Marcell melangkah maju ke hadapan Ilsa kemudian menodongkan panahnya ke gadis bertudung coklat itu.
"Katakan sekali lagi, nona ganas. Kau ingin bergabung dengan kami? Sangat mustahil bagi kami untuk menerimamu setelah apa yang kau lakukan kepada kami. Kau bahkan hampir membunuh pacarku. Haruskah aku maafkan kelakuan jahatmu itu?" ucapnya sambil memicingkan kedua matanya ke arah Ilsa.
Ado berjalan mendekati Marcell diikuti tatapan mata para rekannya yang lain.
"Biarkan dia, cell. Bukan ide yang buruk membiarkannya bergabung dengan kita. Soal dia musuh kita dan pernah memerangi kita, toh itu masa lalu. Sekarang yang akan kita lakukan hanyalah menyambut masa depan. Maka nanti kita lihat apa yang akan terjadi," ujar Ado membuat Marcell tercengang.
"Kau yakin, do? Bagaimana kalau dia nanti menusuk kita dari belakang?" tanya Marcell gusar.
"Aku akan menusuknya dari depan. Biarkan dia bergabung, cell. Aku setuju dengan Ado," kata Farha sambil mendekati Ilsa. "Hai, aku Farha. Kau sudah tahu siapa aku?"
Ilsa mendengus, "Terimakasih atas dukunganmu, do. Juga terimakasih atas dukunganmu, Will Farha," ucapnya datar.
"Lalu yang mendukungku siapa? Kenapa tidak ada yang mendukungku?" Marcell tampak gusar dengan sikap Ado dan Farha terkait Ilsa.
"Aku mendukungmu dan juga mendukung Ado dan Farha," sahut Listi membuat Marcell menepuk keningnya.
"Saya netral. Kalau di kemudian hari dia berkhianat, saya akan jebloskan dia ke dalam sangkar burung Suradi," timpal Uday sambil mengurut kening.
Ado menoleh ke arah Uday dengan mimik wajah heran. "Itu hanya istilah untuk orang yang suka mengancam akan memperkosa. Ternyata kau tidak ragu mengatakannya," katanya.
Uday terkekeh sambil menggaruk kepala. "Kau banyak tahu juga, mas Ado. Baiklah, sekarang kita akan apa? Mencari pembuat kapal?" katanya.
"Aku ingin kita masuk ke sana. Aku ada urusan dengan mereka," ucap Ilsa sambil melihat ke arah pintu gerbang Desa Perawan.
"Kau belum diterima. Kau tidak bisa seenaknya mengatur-atur kami!" Marcell berdiri berkacak pinggang di depan Ilsa. "Kalau kau ingin ke sana, masuk saja sendiri! Tidak perlu mengajak-ajak kami!"
Ado mengacungkan telunjuknya. "Cell, aku juga ingin ke dalam sana. Sangat menyenangkan melihat hal-hal baru yang tidak semua orang dapat menemukannya. Kata Farha, di dalam sana banyak perempuan cantik berpakaian seksi. Apa kau tidak tertarik?" katanya setengah bercanda.
Marcell mendengus kesal mendengar kata-kata Ado.
"Aku setia pada satu orang perempuan saja, do. Aku tidak mau celamitan dengan melihat perempuan lain. Aku harus menjaga perasaannya," kata Marcell sambil mencondongkan wajahnya ke arah Ado seraya memicingkan kedua matanya.
"Oke, oke, aku tidak akan mencandaimu dengan tema perempuan lagi. Nah, begini saja. Kita adalah para petualang. Kita menginginkan pengalaman baru, petualangan baru. Kita juga tentu akan menemukan hal-hal baru yang belum pernah kita temukan sebelumnya. Bukannya itu menarik?" kata Ado.
"Menarik, sangat menarik, do. Baiklah ayo kita gempur mereka!" tukas Marcell sembari berteriak tiba-tiba.
Semua orang jelas kaget dengan teriakan Marcell yang tiba-tiba.
