersama kebisuannya ia pergi membawa anaknya.
"Mau kemana?, ganti rugi dulu".
Ibu itu mempercepat langkahnya meninggalkan taman.
"Terima kasih, neng. Terimakasih banyak. Kalau tidak ada neng, bagaimana nasip keluargaku"
"Sama- sama. Oh ya bu, ini ganti rugi balon ibu. Maaf ya basah".
"Nggak usah, neng".
"Terimalah bu!".
"Terima kasih, neng. Semoga Allah membalas kebaikan, neng"
"Ayo, Nat! kita pulang" menyampirkan jaket kulit ke bahu Nata. Nata memperhatikan jaket yang tersampir di bahunya.
"Sejak kapan kamu bawa jaket?" Melirik jaket yang terpasang di bahunya.
"Aku mengambilnya saat kamu berbicara dengan ibu ibu itu. Ayo kita pulang, ntar kamu masuk angin".
"Bagaimana dengan kamu?". Membuka jaket yang disampirkan kebahunya. Namun Rangga mencegahnya.
"Aku sudah biasa".
"Maaf ya, acaramu jadi berantakan" Ucap Nata saat turun dari dalam mobil.
"Iya, ngga apa apa kok, kamu masuk nggih".
"Iya, hati-hati".
"Oh ya Nat, besok pagi gua jemput ya".
"Okey".
Terdengar suara mesin mobil di lanjuti dengan druman yang sayup sayup meninggalkan rumah Dava. Nata menatap kepergian mobil itu sampai hilang tak berbekas. Barulah ia masuk ke dalam rumah, tampa lupa menguci pintu gerbang.
Baru hendak ia merebahkan tubuhnya dikasur, terdengar suara deringan ponsel yang tergeletak di atas meja. Dibiarkannya berdering begitu saja tampa mengangkatnya atau hanya sekedar mensilentnya.
Dipejamkan matanya untuk menghilangkan suara yang menggagu dari ponselnya, berharap orang yang menelphonenya akan berhenti. Harapannya terkabul, deringan tak terdengar lagi. Nata menarik napas lega, kemudian memandang langit lagit kamar Elis yang ia tepati,berniat menerbangkan pikirannya menuju peristiwa yang telah di laluinya. Tapi baru hendak terbayang, deringan kembali terdengar.
"Siapa sih?! Emang tuh orang gak ada kerjaan lain selain ganggu orang istirahat" Dengan kesal Nata bangkit dari tempat tidurnya.
Entah ia mendapat tenaga dari mana, setelah membaca siapa si penelphone, Nata langsung bersemangat dan segera mengangkatnya.
"Hallo…, Nat ?" Terdengar suara orang dari seberang.
"Iya, Ngga, ada apa ya?".
"Ngga ada".
TUUTTSSS….
Sambungan terputus dari seberang . Nata mencoba menelphone balik Rangga, ia mengira sinyalnya buruk.
"Hallo…,Ngga? kenapa di matiin?" Tanya Nata saat sambungan terhubung.
"Nggak, nggak di matiin kok" Rangga berbohong.
"Mungkin sinyalnya yang nggak bagus"
"Mungkin saja"
"Mmm… tadi kamu nelphone buat apa ya?"
DEG!
"Aduh, aku bilang apa ya " Rangga mulai gugup.
"Ngga, kamu bisa dengar aku kan?, kamu masih disana?". Tanya orang yang berada diseberang sana.
"Iya, Nat. aku pinjem PR kamu, bolehkan?".
"PR ? Perasaan nggak ada PR deh""Nggak ada ya, ya udah kamu istirahat aja. Malam Nata" Lalu memutuskan saluran. "Huuhhh…, Bodo, bodo, bodo. Ngapain aku nanya PR. Pasti dia mikir aku bodohi. Aduh malunya" menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Rangga merebahkan tubuhnya dengan rileks. "Cinta itu rumit, rumit saat kau memasuki duniaku. Kau datang dan menjadi sahabatku. Namun disaat itu juga perasaan tak wajar bernama cinta hadir tampa di undang. Disaat aku ingin mengungkapkannya, ada sesuatu yang menahanku. Kau tahu apa itu? Sahabat, persahabatan yang terikat diantara kita yang membuatku tak bisa mengatakannya. Kau tahu mengapa?. Karena aku takut kehilanganmu. Aku takut jika aku mengungkapkannya kau akan menolak dan menjauh dariku, aku takut itu. tapi semakin aku menahan rasa ini, semakin sakit yang kurasa. Aku mencoba menguburya sedalam yang ku bisa, mengabaikan semuanya, tapi apa daya ini jalan cintaku, cinta dalam persahabatan, cinta yang tak berujung, tak pernah tahu apa kau juga merasakan apa yang kurasa. Andai saja kita tak berteman, mungkin aku tak akan merasakan sesakit ini. Dengan mudahnya kata cinta itu akan terucap dari bibirku,tampa peduli kau akan menerimanya atau tidak, karena kita bukan sahabat. Tapi sayangnya kita adalah sahabat. Kau tahu menurutku persepsi cewek tentang persahabatan dengan cowok itu salah. Mereka bilang kalau berteman dengan cowok itu no drama. Mereka salah besar, ketika cinta mulai merasuki salah satunya, drama tampa ujung pun berlangsung. Itu menyakitkan. Dan itu yang kurasakan sekarang. Sakit, tapi tak berbekas, tak berdarah"