Akhirnya sampai juga di depan sekolah dan ternyata seperti yang sudah gue duga sebelumnya.
Kan bener! Gerbangnya udah di tutup, sial! Lagi-lagi gue harus mendengarkan omelan guru BK lagi, shit!
"Vitta, kamu terlambat lagi?" tanya Bu Lela. Bu Lela adalah salah satu guru BK SMA ini. Dia juga tak kalah galaknya dengan guru BK yang lain. Sudah tahu gue terlambat ngapain masih tanya coba Bu? Tanya gue sendiri dalam hati.
"Iya Bu," jawab gue sambil mengangguk dengan perasaan yang malas.
"Kamu ini, gak ada kapok-kapoknya ya," omel dia. Ok, sepertinya gue sudah mulai bosan sekarang atau lebih tepatnya gue langsung merasa bosan.
"Terus Bu?" tanya gue langsung to the point. Gue sudah tak mau berlama-lama di sini.
"Ya sudah silakan masuk, terus kamu lari 10 keliling lapangan!" serunya. Bu Lela mungkin sudah tahu karakter gue sehingga ia tak mau berlama-lama berdebat dengan gue.
Lari, lari, lari itu saja terus hukumannya, bosan gue. Gue berlari mengelilingi lapangan basket ini, banyak siswa yang sedang berolah raga sekarang.
Tatapan aneh itu mulai mengelilingi gue, entahlah mungkin mereka sudah bosan melihat gue yang harus terus berlari keliling lapangan atau mungkin mereka punya kebencian sama gue.
Author POV
"Vitta sini masuk ke ruangan Ibu," ucap Bu Lela saat Peyvitta selesai berlari dan hendak berjalan ke kelasnya.
Peyvitta mengangguk dan kemudian berjalan mengikuti Bu Lela ke ruangannya, ruangan yang dimaksud adalah ruangan BK. Peyvitta duduk di hadapan Bu Lela.
"Vitta akhir-akhir ini kamu sering banget kesiangan, bahkan menurut informasi yang masuk, kamu juga sering bolos jam pelajaran iya?" tanya Bu Lela dengan nada yang sangar. Kalian pasti tahulah kalau guru BK sudah mengomel itu bakalan seperti apa?
"Iya Bu," jawab Peyvitta sambil mengangguk. Peyvitta tak membantah apa yang sudah Bu Lela ucapkan, karena ia merasa bahwa apa yang sudah dikatakan oleh Bu Lela barusan memang benar apa adanya.
"Jangan mentang-mentang anak IPS itu tenar akan ulahnya, kamu juga ikut ikutan ya," omel Bu Lela.
Kalaupun gue jadi anak IPA juga mungkin gue akan tetap seperti ini, jawab Peyvitta dalam hatinya.
"Kamu itu perempuan Vitta."
Gue juga tahu kalau gue perempuan, tapi ya sudahlah biarkan.
Gue lagi malas untuk berdebat, gue sekarang lagi sayang sama suara gue. Nantinya juga dia yang gak mau kalah, jadi ya biarkan dia berbicara sesuka maunya. Peyvitta berucap dalam hatinya.
"Kamu itu kenapa si? Kesiangan terus, kalau gak kesiangan kamu bolos," omel Bu Lela lagi. Peyvitta masih terdiam sambil mencoba menahan dirinya agar tidak ikut emosi.
"Mau jadi apa kamu? Baru kelas 11 sudah bolos saja kerjaannya," nada bicara Bu Lela semakin meninggi.
"Kamu gak ada kapok-kapoknya ya, sudah banyak guru yang kasih hukuman sama kamu, tapi kamu tetap saja kayak gini!" Bu Lela terus mengomeli Peyvitta.
"Kamu baru masuk kelas 11 VITTA! Masa SMA kamu masih lama, kalau kamu bolos terus gimana dengan ke depannya?" tanya Bu Lela, namun Peyvitta masih memilih untuk diam, ia belum mau membuka mulutnya.
"Kerjaannya telat, kesiangan saja terus, apa kamu gak bisa bangun pagi?!" Bu Lela semakin meninggikan nada bicaranya.
"Apa gak ada yang bangunin kamu kalau kamu telat bangun?"
"Apa gak ada yang ngingetin kamu buat sekolah?"
Peyvitta sekarang mulai merasakan sesak di dadanya, denyut jantungnya sudah mulai mengencang dan nafasnya sudah mulai memburu.