"Woi, kira-kira kalau ngomong!" balas Ilsa sambil mendorong kening Marcell dengan telunjuknya.
Sejam berlalu
Ado dan kawan-kawan terlihat sedang membongkar pintu gerbang menuju desa tertutup itu. Beberapa lama kemudian, pintu berhasil dibuka.
Mereka pun disambut serangan selusinan warga desa yang bersenjata. Para penyambut tersebut seluruhnya adalah perempuan. Mereka mengenakan pakaian mini yang terbuat dari kulit hewan maupun katun.
Puluhan anak panah meluncur deras ke arah Ado dan kawan-kawan.
"Bajingan! Aku panah juga kau, kampret!" serapah Marcell seraya bersiap memanah penyerangnya.
"Hentikan, cell. Jangan balik menyerang. Kita bertahan saja. Jangan membuat mereka malah semakin anti dengan orang luar seperti kita," kata Ado memperingatkan Marcell.
Sementara Uday dengan segera menciptakan perisai sihir untuk melindungi rekan-rekannya saat serangan panah para penyambut tersebut dilancarkan.
"Ini gila! Mereka langsung menyerang tanpa peringatan?" pekik Farha seraya menyiapkan pedangnya untuk menangkis setiap batang panah yang mengarah kepadanya.
"Lalu kita harus berbuat apa? Masa harus diam saja, ketua!" kata Ilsa tidak sabar dengan suara keras.
"Tunggu sebentar," tukas Ado seraya keluar dari balik perisai Uday.
Ado kemudian berlari kencang ke arah para penyerang kemudian menendang sebongkah batu hingga melayang melewati mereka.
Melihat lawannya bisa menendang batu hingga melayang, para warga Desa Perawan tersebut segera menghentikan serangan. Mereka mundur serentak setelah mendapatkan aba-aba untuk mundur dari komandannya.
Mereka kemudian berlari menjauh hingga memasuki sebuah gapura yang kemudian segera ditutup menggunakan pintu besi.
"Yang benar saja," gumam Ado seraya menatap ke arah gapura dengan pagar besi itu.
"Pintu gerbang di dalam gerbang, huh. Semakin sulit saja bagi kita menemui mereka," ucap Farha sambil tersenyum miring.
"Sial! Mereka memiliki gerbang lainnya. Gerbangnya dari besi lagi. Kita tidak akan mudah untuk membobolnya," ucap Ilsa dengan nada kecewa.
"Kenapa sih mereka begitu tertutup? Padahal desa ini bertetangga dengan desa lain. Desa ini bukan wilayah yang berada di pulau terpencil. Sangat mengherankan," komentar Listi.
"Kita membutuhkan meriam untuk menghancurkan pintu gerbang itu. Tapi bagiku lebih baik kita pulang saja. Untuk apa mengurusi orang-orang yang tidak mau berkenalan dengan dunia luar?" kata Marcell.
Ado terkekeh. "Aku ingin mencoba tinjuku. Sepertinya ini akan menarik," ujarnya.
"Jangan bodoh, do. Memangnya kakek pengemis mengajarkanmu untuk menghancurkan besi dengan tinju?" Listi menyanggah niatan Ado.
"Aku yang mengajariku untuk melakukannya, Listi. Saatnya tinjuku ini diuji kembali," tukas Ado seraya berlalu ke arah pintu gapura yang merupakan besi itu.
"Nekat sekali." Uday menyusul Ado sambil menciptakan ilusi sihir berwujud sebuah palu besar.
"Kita butuh meriam, day. Bukan palu," ujar Marcell sambil menyusul Ado dan Uday.
"Aku akan menebas pintu besi itu. Untuk apa aku menjadi pendekar pedang jika tidak mampu memotong besi," ucap Farha sembari mengikuti mereka yang lebih dulu berjalan ke arah pintu gerbang itu.
Sedangkan Listi dan Ilsa tampak saling pandang sembari memicingkan kedua matanya.
"Akhirnya kita bersama, Ilsa. Tapi awas kalau kau coba-coba menusuk kami dari belakang. Aku yang akan memukul pantatmu!" ucap Listi dengan nada mengancam.
