Larisa mulai panik ketika laju sepedanya semakin kencang dari waktu ke waktu, terutama saat mereka kini melalui jalan yang menurun cukup curam, tanpa sadar Larisa mengeratkan pegangan tangannya pada pinggang Arvan.
"Pelanin sepedanya, Van!!"
Larisa berteriak, tak kuasa menahan rasa ngeri, dia takut sepeda mereka akan jatuh. Tidak lucu bukan jika sampai mereka jatuh dari sepeda? Meski jalanan sepi karena mereka melewati gang, tetap saja rasa malu itu pasti ada.
"Arvaaaaaaannnnnnnnnn!!!"
Larisa semakin menjerit karena bukannya memelankan laju sepeda, pemuda itu justru semakin mempercepat gerakan kakinya yang mengayuh sepeda.
"Arvan, gilaaaa ... gue nggak mau jatoh ya."
Sejak tadi Larisa tidak sadar bahwa setiap dirinya berteriak ketakutan, Arvan akan meresponnya dengan suara tawa yang melengking seolah pemuda itu sangat puas menjahili Larisa seperti ini.
Gadis itu tertegun saat baru sadar Arvan sedang tertawa lantang sekarang, tawa lepas yang nyaris tak pernah Larisa lihat semenjak mengenal pemuda itu.
"Issshhhh ... malah ketawa!" ringis Larisa sembari mencubit pinggang Arvan.
"Jangan nyubit-nyubit dong, mau nih gue percepat lagi sepedanya?"
"Jangan gilaaa! Lo mau bunuh gue ya?!!"
Dan untuk kesekian kalinya Arvan tertawa, mengundang senyuman tipis terulas di bibir Larisa. Diam-diam gadis itu senang melihat Arvan yang seperti ini, ya meski alasan tawanya karena puas telah menjahili dirinya.
"Lihat ke atas."
"Apa?" tanya Larisa karena tidak mendengar dengan jelas ucapan Arvan.
"Lihat ke atas supaya gak takut, di sini jalanannya menurun, gak bisa dipelanin."
Tak banyak kata yang Larisa berikan untuk merespon saran dari Arvan tersebut. Dia ikuti saran itu. Dia menatap ke atas, terbelalak karena merasakan sensasi yang berbeda dibandingkan saat dirinya terfokus melihat jalanan yang menurun curam. Awan yang berarak di langit serta pohon-pohon yang daunnya rimbun ke jalan seolah sedang mengejar dirinya.
Sensasi mendebarkan namun menyenangkan itu benar-benar baru Larisa rasakan seumur hidupnya. Karena sebelumnya dia tidak pernah berboncengan menaiki sepeda. Bahkan setiap bersama dengan Reza sekali pun, mereka tidak pernah melakukan ini. Larisa dan Reza pergi kemana pun selalu mengendarai mobil. Sungguh membosankan bukan hidupnya yang monoton? Dan untuk pertama kalinya Larisa tertawa selepas itu karena gembira.
Larisa mengangkat satu tangannya ke udara seolah tangan itu bisa menyentuh awan-awan dan juga pepohonan yang bagai sedang mengejarnya.
"Woow ... ini seru. Pemandangannya indah!" pekik riang Larisa, tak merasa takut lagi.
Arvan menoleh ke belakang, ikut tersenyum tipis melihat bagaimana Larisa sedang tersenyum lebar sekarang.
Dan melihat ekspresi ceria gadis itu, ide jahil lainnya bermunculan di dalam benak Arvan.
Dengan sengaja dia meliuk-liukkan laju sepedanya, sontak membuat Larisa kembali menjerit karena mengira mereka akan jatuh. Larisa memeluk pinggang Arvan erat dengan kedua tangannya sembari menempelkan wajah di punggung pemuda itu.
"Hahahahahahahahahaha!!!"
Dan tak segan-segan memukul kencang punggung pemuda itu setelah sadar dirinya lagi-lagi dijahili.
"Arvaaan gilaaaaa!!" teriak Larisa untuk yang kesekian kalinya. Sebelum dia pun ikut tertawa bersama Arvan di sepanjang perjalanan mereka menuju taman.
***
"Uwaaaah ... tamannya bagus!"
Larisa merentangkan kedua tangannya tinggi ke udara sembari memejamkan mata untuk menikmati udara sejuk yang berhembus di taman berumput dengan banyak pohon rindang yang tumbuh di sana. Ada pagar pembatas juga terbuat dari besi yang kokoh, di mana dari sana, pemandangan di area bawah bisa dilihatnya dengan jelas. Rumah-rumah penduduk, juga jalanan-jalanan bisa terlihat jelas dari pinggir pagar.