Kata-kata yang sudah Bu Lela keluarkan barusan, sepertinya menimbulkan sebuah rasa yang aneh di hati dan pikiran Peyvitta.
"Apa orang tua kamu tidak pernah membangunkan kamu ketika pagi kamu belum bangun?"
"Apa orang tua kamu tidak pernah ngingetin kamu tentang sekolah?"
"Apa kamu gak bosen kalau denger orang tua kamu marah-marah saat kamu belum bangun?"
Napas Peyvitta semakin tidak teratur, keringat mulai ber-keluaran, jantungnya mulai ber debar-debar, hatinya mulai merasa panas dan tangannya mulai mengepal erat.
Bu Lela terus nyerocos ngomel pada Peyvitta, namun Peyvitta kini masih terdiam sambil menahan emosi dan sesak yang ia rasakan.
"Apa kamu gak kasihan sama mereka? Mereka sudah cape-cape berjuang supaya kamu bisa sekolah di sini, tapi kamu malah melakukan hal yang kayak gini?"
"Saya pikir orang tua kamu bakalan kecewa kalau mereka tahu ulah kamu yang seperti ini, kamu yang sering kesiangan, kamu yang suka bolos pelajaran."
"Pasti orang tua kamu—"
Brakkkk "CUKUP BU!" Peyvitta menggebrak meja itu dengan keras, membuat Bu Lela kaget dan heran, bahkan sebagian guru yang sedang ada di ruangan ini pun ikut merasa kaget.
Bu Lela hanya terdiam sambil menatap Peyvitta dengan tatapan penuh tanda tanya, karena sedari tadi Peyvitta diam namun kini membuat Bu Lela terdiam bahkan kaget.
Awalnya Peyvitta memang tak mau menjawab apa pun yang Bu Lela ucapkan, bahkan sedari tadi ia dengan sopan mendengarkan semua ucapannya, tapi ketika Bu Lela mengucapkan sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, emosi Peyvitta langsung terpancing dan tak bisa ia kendalikan.
"Jangan Ibu bawa-bawa orang tua saat berbicara dengan saya!" Peyvitta berucap dengan nada yang penuh sekali penekanan.
Bu Lela terdiam sambil menatap Peyvitta dengan tatapan yang bingung.
Mungkin ia bingung kenapa Peyvitta yang semula hanya duduk dengan pandangan yang menunduk dan kepala yang sedari tadi hanya mengangguk saat dirinya mengomelinya tadi, tapi kenapa sekarang Peyvitta menjadi emosi seperti ini.
"Karena yang terjadi dengan saya tak seperti yang Ibu pikirkan!" jelas Peyvitta yang semakin menekan setiap ucapannya.
"Maksud kamu apa Vitta, Ibu tak paham dengan semua ucapan kamu?" Bu Lela mencoba untuk bertanya, namun dengan nada yang begitu gemetar dan terlihat kalau dirinya tengah merasa ketakutan.
"Ibu tak tahu apa yang terjadi, makanya Ibu bisa semudah itu berbicara!" lanjut Peyvitta, Bu Lela yang sedari tadi berbicara tanpa henti kini hanya bisa terdiam sambil mendengarkan ucapan penuh penekanan dari Peyvitta.
"JIKA TIDAK PERNAH MELIHATNYA SENDIRI, MAKA JANGAN BERANI UNTUK MENYIMPULKAN!!!" Peyvitta mengucapkan kalimat itu dengan sangat penuh penekanan, bahkan intonasinya pun sudah sangat tinggi.
Peyvitta bangkit dari tempat duduknya, kemudian meninggalkan Bu Lela yang tengah terdiam kaget melihat tingkah Peyvitta barusan.
Entah sudah selesai atau belum tentang pembicaraannya dengan Bu Lela, tapi Peyvitta lebih memilih untuk pergi.
Jbrettt
Peyvitta menutup pintu ruangan BK itu dengan begitu kencang.
Emosinya sudah semakin memuncak, bahkan jika ia tidak segera meninggalkan ruangan itu mungkin dirinya bisa lebih lepas kendali, ia sudah tak bisa mengontrol emosinya lagi.
Peyvitta berjalan meninggalkan ruangan itu jauh. Peyvitta memilih untuk pergi, karena ia tak mau jika emosinya semakin meningkat dan malah terjadi hal yang tidak ia inginkan di sana.