"Coba saja kalau kau bisa, mantan pelacur! Lagipula aku tidak berniat berkhianat terhadap orang yang mau menerimaku di kelompoknya," tukas Ilsa seraya tiba-tiba menggerlingkan matanya. "Hei, apakah ketua pernah bercinta denganmu? Bagaimana rasanya menurutmu?" tanyanya tiba-tiba.
Listi mendelik. "Dia bukan laki-laki yang seperti yang kau pikirkan, mesum! Dia bukan penggila perempuan juga bukan penggila laki-laki. Dia lebih tertarik dengan petualangan daripada percintaan," bebernya tandas.
Ilsa meruncingkan bibirnya. "Ooh begitu. Aku jadi tertantang untuk menggodanya. Aku harus menjadi orang yang bisa memenangkan hatinya. Yeaah," katanya sambil bergaya dengan tinju terkepal.
Listi mendecih. "Songong!"
Sementara Ado terlihat mengepalkan tinjunya saat mencapai pintu gerbang besi itu. Ia memejamkan kedua matanya kemudian dengan mantap memukul pintu besi itu hingga berdenting keras.
Wugggg
Pintu besi tersebut berguncang. Guncangannya membuat pilar gapura bergetar hebat disusul dengan robohnya salah satu pilar.
Bruggggg
Pintu besi itu pun rubuh menghantam jalan berbatako di bawahnya.
"Akhirnya kita bisa masuk. Tapi kita harus lihat apakah masih ada pintu gerbang lainnya di dalam sana. Jika tidak ada, berarti kita harus siap menghadapi para serigala perempuan itu," kata Farha seraya mengedarkan pandangannya.
"Mereka juga manusia. Perempuan lagi. Tujuanku merambah desa ini karena kepenasarananku kenapa mereka mengisolasi diri. Apalagi mereka mengisolasi diri di wilayah yang tidak terpencil sama sekali," tukas Ado seraya mengurut tangannya.
"Aku pikir tanganmu sekuat baja. Ternyata bisa terkilir juga," ucap Uday sambil memperhatikan apa yang dilakukan Ado.
Sementara itu di dalam sebuah bangunan besar bertingkat tiga berjarak seratus meter dari lokasi Ado dan kawan-kawan, seorang perempuan muda bergaun pendek berwarna hitam, sedang berdiri dengan gelisah di depan kursi singgasana.
Sedangkan di hadapannya berkumpullah para pejuang perempuan yang sebelumnya menyerang Ado dan kawan-kawan.
"Jadi mereka berhasil menjebol dua pintu gerbang kita? Ini buruk dan sangat kacau! Kita tidak boleh membiarkan mereka mencapai balai desa. Jika desa ini jatuh dan guci sakti direbut musuh, bencana akan melanda daratan ini. Kita Suku Rimayan sudah turun temurun menjaga guci sakti. Kita sampai rela mengisolasi diri dari dunia luar demi guci sakti. Ini semua demi tanah Kalangga ini," ucap perempuan bermahkota dari bulu merak itu.
Para pejuang perempuan yang berkumpul di hadapan sang ratu tersebut hanya menunduk saat mendengarkan keluhan pemimpinnya itu.
"Harold David Montelegue, si raja penyihir yang tidak terkalahkan itu sekarang sedang mengincar guci sakti untuk memenuhi ambisinya menjadi dewa yang berkuasa di atas seluruh makhluk hidup. Masih beruntung bagi kita, guci sakti dapat melawan segala serangan dari manusia durjana itu. Siapapun orang-orang yang berhasil menerobos pintu gerbang, kita tetap harus waspada. Orang luar tidak ada yang bisa dipercaya," tutur Ratu Desa Perawan.
"Sekarang, lakukan kembali tugas kalian. Bawa serta para pembunuh dan para pemburu kepala. Habisi semua orang luar yang berani menerobos desa kita!" perintahnya kepada para pejuang tersebut.
<<<[]>>>