Chereads / I FEEL ALONE / Chapter 17 - I FEEL ALONE - Telur Mata Hati

Chapter 17 - I FEEL ALONE - Telur Mata Hati

Mendengar kalau ternyata pekerjaan Dita juga salah, gue sepintas tersenyum miring. Hahah, gue tertawa sebentar dalam hati gue.

Dita hendak mengambil kertas karton yang semula sudah gue gambar, serta ia langsung memutar layar laptop yang berisikan peta tadi ke arahnya.

"Vitt kok di delete?" tanya Dita heran saat melihat gue yang baru saja menghapus file peta yang sudah di re-make buat tugas besok.

Brtttt brtttt brtttt

Gue merobek kertas karton yang berisikan peta tentang persebaran manusia purba itu, membuat mereka yang menyaksikan itu terdiam heran. Peta yang sudah 85% jadi itu kini hanya menjadi beberapa bagian kertas yang sudah sobek berhamburan.

"Kok lo malah robek tugas kita sih? Mau lo sebenarnya apa sih?" tanya Dita sambil menatap gue dengan tatapan yang penuh emosi.

Gue tahu di sini Dita lah yang paling emosian di antara yang ada. Setelah merobek dan menghapus file yang ada, gue gak merasa bersalah sedikit pun, bahkan gue merasa puas akan tindakan yang sudah gue lakukan barusan.

"Tugas lo? Haha," ucap gue sambil tertawa ringan, gue tertawa pasalnya sedari tadi yang buat peta itu adalah gue, dan foto yang susah diedit itu adalah foto hasil editan gue, jadi suka hati gue lah kalau mau gue robek atau bakar sekalipun.

"Mau lo apa sih sebenarnya, bikin emosi terus?" tanya Dita.

"Mau gue?" tanya balik gue.

"Iya, mau lo apa?"

"Mau gue lo itu ngaca!" Nada bicara gue naik sekarang. Gue mau dia bisa ngaca atas apa yang sudah dia lakukan sebelumnya.

"Maksud lo?"

"Lo dengan mudahnya langsung bentak dan maki gue karena tugas yang gue buat salah, sedangkan tugas lo sendiri gak benar, haha."

"Kalau emang gak bisa gak usah so-soan." Setelah selesai berucap gue langsung berjalan keluar dari rumah Anna meninggalkan mereka yang tengah terdiam heran, sebab tugas yang harus dikumpulkan besok malah gue robek.

"Eh lo mau ke mana? Ini kelanjutan tugasnya gimana?" teriak Lala.

Mampus deh lo!

"Vitt tunggu!" Anna ternyata mengejar gue sampai ke luar, gue yang barusan hendak menggunakan helm, itu tidak jadi. Gue berbalik badan menatap Anna.

"Kamu marah ya?" tanya dia dengan begitu polosnya. Gue tak menjawab, gue hanya mengangkat kedua bahu gue acuh.

"Vitt jangan marah donk, kalau kamu pulang tugas kita mau gimana, yang tahu semua rencananya kan kamu," bujuk Anna.

Udah tahu gue yang punya otak, buat apa lo pada songong?

"Emang gue pikirin?" ucap gue cuek.

"Ayo lah Vitt, terus kita harus gimana?" tanya dia dengan raut muka yang sedih, gue tahu dia sangat sayang banget sama yang namanya nilai.

"Kerjakan apa yang harus kalian kerjakan," ucap gue yang kemudian memakai helm dan menyalakan motor gue, gue pergi meninggalkan Anna.

Gue masih tidak menyangka ternyata apa yang tidak gue inginkan ternyata malah terulang kembali. Kenapa di dunia ini semua orang begitu mudah untuk menyalahkan gue, padahal pada kenyataannya mereka juga punya kesalahan yang bahkan kesalahan yang sudah mereka perbuat itu lebih besar dibandingkan dengan kesalahan yang sudah gue perbuat.

