Chereads / Mengapa Kita Harus Dipertemukan? / Chapter 31 - Kiranti, Monster Bersisik

Chapter 31 - Kiranti, Monster Bersisik

Air liur menetes saat lidah panjang itu terjulur. Mata kuning keemasan menatap sebuah bangunan dihadapannya. Telinga runcing itu bergerak saat suara seseorang tengah berbincang tertangkap oleh pendengarannya.

Bersembunyi dengan cepat saat dua satpam tengah berkeliling memeriksa area komplek.

Kuku panjang nya mencengkram dengan kuat tumpukkan kayu dihadapannya. Menggeserkan salah satu kayu untuk dilempar kearah dua satpam. Saat mengangkat kayu tersebut, tiba-tiba sebuah mobil menghalangi pandangannya.

Segera ia kembali bersembunyi saat pemilik mobil tersebut keluar.

" Baru pulang, Mas Ghibran?" tanya satpam yang memiliki nama Yanto.

" Iya, pak. Bagaimana keadaan komplek pak? Aman kan? "

" Siap, Aman!"

" Ngomong-ngomong kenapa mas Ghibran bawa barang banyak, ya? " tanya Supardi, rekan Yanto.

Ghibran merotasikan bola matanya menatap beberapa kardus dan tas di dalam mobil. "Ah! Saya akan pindah kerumah yang baru. Jadi, bapak dan ibu akan tinggal berdua saja. " jawab Ghibran.

" Ini barang-barang yang ada diasrama dulu. Mau saya simpan di gudang. " kata Ghibran lagi.

" Kalo gitu, kami lanjut keliling Mas Ghibran." kata Yanto dengan senyuman ramahnya.

Ghibran membalas senyuman Yanto. " Baik! "

***

Ghibran menghentikan langkah kakinya saat melihat sebuah lendir dihalaman rumah kedua orang tua nya. Mengernyit bingung saat menyentuh lendir itu dan menciumnya. Aromanya seperti ikan, amis.

Jejak kaki basah menuju kesamping tumpukkan kayu. Manik hitam nya membelalak kaget saat melihat jari-jari tangan penuh dengan sisik berwarna hijau lumut.

Mengambil balok kayu.

Segera melangkah secara perlahan.

Setiap langkah rasa takut menyerangnya. Tapi, rasa penasaran nya pun ikut menyerang.

Masa bodo.

Ia akan memilih untuk mendekat walau instingnya mengatakan jika akan ada bahaya jika ia mendekat.

Trak!!

Balok kayu yang ia pegang terjatuh.

Mata nya bertemu dengan mata makhluk aneh yang tengah menggeram marah. Merangkak menjauh dari Ghibran yang masih terdiam karena terkejut.

"Ghib! "

Menoleh dengan cepat saat namanya dipanggil.

" Ya? "

" Kamu kenapa sih, Ghib? " tanya sosok pria berjas hitam dari pintu rumah kedua orang tua nya.

Raffi menghampiri Ghibran yang masih terlihat kebingungan. " Bau apa ini? Seperti bau ikan." kata Raffi saat berada dekat dengan Ghibran.

Lalat mengerumuni lendir-lendir yang ada ditumpukkan kayu dan juga halaman rumah. Raffi berdecak kesal saat melihat kerumunan lalat itu. " Astaga, apa ini muntah kucing? " herannya.

" Kak! "

" Apa? "

Ghibran menggenggam bahu Raffi erat. "Barusan aku bertatapan dengan makhluk aneh, Kak. " kata Ghibran. " Bersisik dan memiliki aroma seperti ikan." tambahnya

Raffi menepuk-nepuk kedua pipi Ghibran. "Ghib. Kamu ini ngomong apa sih? Masa ada makhluk kaya gitu disini? Jangan bikin kakak mu ini ketakutan. "

Ghibran menggeleng. "Beneran, Kak. Aku gak bohong. "

Raffi menempel punggung tangannya ke kening Ghibran. Sedikit panas. " Kamu demam? " Raffi menurunkan tangannya. "Kayanya kamu kecapean deh, Ghib. Mending kami tidur dulu sebelum pergi kerumah baru mu. " kata Raffi sambil mendorong Ghibran untuk masuk kedalam rumah.

Raffi menyuruh tukang kebun yang bekerja dirumah orang tua nya untuk membersihkan lendir aneh itu secepatnya sebelum lebih banyak lalat yang berdatangan.

***

Memandang langit-langit kamar. Mata tak bisa ia pejamkan. Masih terbayang akan sosok makhluk aneh itu. Ia bangkit dari posisi tidurnya.

