Chereads / I FEEL ALONE / Chapter 18 - I FEEL ALONE - Let's Play the Game

Chapter 18 - I FEEL ALONE - Let's Play the Game

Anna ikut khawatir saat melihat dan mendengar respons gue yang begitu acuh akan tugas kelompok kemarin.

"Vitt, tugas kita gimana?" tanya Anna serius setelah mereka berhenti bertanya. Pagi ini telinga gue sudah dipenuhi oleh pertanyaan tentang tugas. Nih kata tugas sudah memenuhi isi telinga gue.

"Gak gimana-gimana," jawab gue santai.

"Tapi Vitt—"

"Gak usah banyak tanya!" seru gue ketus, dia kemudian menurut dan akhirnya diam.

Guru sejarah sudah masuk ke dalam kelas gue. Gue bisa melihat ekspresi Anna yang begitu tegang. Bagaimana gak tegang, secara guru sejarah kan pelit banget sama yang namanya nilai dan Anna termasuk orang yang gue rasa sangat begitu menghargai nilai. Beberapa kelompok sudah dipanggil untuk mempresentasikan tugasnya.

Sampai akhirnya Bu Ika menyuruh kelompok gue buat mempresentasikan tugas kelompok itu. Semua orang terdiam dan heran saat gue berani maju lebih awal. Gue berani maju, karena gue tahu semuanya sudah selesai.

Anna hanya tersenyum sambil menatap gue saat gue bangkit dari tempat duduk dan berjalan maju. Gue rasa mungkin dia percaya sama gue. Sedangkan Indah, Dita dan Lala hanya terbengong, terlebih lagi Dita. Mereka ikut berjalan menuju ke depan.

Let's play the game!

Gue menjelaskan beberapa hal pokok yang akan di jelaskan nantinya. Masalah peta itu? Gue mengubah peta itu menjadi lebih detail, yang dibuat terpisah di setiap bagiannya, dan gue hanya menggunakan kertas HVS saja, jadi mereka memang tak tahu kalau gue sudah menggambar ulang tugasnya.

Gue sengaja mengubah metode penjelasnya. Semua konsepnya sudah gue ubah kecuali bagian Anna, gue gak mau buat nilai dia jeblok.

Dia masih bisa menjelaskan apa yang sudah ia pelajari sebelumnya, sedangkan Dita? Dia hanya bisa membaca tulisan yang sudah ia print sebelumnya.

Presentasi seperti itulah yang membuat gue bahagia, karena nilai yang gue dapat beda jauh dengan nilai yang Bu Ika berikan pada yang lainnya, kecuali Anna.

Nilai dia gak beda jauh sama nilai gue dan itu memang rencananya. Dia gak punya salah sama gue, jadi gak mungkin gue mau menjatuhkan dia. Gue bukan tipikal orang yang seperti itu.

Gue akan membalas tindakan yang sudah mereka perbuat dan karena Anna gak berbuat apa-apa yang ngapain juga gue harus balas dendam sama dia?

Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh sebagian siswa di kelas ini seharusnya dapat di jawab oleh Dita, tapi didahului oleh gue. Gue sengaja menyabotasenya supaya dia tidak bisa menjawab.

Tak ada materi lain yang dikuasai olehnya, jadi ketika semua pertanyaan yang memuat materi yang disampaikan oleh Dita sudah gue jawab, maka tak mungkin ia mampu menjawab pertanyaan yang lain.

Haha, gue bahagia melihat ekspresinya itu. Makanya jangan mau main-main sama gue! Gue gak akan nampar lo kok, gue hanya akan menjatuhkan lo.

Dia hanya bisa berdecak kesal. Dia paham, bahkan dia tahu kalau semuanya itu adalah rencana gue, tapi dia gak bisa berbuat apa-apa selain merasa kesal, karena nilai dia yang teramat jeblok di kelompoknya.

Gue tersenyum miris sambil menatapnya. Dia gak mungkin bilang semua hal ini pada Bu Ika, karena kalau dia mengadukan hal ini berarti dia secara tidak langsung membongkar identitas dirinya.

