Jujur setelah kejadian itu, gue merasakan sesuatu yang berbeda dari hidup gue.
07:20
Pagi ini gue sudah berada di sekolah. Gue gak telat untuk hari ini, tapi justru dengan gue gak telat itu gue malah membuat gue sakit hati.
Gue melihat Pria tua berpakaian kemeja kotak-kotak itu tengah membukakan pintu mobilnya, yang mungkin untuk anak-anaknya. Dua gadis yang menggunakan seragam sama keluar dari mobil itu.
Pria itu mengusap puncak kepala mereka bergantian sebelum mereka menyalami Pria tua itu. Selesai menyalami Pria tua itu, mereka berdua masuk ke area sekolah. Pria itu tidak langsung pergi, namun pria itu menunggu kedua putrinya untuk masuk ke dalam sekolahnya.
Pah, apa pernah Papah menunggu di depan gerbang sampai aku masuk ke sekolah lalu Papah Pergi?
Pria tua tadi adalah Papah gue. Setelah melihat kedua anaknya masuk, Papah langsung melajukan mobilnya meninggalkan area sekolah. Iri? Itulah yang sedang gue rasakan sekarang.
"Ah udah lah."
Gue menghidupkan kembali motor gue dan masuk ke dalam gerbang menuju ke parkiran.
"Hai adik kembar, selamat pagi," ucap Vetta.
"Selamat pagi Kakak," ucap Della beberapa detik setelah Vetta berucap. Gue merasa senang? Enggak. Gue yakin ada sesuatu yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.
"Adik yang terbuang," "Kakak yang terbuang," ucap mereka bersamaan. Benar kan dugaan gue? Mereka sudah merencanakan sesuatu sebelum mereka menyapa gue.
Gue memang terbuang, gak ada yang salah dengan apa yang mereka ucapkan barusan, tapi percayalah hati gue sakit mendengar kata itu. Gue tahu gue terbuang, tapi ketika mereka mengatakan gue terbuang hati gue seolah tak terima akan hal itu, hati gue seperti tersayat.
"Vitt kelas bareng yu," ajak seseorang dari arah belakang.
Gue melirik siapa orang itu, ternyata orang itu adalah Reka. Reka adalah orang yang mempunyai jabatan sebagai kapten kesebelasan futsal SMA Permata. Gue rasa dia suka sama gue, karena semenjak masuk ke kelas 11, dia selalu berusaha untuk bisa dekat gue.
Reka menggandeng tangan gue dan berjalan meninggalkan Della dan Vetta. Mereka berdua melongo bengong ketika melihat kejadian barusan. Siapa sih yang gak bakalan melongo saat most wanted SMA ini gandeng cewek, gue rasa hampir semua siswi SMA ini bakalan bereaksi demikian.
Gue biasanya sering menolak ajakan dia, tapi kali ini gue pasrah gue berjalan ke kelas bareng dia. Gue juga gak mungkin harus tetap di sana untuk mendengar ucapan Della dan Vetta yang begitu menyakitkan bagi hati gue.
Gue berjalan dengan tatapan yang kosong, gue mengingat ulang kejadian tadi. Ternyata menjadi anaka yang terbuang bukanlah yang menyenangkan, terlebih saat lo dipanggil dengan sebutan orang yang terbuang.
"Lo gak papa?" tanya Reka yang berhasil membuyarkan lamunan gue.
"Emang gue kenapa?" tanya balik gue.
"Lo kayak lagi ada masalah," Jawab Reka.
"Jangan so tahu deh!"
"Ekspresi lo beda," Ucap Reka pelan. Reka tahu kalau gue sangat sensitif, makanya dia sedari tadi berbicara dengan hati-hati.
"Sejauh mana lo kenal sama gue, sampai lo bisa bilang kalau ekspresi gue beda?" tanya gue dengan nada yang begitu ketus. Gue kesal atau mungkin gue emosi. Gue gak suka kalau ada di antara mereka ada yang merasa mengetahui banyak hal tentang gue
Dia terdiam sambil menatap gue, "Udah sana pergi!"
"Lo serius gak papa?" tanya dia lagi.
"Emang gue kenapa? Kalau misal lo gak mau pergi biar gue yang pergi." Gue berjalan meninggalkan dia yang sedang menatap gue dengan penuh tanda tanya.