Mata tertuju ke sebuah bingkai foto. Foto dirinya, Nathan, Abbiyya dan Zea. Foto yang diambil saat Zea kecil memenangkan perlombaan pertamanya. Foto pertemuan terakhirnya dengan Zea kecil.

Tapi, sekarang ia kembali dipertemukan dengan Zea yang sudah tumbuh besar. Bukan lagi sosok bocah cengeng saat dirinya meninggalkan nya saat ingin pergi ke. sekolah, mengikuti les, berlatih pencak silat, dan saat ingin pulang kerumah.

Sayang.

Zea nampaknya melupakan sosok dirinya.

" Abbiyya... Bagaimana kabarmu di sana? " tanya Ghibran saat memandang wajah Abbiyya yang tersenyum cerah kearah kamera. Baju SMA melekat ditubuh Abbiyya. "...aku terkejut saat kau meninggal mendadak. " bisiknya lirih. "...dulu, kau yang selalu mengajak kami untuk berkumpul. "

Meraih foto tersebut dan memeluknya erat. "Ha~" menghela napas. " Nathan, aku jadi merindukan mu juga..." Ghibran lalu terkekeh geli saat menyadari perkataannya. " terakhir kita bertemu saat kasus pengeboman itu."

" Kuharap, kita berkumpul bersama walau hanya sebentar. "

Ghibran menaruh foto tersebut kembali diatas meja. " Dan mengunjungi makam Abbiyya bersama-sama ..."

***

Dewa baru saja selesai membersihkan cangkir kotor. Semua karyawannya pulang 30 menit yang lalu. Meninggalkan dirinya sendirian di cafe.

Meraih jaket merah jambu dan mengenakannya. Segera ia mengkunci pintu cafe agar tidak ada orang yang masuk kedalam. Merasa jika semuanya sudah terkunci, ia pun melangkahkan kakinya menuju mobil yang telah terparkir.

Tiit!

Mobilnya berkedip. Segera membuka pintu dan masuk kedalam.

Bruak!

Suara hantaman keras yang membuat Dewa terkejut. Mendongak keatas dan melihat mobilnya sedikit penyok.

" Hujan? " heran Dewa saat air menetes didepan kaca mobil.

Namun Dewa menarik pemikirannya yang baru saja bepikir jika air yang menetes itu adalah air hujan. Dewa rasanya ingin muntuh saat tahu jika air itu adalah air liur dari sosok aneh yang merangkak didepan mobilnya.

Sisik ditubuhnya bersinar terkena lampu depan mobil. Pupilnya membesar dan mengkecil, menyesuaikan pandangannya kedepan.

Dewa meraba sekitarnya. Mencari ponsel yang entah kemana ia menaruhnya. Dalam situasi saat ini, Dewa tak bisa berpikir tenang.

"A-Ayah? "

Makhluk itu berjalan perlahan kearah Dewa. Tangan penuh lendir itu meraba kaca mobil Dewa. " A-Ayah..."

" Aku bu-kan ayahmu."

Makhluk itu menggelengkan kepalanya pelan. Telinga runcing nya menurun.

" A-yah." makhluk itu menunjuk kearah sebuah foto yang berada di dalam mobilnya.

Ah! Foto saat Abbiyya baru pertama kali mengunjungi Cafe miliknya. Ia mengambilnya sebagai kenang-kenangan.

Dewa menempelkan foto Abbiyya bersama dengan dirinya dan juga Nathan ke kaca mobil. " Apa yang ini, ayahmu? " jari Dewa menunjuk kearah sosok Abbiyya yang tersenyum kaku didepan kamera.

Makhluk itu lagi-lagi menganggukan kepalanya. Menangis saat ia tak bisa meraih foto itu.

" Dia merawatku..." dibawah matanya seperti insang ikan yang terbuka dan tertutup. "...Dia ingin membebaskanku. " kukunya yang panjang menggores kaca mobil. "...Mereka memisahkanku dengan nya. " mata berwarna kuning keemasan menyendu. " dia orang pertama yang memperlakukan ku dengan baik. "

Dewa membuka pintu mobil. Keluar dan menyerahkan foto tersebut kepada makhluk dihadapannya.

" Kurasa kau tidak berbahaya. " kata Dewa.

" Kiranti, namaku Kiranti. " Makhluk itu memperkenalkan dirinya.

" Dewa Eka Prayoga, panggil saja Dewa. " balas Dewa ramah.

" Bisakah kau menemuiku dengan ayah? " tanya Kiranti. Tangan penuh sisik itu menggenggam erat tangan Dewa. Pancaran matanya penuh akan harapan.

Dewa menatap sekelilingnya. " Besok aku akan mengantarmu. Lebih baik kau pulang dan menemuiku besok disini. "

" Pulang? " Kiranti menoleh kanan-kiri dengan raut wajah kebingungan. "Ke mana?."