"Jangan berani main-main sama gue!" bisik gue saat berjalan melewati tempat di mana Dita duduk.

Lo gak perlu bersikap kasar atau main fisik sama orang yang sudah meremehkan diri lo. Lo cukup menggunakan cara yang pintar, gunakan otak lo untuk membalas semua perbuatan mereka.

Buatlah orang yang semula merendahkan lo berada di posisi yang paling rendah dan buatlah posisi lo berada di posisi yag teratas.

*****

Hari berlalu begitu saja. Tak ada hal yang istimewa yang terjadi pada hari itu.

Sekarang gue sedang menatap cermin. Gue suka kalau gue sudah berada di depan cermin. Kenapa? Kenapa gue suka kalau berada di depan cermin? Karena di depan cermin gue tidak merasa sendiri, gue merasa berdua. Meski hanya berdua dengan bayangan haha, yang jelas gak sendiri lagi kan?

Gue juga suka menatap cermin. Karena apa? Karena dia tidak pernah tertawa saat gue sedang menangis.

Cermin adalah makhluk yang sangat jujur, ia akan menunjukkan siapa kamu yang sebenarnya. Kamu buruk? Dalam cermin pun akan tetap buruk dan begitu juga sebaliknya, ketika kamu baik maka di dalam cermin itu juga kamu akan tetap terlihat baik.

Sangat jujur bukan cermin? Tak seperti manusia yang selalu berubah, tergantung dengan siapa dan di mana dia sedang berbicara.

Kali ini gue sudah mengenakan seragam dengan logo osis ini, di sertai bawahan celana levis. Gak usah so bego, tanya kenapa gue pakai levis? Gue ke sekolah naik motor, jadi gak mungkin gue naik motor yang kayak begitu dengan menggunakan rok mini ini.

Gue berjalan santai keluar dari kamar dan tak lupa mengambil handphone serta tas hitam milik gue. Gue berjalan dengan santai meninggalkan area apartemen. Gue juga sekarang lebih memilih menikmati suasana kota yang terasa begitu damai pagi ini.

Gue sekarang gak lagi balapan sama yang namanya waktu, jadi gak perlu cape-cape buat gue ngebut, karena itu gue bisa lebih menikmati suasana pagi ini dengan perasaan yang cukup tenang.

Sesuai dugaan gue, gerbang sekolah pun belum di tutup, karena waktu masuk masih 20 menit yang akan datang. Gue masuk ke area sekolah ini tanpa ada yang aneh, tanpa ada omelan dari guru BK ataupun tanpa melihat pemandangan yang mengusik hati gue.

Sampai ketika gue membuka kaca helm lalu melepaskan helm itu, mata gue tak sengaja melihat sebuah motor CBR250RR warna hitam dengan body yang sudah pull habis dimodifikasi. Tampilan motor itu terlihat begitu keren sekarang, berbeda dengan punya gue yang semuanya masih terlihat ori.

Pandangan gue kali ini hanya tertuju pada pemilik motor itu. Dia parkir di parkiran sebelah sana, posisi dia parkir berseberangan dengan posisi gue parkir sekarang.

Gue gak tahu kenapa, yang jelas mungkin pagi ini gue kurang kerjaan. Jadi, gue memperhatikan dia dari awal dia memarkirkan motornya sampai sekarang dia mulai membuka resleting jaketnya dan sampai pada akhirnya dia membuka helm full face-nya.

Rahang yang kokoh, hidung yang mancung, rambut hitam yang sedikit kecokelatan itu membuat wajahnya terlihat begitu tampan. Ah tanpa gue sadari, gue ngatain orang lain tampan kan.

Orang itu menyisir acak rambutnya dengan tangan, membuat rambutnya terlihat lebih acak-acakan, namun itu justru membuat tampilannya menjadi lebih keren.

Ganteng. Gumam gue sesaat sebelum dia beralih dan menatap gue dengan tatapan yang begitu dingin. Ya Tuhan, ternyata orang itu adalah...