Chereads / I FEEL ALONE / Chapter 8 - I FEEL ALONE - Dibandingkan

Chapter 8 - I FEEL ALONE - Dibandingkan

Sore ini gue tengah menyapu kamar gue, gue tengah membereskan kamar yang gue rasa sudah cukup berantakan. Tak ada waktu yang bisa gue pakai untuk membersihkan kamar selain sekarang.

"Vitta!" teriak Mamah. Teriakan itu membuat gue kaget sesaat.

"Iya Mah," jawab gue sambil berjalan menghampiri Mamah.

"Ini apa?" tanya Mamah sambil memegang buku ulangan matematika. Gue terdiam saat Mamah memegang buku matematika itu, gue tahu apa yang Mamah maksud.

"20? Iya? Buat apa?" tanya Mamah lagi dengan nada yang masih tinggi.

"Liat punya Deva 95," ucap Mamah sambil memegang buku ulangan milik Vetta. Di sana memang tertera nilai 95.

Kemudian pandangan Mamah beralih lagi ke buku milik gue. "Sedangkan kamu cuma 20?" Gue hanya terdiam, karena mau gimana lagi di buku milik gue memang tertera nilai 20, tapi Mamah tak tahu alasannya kenapa. Sakit rasanya saat dibandingkan dengan orang lain, tanpa tahu kejadian yang sebenarnya.

"Ini hasil ulangan kamu rata-rata di bawah 50 gak ada yang lewat 50, jangankan 95, 45 aja gak ada," ucap Mamah sambil terus membuka halaman demi halaman dari buku itu. Gue hanya bisa diam, karena sangat tidak mungkin jika gue harus menceritakan semuanya, lagi pula Mamah gak bakalan percaya, jadi percuma.

"Dasar bodoh!" ucapnya dengan nada tinggi. Seketika hati gue merasa teriris. Ucapannya begitu menyakitkan hati gue. Air mata gue sudah ingin turun, tapi gue masih berusaha untuk menahannya.

"Belajar dari Kakak kamu sana!" Mamah melempar buku itu ke arah gue.

"Sia-sia mamah sekolahin kamu!" Mamah mulai berjalan keluar dari kamar gue.

Tapi Mah, asalkan Mamah tahu sebenarnya itu hasil ulangan Vitta. Hasil ulangan aku ada di Vetta. Vetta menukar sampul bukunya, supaya dia gak dimarahin sama Mamah.

Gue hanya mampu bercerita kejadian yang sebenarnya dalam hati, karena gue yakin Mamah gak bakalan percaya sama apa yang gue jelaskan. Di mata Mamah Vetta segalanya dan gue tiada adanya.

"Kenapa gue inget kejadian itu lagi?!" Peyvitta sedang membuka buku matematikanya sekarang, awalnya ia ingin mengerjakan tugas yang sudah di berikan oleh gurunya tadi, namun kenangan buruknya kembali teringat.

Tsss

Tanpa Peyvitta sadari, ternyata air matanya telah menetes saat ia kembali teringat akan kejadian itu. Bukan hal yang mudah bagi Peyvitta untuk melupakan semua memori buruk dari pikirannya.

Peyvitta adalah orang yang mempunyai ingatan sangat kuat akan masa lalunya. Peyvitta masih bisa mengingat kejadian yang sudah terjadi 2 tahun lalu dengan begitu jelas, lebih tepatnya mengingat kejadian buruk yang pernah terjadi.

"Mah, Pah, lihat hasil ulangan Vitta Mah. Hasil ulangan Vitta gak ada yang di bawah 75 Pah, hasil ulangan matematika Vitta paling kecil 80 Mah," ucap Peyvitta sendiri sambil membuka buku ulangan matematikanya yang sekarang.

Ada perasaan yang sulit untuk didefinisikan saat dirinya tengah membuka lembaran demi lembaran dari buku itu.

"Mah, Vitta udah pinter sekarang dan sekarang udah gak bakalan ada yang bisa nuker sampul buku Vitta lagi Mah," Peyvitta memegang dan memperhatikan sampul buku miliknya.