Peyvitta masih ingat dengan siapa ia berbicara, maka dari itu ia lebih memilih pergi ketimbang terus menyuarkan isi hatinya. Peyvitta juga tak mau jika nantinya ia harus melakukan tindakan atau kekerasan pada orang yang ia anggap sebagai gurunya itu.
Peyvitta terus melangkahkan kakinya tak tentu tujuan. Entah ke mana, namun akhirnya ia melangkahkan kakinya menuju ke sebuah ruangan.
Peyvitta masuk ke dalam ruangan itu, dirinya duduk bersandar di salah satu kursi yang ada di ruangan itu. Peyvitta mencoba menetralkan kembali emosinya yang sudah tinggi.
"Bangun!" teriak Neli Mamahnya Peyvitta sambil melemparkan selimut yang semula menyelimuti tubuh Peyvitta ke arah yang asal.
"Hmm," gumam Peyvitta saat baru tersadar dari alam tidurnya.
"BANGUN!" teriak Mamahnya yang berhasil mengagetkan Peyvitta. Peyvitta kaget karena ia baru saja keluar dari alam bawah sadarnya.
Mungkin semua orang juga bakalan kayak gitu, gak bakalan ada orang yang langsung tersadar 100% dari alam tidurnya, begitu juga dengan Peyvitta.
"Udah siang bukannya masak siapin sarapan, malah tidur aja terus kerjaannya," omel Mamahnya dengan nada yang begitu tinggi.
"Sana ke dapur masak! Deva udah lapar itu," bentak Mamahnya lagi. Peyvitta beranjak dari tempat tidur, Peyvitta mulai berdiri, dan kemudian melangkah.
"Cepat!!" bentak Neli sambil mendorong tubuh Peyvitta.
Jdottttt
Kepala Peyvitta terbentur ke sudut pintu, karena jalan Peyvitta yang masih lemas sebab baru bangun tidur, tapi sudah didorong keras oleh Mamahnya yang membuat kepala Peyvitta ke jedot ke pintu.
Peyvitta meringis sambil memegang kepalanya. Pusing? Itulah yang tengah Peyvitta rasakan sekarang.
Neli berjalan keluar dari kamar Peyvitta terlebih dahulu dan meninggalkan Peyvitta yang sedang memegangi jidatnya.
Neli tidak memedulikan bagaimana keadaan Peyvitta sekarang, yang ia pedulikan sekarang hanyalah kondisi perut Pelvetta.
"Mah, Vetta sama Della mana?" tanya Peyvitta setelah selesai mandi dan memakai seragam.
"Sudah berangkat," jawab Neli dengan nada yang begitu jutek.
"Kok gak nunggu aku?" tanya Peyvitta lagi.
"Kamu-nya kelamaan, kalau mereka nungguin kamu, mereka bisa telat!" Neli semakin meninggikan nada bicaranya.
"Tapi kan Mah, aku kan tadi masak dulu buat kalian," ujar Peyvitta. Neli tak menjawab, dia asyik memandangi ponselnya.
"Trus aku ke sekolah gimana Mah?" tanya Peyvitta lagi.
Peyvitta sedari tadi masih berbicara dengan nada yang masih terbilang sopan, meski Mamahnya sedari tadi berbicara dengan nada yang tinggi, tapi Peyvitta masih berusaha menyesuaikan intonasi miliknya.
"Naik kendaraan umum saja sana!" seru Mamahnya dengan enteng.
"Uangnya?" tanya Peyvitta polos.
"Bukannya uang kemaren masih ada?" tanya Neli dengan nada yang sedari tadi tetap tinggi.
"Tinggal 10 ribu Mah." Peyvitta berkata yang sejujurnya, karena memang uang jajannya yang kemarin hanya terisa 10 ribu saja.
"Ya udah itu juga cukup buat pergi ke sekolah."
"Kalau aku laper gimana Mah?"
"Tahan saja apa susahnya sih," ucap Neli dengan nada yang begitu entengnya.
Peyvitta menghembuskan napasnya dengan berat, Peyvitta masih mencoba menahan emosinya. Peyvitta akhirnya mencoba menerima semuanya.
Saat Peyvitta hendak menyalami Mamahnya, Mamahnya dengan santainya malah berjalan pergi dan mengabaikan Peyvitta.
Kebayang gak sih gimana perasaan Peyvitta pada saat itu?