*****
"Are you okay?" tanya orang yang tengah berdiri sambil menatap gue yang sedang duduk termenung.
"Kenapa semua orang nanya gue kenapa? Emang gue kenapa?" Gue kesal, gue benci, gue gak suka saat orang tanya gue kenapa, karena gue sendiri gak tahu kalau gue itu kenapa.
"Nih, gue punya satu permen," ucap dia sambil memberikan satu buah permen chupa chups rasa choco vanilla.
Gue menerima permen yang dia berikan.
"Boleh gue duduk?" tanya dia sopan.
"Nggak!"
"Kenapa?" tanya dia lagi.
"Ren, lo sadar diri gak sih? Lo itu punya jabatan, lo itu wakil ketua osis SMA ini, lo gak pantes duduk bareng sama orang kayak gue, masih banyak orang lain yang lebih pantes lo temenin selain gue." Nada bicara gue semakin tinggi, bahkan mungkin gue sudah membentaknya barusan.
"Itu hanya sekedar jabatan, gue juga bakalan turun dari jabatan itu. Lo pantes, gak ada yang gak pantes. Lo siswi, sama seperti yang lain," ucap dia membela dirinya.
"Pliss Rend pergi!"
"Vitt-"
"Pergi!" Emosi gue keluar. Dia pergi dengan langkah yang ragu, meski akhirnya dia pun melangkah jauh dan meninggalkan gue sendiri di sini.
Kenapa semuanya menanyakan gue baik-baik saja sekarang? Emang gue kenapa? Kalau pun gue gak baik peduli apa mereka?
Gue mengacak-ngacak rambut gue frustrasi. Gue mencoba memejamkan mata gue, gue mencoba menurunkan emosi gue.
*****
Gue tahu kalau pelajaran sudah berlalu sedari tadi bahkan waktu istirahat pun sudah hampir datang.
Banyak siswa dan siswi yang mulai berlalu lalang di sini. Melihat mereka yang bersama-sama membuat hati gue merasa terusik. Mereka asyik bercanda riang dengan teman-temannya, bahkan tak sedikit dari mereka yang tengah asyik merumpi bareng.
Hati gue seperti sedang menatap diri gue, hati gue seolah berkata kenapa gue tidak seperti mereka? Kenapa mereka bersama sedangkan gue sendiri? Entahlah jangan tanyakan terus tentang hal itu, hati gue bertambah sesak.
"Vitt," sapa cowok yang sedang berjalan ke arah gue.
"Kak Dev,"
"Ngapain lo di sini sendirian?" tanya Kak Dev.
Mau di sini atau pun di mana juga gue sendiri Kak.
"Ngadem aja Kak," jawab gue sambil tersenyum.
Ngademin hati maksudnya. Gue meralat kalimat gue, tapi dalam hati.
"Oh, udah makan belum?" tanya dia.
"Gak laper Kak."
Gue memang gak lapar, mungkin lebih tepatnya gue lagi gak mau makan, selera makan gue lagi rendah.
"Oh ya udah." Gue hanya mengangguk.
"Dev, ayok main basket. Kelas sebelah nantangin tuh," teriak Kak Iky temen sekelas Kak Dev.
"Main aja sana, males gue," tolak Kak Dev. Gue tahu kalau alasannya yang sebenarnya bukanlah malas, melainkan karena Kak Dev lagi sama gue.
"Tumben lo?"
"Biasa lagi jagain cewek," jawab Kak Dev sambil tersenyum ke arah gue. Gue tahu kalau dia sebenarnya hanya gombal saja.
"Udah sana Kak, main aja."
"Nggak ah mau di sini aja."
"Sana lah Kak, gue lagi pengen sendiri." Gue mencoba membujuk Kak Dev agar pergi dari sini, karena gue memang ingin sendiri.
"Tapi, lo gak papa gue tinggal?"
"Gak papa lah." Gue menjawab sambil tersenyum, agar dia bisa pergi meninggalkan gue.
Gue udah biasa di tinggal Kak, gue udah terbiasa akan kondisi di tinggalkan.
"Udah sana!"
"Woy tunggu! Gue ikut maen." Kak Dev akhirnya berlari mengejar teman-temannya
Kak Dev, lebih lengkapnya Kak Devian. Kak Devian adalah Kakak kelas gue, dia hadir sudah sejak 4 bulan yang lalu. Dia sudah pernah bilang kalau dia nyaman sama gue, tapi apa gue merasa nyaman sama dia? Jawabannya belum atau mungkin enggak.