"Vitta yakin sekarang Vitta udah lebih pintar kok Mah, Vitta udah gak bodoh Mah. Vitta yakin nilai ulangan Vitta gak bakalan beda jauh sama nilai ulangan Vetta, bahkan mungkin nilai ulangan Vitta yang sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan nilai ulangan milik Vetta."

Hikss hiksss hiksss

"Vitta gak perlu belajar dari Vetta Mah, Vitta rasa Vitta udah lebih pintar daripada dulu, lebih tepatnya daripada Vetta."

Peyvitta terus menangis sambil memegang buku matematika miliknya. Bukan emosi yang Peyvitta rasakan kali ini, namun duka dan sedihlah yang timbul di hatinya.

Bagaimana tidak sedih? Saat kalian lebih baik, namun yang mendapatkan apresiasi justru orang yang berada lebih bawah dibandingkan dirimu.

Kelebihanmu tak dihargai oleh mereka, bahkan kelebihanmu sama sekali tak terlihat di mata mereka. Mereka hanya mencari kekuranganmu dan menjadikan kekuranganmu sebagai alat untuk menjatuhkan dan menghina dirimu. Mereka hanya bisa memandang bahwa dirimu itu tidak baik dan tidak berguna. Mereka hanya tahu itu.

Peyvitta tak bisa menghentikan tangisannya, ia terus ter-inghak sambil membayangkan kejadian itu lagi. Memang berat buat Peyvitta agar bisa melupakannya, kejadian itu seperti sudah menetap di hatinya.

Sungguh sangat sulit mungkin bagi Peyvitta untuk mencari ataupun mengingat kejadian indah dari masa lalunya atau mungkin tak ada kejadian indah yang sempat terjadi pada waktu yang lalu, karena Peyvitta selalu diperlakukan tidak pantas oleh mereka.

Cara mereka semua memperlakukan Peyvitta sangat bertolak belakang dengan cara mereka memperlakukan Pelvetta dan Della.

"Mah, Vitta gak salah apa-apa Mah," ucap Peyvitta sambil setengah berteriak membela dirinya.

"Kamu ini adik gak tahu diri! Kamu ini hanya pembawa sial bagi kehidupan kita, kamu ini ancaman bagi Deva," bentak Papahnya Peyvitta.

"Tapi Pah, Vitta bukan pembawa sial," elak Peyvitta. Peyvitta terus mengelak dan membela dirinya.

Siapa sih yang bakalan tinggal diam saat sedang disalahkan oleh orang lain? Tak ada bukan? Begitu pun dengan Peyvitta, ia juga tak ingin terus disalahkan, karena ia memang tak salah.

Plak!

Tamparan keras itu mendarat di pipi bagian kiri Peyvitta. Sakit? Itu sudah pasti, Peyvitta pasti merasakan sakit saat tamparan yang keras itu mendarat di pipinya.

"Ikut Papah!" Papahnya menarik paksa tangan Peyvitta, ia membawa Peyvitta ke kamar mandi.

Sesampainya di kamar mandi, Papahnya langsung mendorong Peyvitta sampai Peyvitta terjatuh tepat di sudut kamar mandi. Papahnya menyiramkan satu ember air pada Peyvitta, yang membuat seluruh tubuh Peyvitta basah.

Di sini tak terlihat sedikit pun rasa kasihan yang terukir di wajah Papahnya. Papahnya terlihat begitu santai saat dirinya memperlakukan Peyvitta seperti itu.

Sosok Papah yang seharusnya menjaga dan melindungi anaknya tidak pernah Peyvitta rasakan. Peyvitta hanya bisa merasakan sosok Papah yang selalu membentaknya, menyakitinya dan memarahinya.

"Malam ini kamu tidur di sini!" ucap Papah Peyvitta yang kemudian langsung mematikan lampu kamar mandi itu lalu berjalan keluar meninggalkan Peyvitta di dalam.

Kamar mandi itu di kunci oleh Papahnya dari luar. Dingin? Itulah yang tengah Peyvitta rasakan sekarang. Takut? Iya, Peyvitta anaknya takut banget akan kegelapan, apalagi di kamar mandi.

