Chereads / I FEEL ALONE / Chapter 13 - I FEEL ALONE - Radith

Chapter 13 - I FEEL ALONE - Radith

Kaki gue mengikuti ke mana arah kakinya melangkah, ternyata langkah kakinya sampai di sebuah taman yang masih ada di area sekolah.

"Ngapain lo ngajak gue ke sini?" tanya gue saat gue sekarang sudah duduk di salah satu bangku panjang yang ada di taman ini.

"Gue mau ngomong hal yang serius sama lo," ucapnya sambil menatap gue dengan tatapan yang terbilang lumayan serius.

Ah benci gue ditatap! Apalagi tatapannya kayak gini, gue bisa muntah mendadak di sini.

"Punya urusan apa lo sama gue? Sampai lo mau ngomong hal serius?" tanya gue tanpa mau menatap dia balik.

"Vitt, kita udah lama kenal dan gue udah ngerasa nyaman sama lo." Nada bicara dia sedikit berubah dan sedikit lebih lembut dari sebelumnya.

Jangan lo bilang kalau lo suka sama gue.

"Gue suka sama lo Vitt," ucap orang itu, ah shit! Belum selesai gue berharap dia sudah keburu ngomong duluan.

"Trus?"

"Emh." Dia terlihat sedikit kebingungan saat dia mendengar respons gue yang teramat begitu santai barusan.

"Jangan lo bilang lo mau ngajak gue buat jadi pacar lo," tebak gue dengan nada yang begitu ketus. Gue sebenarnya gak mau untuk membahas tentang cinta saat ini.

"Emang kenapa?" tanya orang itu dengan nada yang begitu polosnya.

"Percuma."

"Percuma kenapa?" tanya orang itu dengan nada dan ekspresi yang begitu penasaran.

"Percuma, gue gak bakalan nerima lo," ucap gue santai.

Entahlah mau dia kecewa atau apa pun itu terserah dia, karena gue gak peduli! Gue gak mau peduli sama orang lain, karena gue juga tak pernah dipedulikan oleh orang lain.

"Dit, lo tahu kan sampai sekarang gue gak pernah nerima siapa-siapa?"

"Iya, tapi apa lo juga gak bakalan nerima gue Vitt?" tanya Radith. Dia kelihatan banget kalau dia sangat berharap sama gue untuk saat ini.

"Sama seperti dengan orang yang sebelumnya," jawab gue enteng.

"Apa alasan lo nolak gue? Kurang apa gue?" tanya Radith lagi.

Jujur gue bingung saat dia menanyakan kekurangannya, karena alasan kenapa gue menolak dia itu bukan sebab kekurangannya. Gue nolak dia karena hati gue belum bisa terbuka untuk siapa pun, tak terkecuali dia.

"Gue gak ngerasain apa yang lo rasa sama gue. Saat lo ngerasa nyaman sama gue, tapi gue gak merasakan hal itu saat bersama dengan lo Dit. Lo gak kurang apa-apa, lo ganteng, gue tahu lo juga pinter, tapi gue gak cocok buat lo Dit."

"Kenapa lo bilang kalau lo gak cocok buat gue Vitt?"

"Masih banyak cewek di luar sana yang lebih cocok buat lo, masih banyak cewek di SMA ini yang ngejar-ngejar lo, jadi lo gak pantes buat ngejar gue Dit." Untunglah suasana hati gue lagi baik pagi ini, jadi gue gak menolak cinta dia dengan cara yang tidak baik.

Gue tahu dia terbilang salah satu siswa yang banyak dikejar oleh para siswi SMA ini dan gue cukup tahu diri untuk saat ini. Gue sadar akan kondisi gue saat ini, jadi gue sadar sendiri kalau gue gak layak bersama dengannya.

Gue bisa berpikir seperti ini karena hati gue lagi tenang, coba saja kalau hati gue lagi kumat. Mungkin respons dan jawaban yang bakalan gue kasih gak bakalan se-baik dan sehalus sekarang.

"Tapi Vitt, lo pantes buat gue, lo—"

"Cukup Dit! Makasih udah mau sayang sama orang seperti gue, tapi gue gak bisa nerima lo."