Gue belum merasakan kenyamanan saat bersama dengan Kak Dev. Kak Devian itu memiliki wajah yang tampan, baik, bahkan banyak yang suka sama dia, tapi sampai saat ini gue belum punya rasa apa pun sama dia.
Saat biasanya gue akan mengusir orang-orang yang hadir, tapi gue gak bisa melakukan hal itu sama Kak Devian. Sampai saat ini gue masih merespons tindakan Kak Devian. Gue cukup tahu diri, kalau gue harus menyakiti hati seorang Devian Alvano.
Saat tengah berusaha tuk merasakan ketenangan, gue tersadarkan oleh langkah kaki seseorang yang gue yakin semakin mendekat ke arah gue. Gue membuka mata lalu memutar bola mata gue malas, saat gue melihat dia tengah berdiri di hadapan gue.
"Vitta," sapa dia pelan.
Gue tidak menjawab sapaan dia, gue hanya menoleh lalu kembali menatap rumput hijau yang sedang gue injak sekarang.
"Boleh aku duduk?" tanya dia.
Gue tidak menjawab boleh dan tidak juga menjawab tidak. Orang itu duduk di samping gue, dia menatap gue dengan tatapan polosnya. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan Anna, orang yang berstatus sebagai teman sebangku gue, menurut mereka tapi tidak bagi gue! Bagi gue dia hanya orang yang kebetulan duduk bersebelah dengan gue.
"Lagi ngapain?" tanya dia basa-basi.
"Lagi melakukan kegiatan rutin makhluk hidup," jawab gue ketus, dia hanya menatap gue dengan tatapan tak paham.
"Maksudnya?"
"Bernafas." Dia menganggukkan kepalanya mengerti.
"Ke mana aja kamu?" tanya dia dengan nada yang polos, tapi cara dia berbicara menunjukkan kalau dirinya tengah menahan rasa takut akan sesuatu.
"Gak ke mana-mana."
"Kamu kenapa tadi gak masuk?" tanya dia lagi. Jujur gue risih dengan semua pertanyaannya.
"Suka hati gue!" jawab gue yang mulai kesal, dia mengeluarkan banyak pertanyaan yang sangat pasaran.
"Tadi Ibu nanyain ke mana kamu." Dia mulai bercerita dan gue mulai semakin kesal.
"Gue gak peduli."
"Hemm," gumamnya. Gue menggeleng-gelengkan kepala gue serta memutar bola mata gue. Gue mencoba untuk menenangkan diri gue lagi.
"Kelas yuk, bentar lagi masuk nih," ajak dai.
"Kelas aja sendiri!"
"Sama kamu ayok," ucap dia berusaha membujuk gue, dia memegang pergelangan tangan gue.
"Gak!" Gue melepas tangan dia kasar.
"Ayo lah Vitt," bujuk dia lagi.
Jangan buat gue emosi pliss, lo terlalu polos kalau harus kena marah gue. Gue bergumam sendiri sambil menatap dia dengan tatapan yang lumayan tajam, gue tahu kalau nyali dia sudah mulai menciut.
"Pergi sana!"
"Nggak, aku gak bakalan pergi sebelum kamu pergi," ucap dia dengan nada yang masih seperti tadi. Percayalah gue sudah sangat jengkel akan sikapnya.
"Ok! Kalau lo gak pergi biar gue yang pergi," ucap gue sambil beranjak dari tempat semula, kemudian pergi berjalan meninggalkan dia yang sekarang tengah menatap gue dengan tatapan kebingungannya.
Sebenarnya dia itu mau ngapain sih? Udah dijutekin tetep aja menghampiri gue. Gue heran sendiri nanggepinnya.
Gue terus berjalan menyusuri koridor sekolah. Gue lagi malas masuk, lagi pula sekarang gak ada jadwal ulangan, jadi gak papa kalau misal gue gak masuk.
Apa kalian berpikiran dengan banyaknya orang yang hadir di kehidupan gue, gue gak merasa sendiri? Kalau iya, jawaban kalian Salah! Kalian salah besar! Gue tetap merasa sendirian, bahkan kesepian!