Gue pikir dengan gue ikut kerja kelompok sekarang bakalan bisa mengubah memory buruk tentang kebersamaan gue di masa lalu, tapi ternyata tidak, bahkan ingatan gue akan yang namanya kebersamaan semakin buruk! Pikiran gue semakin berpikir kalau yang namanya kebersamaan itu sangat buruk.

Ah, itu gue-nya saja yang mudah tersinggung? Gue gak bakalan tersinggung kalau gak ada yang menyinggung! Intinya gak bakalan ada akibat kalau semulanya gak ada sebab.

Gue pulang ke apartemen gue dengan keadaan yang sangat malas untuk diceritakan. Hari ini cukup menyebalkan, gue rasa sangat menyebalkan.

*****

Sinar mentari Pagi mungkin mulai masuk ke kamar gue. Gue tahu kalau sinar mentari sudah masuk ke kamar gue, sebab mata gue sudah merasa silau saat posisi tidur gue menghadap ke arah gorden kamar gue yang mulai terlihat bercahaya.

Gue membuka mata gue dan melihat ke arah sebuah jam digital yang ada di atas meja yang terletak di samping tempat tidur gue. Waktu baru menunjukkan pukul 06:25, namun cahaya mentarinya sudah sangat terang pagi ini.

Gue bangkit dari tempat tidur gue dan gue sama sekali gak berjalan ke arah kamar mandi. Gue lebih memilih berjalan ke dapur, perut gue sudah demo dari tadi. Gue mau masak dulu, sebelum gue mandi lagian ini masih pagi, masih banyak waktu yang tersisa.

Sebuah nasi goreng dengan telur mata sapi, itulah menu pagi yang langsung terlintas di pikiran gue. Kenyang dan simpel itulah alasan kenapa gue memilih nasi goreng.

Tangan gue perlahan mulai memotong bawang serta cabai rawit yang telah gue ambil dari dalam kulkas tadi.

Gue menumis semua bumbu yang sudah gue iris, kemudian memasukkan nasi dan menunggu nasi goreng itu siap, sambil sesekali gue aduk. Mon maaf tutorial bentar, hehe.

"Yah pecah, kayak hati gue," ucap gue saat melihat bahwa telur yang semula ingin gue ceplok di buat telur mata sapi yang sempurna, namun si kuning telurnya malah pecah.

"Gak papa deh, gak jadi telor mata sapi juga, paling jadi telor mata hati. Mata hati gue tapi." Gue tersenyum miris setelah selesai berucap.

Setelah selesai menyantap nasi goreng serta telur mata hati ini, gue langsung mengambil peralatan sekolah gue. Gue berjalan keluar dari apartemen gue untuk menuju ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, gue langsung berjalan melewati banyak kelas orang dan terus berjalan sampai menuju ke kelas gue.

Sekarang gue tengah duduk santai di kelas sambil menunggu guru sejarah masuk. Hari ini memang bagian sejarah lagi dan kali ini mood gue lagi bersahabat makanya gue sudah duduk di kelas.

Gue bisa tahu apa yang sedang kelompok gue rasakan saat ini, gue bisa tahu itu dari ekspresi yang mereka tunjukkan.

"Dit, tugas kelompok lo gimana?" tanya salah seorang murid di kelas ini, entah siapa namanya gue gak tahu.

"Gak tahu gue, tugas gue berantakan gara-gara dia," jawab dia sambil menatap gue.

"Lho kok gitu?" tanya orang itu lagi.

"Kertas karton yang kita gunain buat bikin peta disobek oleh dia," ucap Dita dengan nada yang begitu sinis sambil menunjuk ke arah gue. Ok, di sini gue masih berusaha untuk sabar.

"Trus gimana donk?" tanya temannya itu.

"Gak tahu gue," jawab Dita cuek.

"Dia kayak gak bawa apa-apa deh," ujar orang itu dengan nada yang setengah berbisik. Gue yakin orang itu sengaja berbisik, karena orang itu tahu betul bagaimana sifat gue.

"Gak tahu gue awas aja kalau tu—"

"Gak usah banyak bacot!" ucap gue sambil menatap mereka yang kemudian mereka semua langsung diam seketika.