Tempat yang biasanya mempunyai cerita yang begitu menyeramkan dan sekarang ditambah dengan lampu kamar mandi yang sengaja dimatikan.

"Pah, bukain pintunya Vitta takut di sini Pah," ucap Peyvitta sambil terus menangis. Peyvitta benar-benar merasa kedinginan dan juga ketakutan sekarang.

"Esh Ahh!" Peyvitta akhirnya tersadar dari mimpinya.

"Duh mimpi itu, ahhhh!" Peyvitta mengacak-ngacak rambutnya frustrasi. Mimpinya akhir-akhir ini selalu dipenuhi oleh kejadian masa lalunya, lebih tepatnya oleh kejadian buruk yang pernah terjadi di masa lalunya.

Peyvitta berjalan menuju ke arah kulkas. Peyvitta mengambil sebotol minuman kemudian ia menuangkan minuman itu ke gelas. Peyvitta mencoba untuk menenangkan dirinya sejenak.

Krbukrubk

Peyvitta POV

"Duh lapar." Gue berjalan kembali ke dapur dan kemudian memasak mie rebus.

Gue lebih memilih mengisi perut gue dibandingkan harus melanjutkan kembali tidurnya, karena gue juga gak yakin kalau gue bakalan bisa langsung tertidur dengan keadaan gue yang tengah lapar hehe.

*****

"Hallo," ucap gue saat baru mengangkat telepon itu.

"Hallo Vitta," balas orang dari seberang telepon itu. Gue merasa sangat kenal akan suara itu, gue yakin gue tahu siapa pemilik suara itu.

"Om? Ini om?" tanya gue saat baru sadar ternyata orang yang telepon adalah Om gue.

"Iya ini Om, lagi ngapain kamu? Om ganggu gak nih?" tanya Om. Gak mungkin ganggu Om, gue gak punya kegiatan yang berharga.

"Habis makan Om hehe, enggak kok Om gak ganggu."

"Oh kalau gitu lanjut tidur ya, apa kabar kamu?" tanya Om gue.

Ada perasaan yang sulit gue jelaskan saat Om menanyakan kabar tentang gue. Gue merasa sedikit dipedulikan saat ada orang yang ingin tahu tentang kondisi gue sekarang, hehe.

Om, memang orangnya perhatian sama gue, meski dia sibuk dengan pekerjaannya, tapi dia tidak jarang buat menyempatkan waktunya untuk sekedar menanyakan kabar gue.

Tapi, ya gitu deh namanya juga orang bisnis, banyak banget nomor yang sudah Om gunakan untuk menelepon gue, hingga gue sempat bingung pas barusan ada telepon yang masuk dari orang yang tak dikenal.

"Baik Om, Om sendiri gimana? Kapan pulang? Vitta kangen sama Om," rengek gue, gue memang manja kalau lagi sama Om.

Gue bersikap seperti ini karena gue nyaman seperti ini, gue merasakan sedikit kasih sayang darinya. Rasa yang tak pernah gue rasakan saat bersama dengan keluarga, tapi bisa gue rasakan saat bersama dengan Om.

Gue tahu mau bagaimanapun rasa kasih sayang yang diberikan oleh Om berbeda dengan rasa kasih sayang yang diberikan oleh keluarga, tapi setidaknya gue merasakan sedikit kasih sayang dari orang yang tulus menyayangi gue.

"Om juga baik, gak tahu nih banyak kerjaan soalnya."

"Kapan-kapan main sini Om."

"Iya sayang. Vitt teleponnya udahan ya, ada telepon masuk nih," ucap Om dari seberang telepon sana.

"Yah Om, ya udah deh bye."

"Selamat tidur," ucap Om, mengakhiri pembicaraan malam ini. Gue mematikan sambungan telepon itu.

Sekarang sudah jam 22:30, tapi rasa ngantuknya belum kembali datang. Gue menatap langit-langit kamar gue sambil mencoba menuangkan semua yang tengah gue pikirkan sekarang.

Gue tahu gue sulit untuk tertidur bukan tanpa alasan, melainkan ada sesuatu yang masih mengganjal di pik8iran gue yang membuat gue sulit untuk kembali tertidur.