Dewa terdiam.

Ah! Dia lupa jika makhluk aneh seperti Kiranti mustahil memiliki tempat tinggal di kota besar. Yang ada dia akan diincar oleh semua orang untuk dijadikan penghasil uang.

***

Kiranti menatap foto yang ada di dinding rumah Dewa. Pada akhirnya Dewa memutuskan untuk membawa Kiranti kerumahnya.

" Dia kakak ku. " kata Dewa saat Kiranti memperhatikan foto Satria yang nampak gagah dengan baju lorengnya. " Satria, namanya. "

" Lalu disebelahnya, adik ku. " Dewa menunjuk Hafi yang ada disamping Satria. Mengenakan kemeja polos merah. " Hafi, namanya. "

Kiranti menggeram marah saat melihat foto Ayu yang terpajang disana. Ayu bersama dengan gadis remaja yang sangat dikenal oleh Kiranti. " Elina " geramnya marah, "...dia yang memisahkanku dengan keluargaku. Dia membunuh keluargaku dan membawaku ketempat Ardiaz. "

" Apa gadis ini masih hidup? "

" Maksudmu Kak Ayu?. " Dewa menggelengkan kepalanya. "...Dia dibunuh! "

" Sudah ku duga. Dia pasti akan membunuh orang-orang terdekatnya juga. " kata Kirana. "Jangan mempercayai Elina dalam situasi apapun. Dia sangat berbahaya. "

***

Zea mendadak bangkit dari posisi duduknya saat melihat kedatangan Zee. Sudah pukul 22:00 malam dan kakaknya baru saja pulang. Kemeja hitam yang biasanya rapi kini terlihat kusut, bahkan tata rambutnya sedikit berantakan.

Zea menyerahkan secangkir air putih untuk Zee yang sudah terduduk diatas sofa.

" Kakak lebih baik langsung tidur. " kata Zea saat melihat Zee yang kembali berurusan dengan tumpukan kertas dihadapannya.

"Kak! " Zea benar-benar khawatir dengan keadaan kakaknya.

" Kakak baik-baik saja. Zea lebih baik tidur duluan saja. "

Zea diam.

" Zea, jangan membuat kakakmu ini marah. " kata Zee saat melihat Zea tetap duduk disofa menemaninya. " Zea, pergilah tidur. " sekali lagi Zee meminta Zea untuk segera pergi kekamar dan tidur.

Zea pada akhirnya mengikuti perkataan Zee. Tak bisa membantah perintah kakaknya itu.

***

Dewa menerima panggilan dari Maulidin setelah membantu Kiranti untuk membersihkan diri dan meminjamkan pakaian Hafi.

" Ada apa? Ini sudah jam 10 malam! " kata Dewa, suaranya sedikit ia pelankan. Takut jika Kiranti merasa terganggu.

" Keluarlah, aku ada di depan rumah mu. " suara Maulidin begitu datar.

Dewa mengernyit. " Kenapa? " tanya Dewa yang kini melangkah menuju pintu rumahnya.

Membuka pintu.

Maulidin bersama beberapa orang berseragam seperti astronot kini masuk kedalam rumahnya. Berkeliling mencari sesuatu.

" Di mana kamu menyembunyikannya? " tanya Maulidin yang baru saja keluar dari kamar mandi. Memperlihatkan sebuah kalung dengan buah berbentuk seperti mutiara dihadapan Dewa.

" Dia ada dikamar Hafi. " kata Dewa.

Maulidin dan orang-orang bersenjata mengelilingi pintu kamar Hafi. Salah satu dari mereka mendobrak kasar pintu.

" Tidak ditemukan! "

" Jendela terbuka. "

" Sial, dia melarikan diri."

Dewa menatap Maulidin. " Apakah dia berbahaya? " tanya Dewa penasaran. Apalagi Maulidin membawa orang-orang bersenjata lengkap.

Maulidin memijat keningnya. " Dia berbahaya..." manik hitam nya menatap tajam kearah Dewa, "...Dia makhluk ciptaan Abbiyya."

Dewa membelalak kaget saat mengetahui fakta tersebut. Seketika ingatan tertuju pada pertemuan mereka. Kiranti memanggil Abbiyya dengan sebutan ayah. Mungkinkah karena Abbiyya yang menciptakan Kiranti?. Tapi, apa tujuan Abbiyya sebenarnya?.

" Dan yang paling parahnya lagi, Navy Abbiyya terdaftar sebagai anggota King Cobra. " kata Maulidin. "...Semuanya. Ardiaz yang memberikan dana kepada Abbiyya untuk menciptakan makhluk aneh itu. "