"Vitt gue—"

"Gue minta lo pergi sekarang Dit," pinta gue dengan santai.

"Tapi Vitt—"

"Gue minta pergi Dit!" Emosi gue kembali muncul sekarang.

"Oke gue pergi, tapi gue minta biarkan gue terus berteman dengan lo dan gue harap lo terima cokelat ini," ucap dia sambil memberikan dua batang coklat itu pada gue. Dia tersenyum, dia mencoba meyakinkan gue untuk menerima cokelat itu.

"Makasih, sekarang pergi!" ucap gue setelah menerima cokelat yang baru saja ia berikan.

Dia masih berdiri di sana sambil menatap ke arah gue dengan tatapan penuh tanda tanya. Gue tahu apa yang sedang dia pikirkan sekarang.

"Pergi!" Cowok itu berjalan pergi meninggalkan gue dengan langkah yang terlihat kalau dia masih begitu ragu untuk meninggalkan gue di sini.

Radith. Nama cowok itu adalah Radith, lebih lengkapnya Radith Alfian. Dia anak kelas 11 IPA 2. Sudah gue duga, ternyata kedekatan dia sama gue hanya didasari oleh rasa kecintaan bukan keikhlasan.

Untuk saat ini gue hanya menginginkan keikhlasan dari seseorang. Gue ingin bersama dengan orang yang memang mau bersama dengan gue tanpa alasan atau lebih tepatnya tanpa meminta balasan.

Dia punya wajah yang terbilang cukup tampan, dia juga punya banyak penggemar. Banyak siswi yang mencoba mendekati dia dan bodohnya, dia malah memilih untuk mendekati cewek yang seperti gue.

Menurut berita yang gue denger dia juga anak orang kaya, jadi pantas saja semakin banyak siswi yang ngejar-ngejar dia. Tapi anehnya dia malah memilih untuk ngejar gue, haha dasar bodoh.

Sudah begitu banyak cowok yang mengungkapkan perasaan mereka sama gue, tapi sampai saat ini gue belum merasakan kenyamanan dengan mereka semua.

Jadi, sampai detik ini gue masih betah untuk alone, karena belum tentu juga saat gue sudah bersama dengan mereka gue bisa merasakan kebersamaan.

*****

Di kelas Peyvitta sekarang sedang terjadi KBM dan pelajaran yang sedang berlangsung adalah pelajaran sejarah. Pelajaran yang terbilang membosankan, karena terus membahas masa lalu tanpa memikirkan masa depan.

"Baik untuk kelompok yang terakhir, Anna, Indah, Dita, Lala dan Peyvitta," ucap Bu Ike yang kemudian menyimpan buku absen yang semula ia pegang.

Ah, kenapa gue harus kebagian kelompok sih! Gue gak butuh kelompok, gue kan bisa sendiri!

"Baiklah ada waktu 10 menit sebelum istirahat, silakan kalian gunakan untuk berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing," ucap Bu Ike yang kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar.

"Vitt, sana yuk," ajak Anna sambil menunjuk ke tempat di mana di sana sudah terdapat teman-teman sekelompoknya.

"Sana duluan," ucap gue tanpa mau menatapnya. Gue gak mau untuk gabung bersama dengan mereka. Gue bisa sendiri, kenapa gue harus kebagian kelompok sih?

"Ayolah," ajak Anna lagi.

"Gue bilang duluan!" ucap gue yang semakin ketus. Ok gue gak suka akan paksaan.

"Udahlah Na sini aja," ucap Lala. Gue tahu nama dia Lala, karena dia tadi mengangkat tangannya saat Bu Ike menyebutkan nama Lala.

"Bentar La, Vitt yu kita ke sana," ucap Anna lagi, dia memegang tangan gue berusaha untuk membujuk gue agar bisa gabung dengan kelompoknya.

"Lepasin!" ucap gue sambil melepas paksa tangan Anna. Mau gak mau, suka tidak suka, gue harus ikut bergabung dengan kelompoknya, karena kalau gue tetap tidak mau maka semakin gue merasa risih akan ajakannya.

Kenapa sih sampai saat ini gue masih benci sama yang namanya kebersamaan?