Flashback
"Ini uang lo," Devan memberikan satu kantong uang terlindungi rapi dengan amplop hitam penuh. Pekerjaannya sebenarnya sangat mudah, hanya mengambil kode QR dari laptop Salsha, dan itu Fio lakukan hanya demi uang. Pekerjaannya ringan dan Fio bisa melakukannya hanya dengan memegang ponsel selesai. Laptop Salsha memang sedang dipegang Fio karena kerja kelompok.
"Tapi lo yakin kan ini bersih, gue enggak akan disalahin karena nyuri kode QR Salsha?" Devan menganggukan kepalanya dan berjalan menjauh saat ponselnya yang lain sudah tersambung dengan WA Salsha.
"Gue yakin 100% lo enggak akan disalahin dan gue juga enggak akan nyalahin lo, lo cuma perlu habisin uang ini dan tutup mulut lo sampai meninggal," Cowok tersebut tersenyum. Pekerjaan seperti itu sebenarnya menakutkan, namun uang yang membuat pekerjaan yang menakutkan menjadi mudah. Mau bukti?
"Bagaimana lo bisa lakuin secepet ini?" Fio mengangkat bahunya malas. "Gue satu kelompok sama Salsha dan Laptop dia lagi dipegang sama gue," Devan mengangguk. Devan terdiam, dia tersenyum samar dan kembali mengambil dompetnya dan menambahkan uang lima lebar seratus ribuan lagi.
"Ini tambahan buat lo, dan buat satu malem aja gue bawa laptop lo!" Fio mengangguk tidak keberatan. "Santai, satu minggu juga enggak apa-apa,"
Devan mengecek laptop slasha dan memeriksa WA Salsha apa iti benar-benar milik Salsha. "Enggak sia-sia gue bayar Fio mahal, kerja dia cepet dan rencana gue akan berhasil," sekarang waktunya mengacaukan Aldi.
•••
Salsha masih terus membela disela perdebatan Aldi yang terus memakinya. "Lo kalau udah bosen sama gue bukan gini caranya!"
"Kalau lo mau lepas bilang aja, jangan diam-diam chat orang lain,"
"Gue udah bilang kan, gue enggak suka kalau lo enggak terang-terangan, jujur aja. Kalau mau putus ayo, kalau mau dibicarain baik-baik gue juga mau dengerin.Enggak perlu ngajak jalan sepupu aku juga," Salsha memelototkan matanya terkejut.
"Kapan aku ngajak sepupu kamu pergi? jelas-jelas handphone aku mati dari aku belanja sama Nita, aku serius enggak fokus ke handphone gimana bisa aku chat sepupu kamu. Jelas-jelas kamu enggak bisa telfon aku kan?" Aldi masih diam mencerna apa yang baru saja Salsha ceritakan, ada benarnya juga memang. "Tapi bukti ini yang buat gue mulai enggak percaya sama lo," Salsha terus berfikir bagaimana bisa ponselnya yang dimatikan bisa mengirim pesan pada orang lain. Apa ada ponsel mati bisa menelfon seseorang?
"Sayang, dengerin aku dulu. Ini hubungan kita, jadi enggak perlu bawa-bawa orang lain dihubungan kita, mau ada masalah apa dan tetang siapa kita pendem berdua aja ya?" Salsha terus bernegosiasi pada Aldi yang masih terus mengumpat karena masalah semakin panjang karena Salsha tidak merasa mengirimkannya. Jadi, dapat darimana Devan pesan itu kalu Devan tidak mengirimnya?
"Sayang sabar, aku enggak tahu harus gimana. Kamu terus-terusan marah dan aku bingung harus apa. Apa aku perlu telfon bunda aja?" tanya Salsha bingung karena Aldi terus diam akan tetapi wajahnya menahan marah.
Aldi masih saja diam tidak ingin membalas ucapan Salsha, tentu saja dia tidak ingin bundanya tahu seperti apa permasalahan percintaannya dengan Salsha. Toh, Salsha dengan Aldi berpacaran berdua tidak bertiga dnegan bundanya kan?
"Kalau kamu masih enggak percaya sama aku, kamu boleh pegang handphone aku, aku enggak masalah karena aku emang enggak merasa ngirim, sumpah sayang," Bahkan Salsha sudah lelah disalahkan dan hanya bisa terus menangkis tuduhan padanya.
"Sini," Aldi menarik ponsel Salsha yang tadi akan Salsha berikan padanya. Bahkan ponsel Aldi sudah jatuh dua kali karena kesal, dengan sabar juga Salsha mengambilnya lagi dan lagi.
"Siniin juga," Aldi meminta ponselnya sendiri juga. "Gimanq aku bisa ngasih kabar ke Kak Ray?" Aldi menganggukan keoalanya dan berusaha tidak perduli. "Aku yang urus, untuk dua hari aku yang pegang handphone kamu dan handphone aku sendiri,"
"Aku?" Aldi menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Kamu enggk usah pegang handphone," putus Aldi sangat santai. "Lah!"