"Nyokap lo gak bohong, ternyata taman ini emang indah sama bikin nyaman. Pantesan dia maksa gue ke sini," ucap Larisa disertai senyum.
Larisa berlari kecil untuk menghampiri Arvan yang sedang duduk di sebuah kursi batu yang terletak tepat di bawah salah satu pohon rindang. Larisa mendudukan dirinya di samping pemuda itu.
"Oh iya, tadi nyokap lo suruh gue bawa pisang goreng ke sini," kata Larisa sembari mengeluarkan wadah plastik berisi pisang goreng. Kemudian membuka tutupnya.
"Nih ... ayo kita makan!"
Setelah mengambil satu potong pisang goreng, tanpa menunggu respon Arvan, dia memasukannya ke dalam mulut.
"Pisang gorengnya enak. Rasanya pas gitu. Manisnya berasa, asinnya berasa, gurihnya juga berasa. Nyokap lo pasti pinter masak ya?"
Arvan ikut mengambil satu pisang goreng, memakannya tanpa kata dengan lahap.
"Semua ibu-ibu juga pasti pinter masak. Nyokap lo juga, kan?"
Kunyahan Larisa pada pisang goreng di mulutnya yang awalnya penuh semangat, berhenti seketika. Setiap kali ada orang yang membahas tentang ibunya yang sudah tiada, Larisa tak pernah sanggup menahan kesedihannya.
Ibunya adalah sosok yang paling dia sayangi. Meski sudah lama sang ibu tiada, rasa rindu dan sedih itu selalu ada setiap Larisa mengenangnya.
Arvan menoleh pada Larisa karena tak mendapati gadis itu meresponnya.
"Jangan bilang nyokap lo gak bisa masak?" tanyanya, mengira Larisa terdiam karena ibunya tipe wanita sosialita yang gemar ikut arisan dibanding memasak di rumah.
"Waah ... nyokap lo kayaknya emang tipe ibu-ibu sosialita yang suka ikutan arisan berlian ya? Atau seneng jalan-jalan ke Mall buat belanja barang bermerk dibanding panas-panasan di dapur?"
Larisa mencibir, memelet lidahnya keluar sebagai bentuk ejekan, "Sok tahu. Nyokap gue juga pinter masak kok. Malah dia itu ibu-ibu yang paling pinter masak seduniaaaaaa," seru Larisa heboh sembari merentangkan kedua tangannya ke samping.
"Masa?"
"Lo gak percaya?"
Arvan menggeleng, "Coba lo buktiin sama gue. Besok bawa masakan buatan nyokap lo ke sekolah ya, biar gue cobain rasanya. Kita lihat lebih jago siapa dalam hal memasak, nyokap lo atau nyokap gue."
Arvan hanya mencoba memberikan candaan untuk Larisa, namun ... melihat gadis itu tiba-tiba menundukan kepala dengan bibir yang terkatup rapat ditambah tiba-tiba berubah menjadi gadis pendiam, Arvan menyadari ada yang tidak beres di sini.
"Eh sorry, lo kesinggung ya? Gue cuma becanda kok, iya gue percaya nyokap lo juga pinter masak jadi lo gak usah buktiin ke gue segala."
"Gue juga pengen buktiin itu sama lo." sahut Larisa, akhirnya bersuara. "Tapi .... sayangnya gue nggak bisa."
"Kenapa?" tanya Arvan lagi. Dan Larisa terdiam untuk yang kesekian kalinya.
"Oh, gue tahu. Nyokap lo pasti wanita karir ya? Dia sibuk kerja makanya ..."
"Nyokap gue udah gak ada di dunia ini lagi."
Dan Arvan pun seketika mengatupkan bibirnya. Di saat Larisa mengangkat kepala dan menoleh padanya, rasa bersalah menghantam hati Arvan ketika melihat air mata menetes dari pelupuk mata gadis itu.
"Nyokap gue udah meninggal," tambah Larisa sembari tersenyum tipis.
"S-Sorry. Gue gak tahu," ucap Arvan penuh sesal.
Larisa menggeleng, dirinya tak menyalahkan pemuda itu. Dirinya saja yang terlalu cengeng jika mengingat sang ibu.
"Bukan salah lo. Gue aja yang selalu sedih kalau ngebahas nyokap gue."
Saat mengatakan itu jemari Larisa sibuk menyeka air matanya.
"Udah ah, gue datang ke sini kan buat seneng-seneng bukan buat nangis." Larisa kembali mengambil satu potong pisang goreng. " Ayo dimakan lagi pisang gorengnya," ajaknya pada Arvan yang langsung dituruti pemuda itu.