"Itu hukuman buat kamu," ambung Aldi yang menjalankan mobil Nita dengan terus diam. Aldi maupun Salsha sama sekali tidak ada yang ingin membuka suara ditengah perjalanan. Salsha yang masih bingung, dengan sesekali berpikir apa yang baru saja dilakukannya.
Salsha bahkan pernah berpikir, kapan dia mengirim pesan ke orang lain, sedangkan nomor yang ia punya hanya Nita dan Aldi saja yang memilikinya. Jika grup chat kelas, tentu saja dia punya.bTapi dia tidak meladeni orang-orang yang iseng terhadapnya.
Selebihnya tidak ada, dan satu lagi. Sadewa juga tidak mengetahui nomornya, karena hanya keluarga dan teman terdekatnya saja yang mempunyai nomor Salsha. Salsha berfikir, ada sesuatu yang tidak beres, sepertinya
"Ayo turun!" ajak Aldi yang meminta Salsha untuk mengikutinya. "Mau kemana lagi?"
"Udah ayo ikut aja," jawab Aldi yang terdengar ketus, walaupun sebenarnya terlihat jelas jika Aldi sedang memperhatikannya. Salsha tersenyum sedikit lucu pada Aldi. Mau tidak mau tahan tidak tahan Salsha total tersneyum karena Salsha merasa nyaman.
Aldi berjalan bersama dengan Salsha menggenggam tangannya, entahlah keduanya terlihat manis. Hanya saja nada bicaranya yang membuat Salsha harus berkali kali menghela nafas untuk sadar.
"Pilih mau yang mana?" Aldi menawarkan sesuatu padanya. "Handphone aku enggak rusak kan, kenapa aku harus beli baru lagi?"
"Kamu pilih mau yang mana, untuk sementara waktu handphone kamu aku pegang. Dan enggak tahu juga aku balikin kapam lagi," Pada akhirnya Salsha menghela nafasnya berat.
•••
"Makasih sayang," Nita mengangguk lemas, mereka baru saja melakukan percintaan panasnya, mudah saja saat masalah datang Nita hanya bisa menggunakan tubuhnya untuk menenangkan Wiga dan tidak ada cara lain selain ini.
Anehnya, Nita menyukainya. Wiga tidak bisa ditenangkan jika sudah sangat marah, dan mungkin ada cara lain namun Nita tidak tahu dan Wiga pura-pura tidak menggunakannya.Wiga mengidap Depresi yang membuat Wiga takut sendirian, merasa sendirian, kosong, dan gelap. Tidak suka ditempat keramaian dan tidak suka menjadi puat perhatian. Ada banyak sekali.
Wigaa pernah melakukan percobaan bunuh diri banyak sekali, dari mulai menenggelamkan dirinya didalam bak mandi, melukai dirinya sendiri dengan pisau dan silet tajam.
Nadinya juga sering menjadi tempat pelapiasan, Sadewa sering melihatnya. Akan tetapi lah ini tidak membuat Sadewa membaik, ayahnya menikah lagi dan melupakan bunda.
Hadirlah Sadewa yang membuat Wiga semakin depresi. Kuarganya hancur dan mama Sadewa datang menambah keburukannya. Apakah tuhan adil kali ini? "Luka kamu mau aku bersihin sekarang?" tanya Nita yang mengelus pelipis Wiga dengan pelan. Wiga menggeleng menolaknya, terlihat jika kondisinya sudah membaik. Dan mungkin, hanya fisiknya yang belum membaik. Sakit batinnya sudah terobati, tenang saja.
"Aku udah enggak apa-apa," Nita mengangguk, dia mengeratkan tubuh telanjang Wiga diatasnya. "Kalau aku sayang sama yang lain, buat apa aku lakuin ini sama kamu?" Wiga tersenyum, dia mencium bibir tebal Nita dengan pelan.
"Aku marah sama kamu yang selalu belain sahabat kamu demi aku, jelas-jelas aku pacar kamu. Bukan tetangga kamu!" Nita tertawa saat Wiga mulai kesal.
"Aku enggaak akan lakuin itu, lagi!" Janji Nita dengan senyum lebar, gigi belakangnya terlihat.
"Nyaman banget kalau udah kaya gini," ucap Wiga santai memeluk Salsha lebih erat lagi, padahal keduanya masih dalam posisi bercinta. Tangan Nita dengan cepat mencubit pinggang telanjang Wiga dengan sangat keras.."Aduh," Wiga terkejut dan tertawa.
"Apa?" tanya Wiga dengan menahan tawanya. "Tangannya!" Bukannya berhenti Wiga justru meremaskan pelan membuat Nita marah.
"WIGARA!!!"