Gue sedang duduk di dalam kelas. Sendiri? Enggak! Gue duduk sama siswi yang kutu buku. Tahu kutu buku? Kalau enggak cari tahu saja sendiri , karena gue gak mau menjelaskan hal itu, lagian hal itu sama sekali gak penting buat kalian, terutama buat gue.
Jam pelajaran sudah berganti dan sekarang giliran menunggu guru yang lain masuk. Saat mereka yang ada di kelas memilih untuk bergabung dengan teman-temannya sambil menunggu guru masuk, tapi lain hal dengan gue yang lebih memilih memasang earphone dan mendengarkan musik.
Gue lebih memilih terlarut bersama dengan alunan musik, daripada gue harus ikut bergabung dengan mereka semua.
Gue pernah seperti mereka. Bersama menikmati kebersamaan, tapi saat gue tahu bahwa semua yang berjalan tak sesuai dengan apa yang gue pikirkan, gue lebih memilih tidak melakukan hal itu lagi. Gue lebih memilih untuk merasakan kesendirian.
Gue sudah tak ingin terjebak ke dalam zona itu lagi. Zona yang di maksud adalah zona pertemanan, dulu gue pernah mementingkan yang namanya teman, tapi apa balasan dari mereka? Mereka malah memanfaatkan kebaikan gue dengan seenak mereka.
****
Guru sejarah akhirnya masuk. Gue gak suka akan pelajaran sejarah, karena gue gak suka akan masa lalu. Masa lalu gue sangat kelam dan gak baik untuk di ingat apalagi di hargai. Dengan malasnya gue mendengarkan semua materi yang sedang ia jelaskan, tapi tak sampai 1 jam pelajaran gue sudah sangat bosan.
Gue mengangkat sebelah tangan gue, "Bu, izin ke keluar."
"Silahkan," ucap guru itu. Gue tersenyum lega saat guru itu memberikan gue izin untuk keluar.
Gue beranjak dari tempat duduk gue dan berjalan, saat sebelum keluar kelas "Gak mau di anter sama teman kamu?" tanya guru itu.
"Enggak Bu, sendiri saja." Gue langsung berjalan santai keluar dari kelas.
Di antar? Gue gak mau kalau gue harus mengajak orang lain bolos, karena niat gue bukan ke WC, tapi sengaja untuk keluar. Bukan salah gue kalau gue bolos dan gue juga gak bohong kan sama guru itu? Gue bilang mau keluar dan di kasih izin, berarti guru itu memberikan izin buat gue bolos. Sambil berjalan, gue sekilas tersenyum mengingat kejadian tadi.
Gue berjalan menuju ke Kantin, karena perut gue sudah demo dari tadi. Gue duduk di salah satu kursi yang ada di sana.
"Bu siomay 1 yang pedes gak pakai kentang, sama lemon tea satu."
Setelah makanan dan minuman gue datang, gue langsung makan sampai habis. Selesai makan dan minum gue menyimpan selembar uang berwarna hijau dan kuning di sana. Gue gak biasa jika harus bayar, gue lebih biasa untuk menyimpan uang. Lagian selama gue makan di sini yang punya gak pernah mengomel tantang hal itu apalagi meminta uang karena kurang, itu semua tak pernah terjadi.
Kemudian gue berjalan pergi dari kantin dan berjalan menuju ke tempat yang tak tahu di mana. Kenapa? Karena gak ada tempat yang gue tuju saat ini.
Gue terus berjalan dan tanpa gue sadari gue melewati kelas 11 IPA 1. Pintu ruangan itu tertutup, sepertinya ada guru yang sedang mengajar di sana.
Gue melihat ke dalam sana, karena jendela kelasnya yang gak terlalu tinggi. Entah kenapa gue lebih ingin melihat jelas isi kelas ini, padahal sedari tadi gue melewati banyak kelas dan gue hanya melihat sekilas saja kemudian melanjutkan langkahnya.
Cowok itu ada di sana, dia sedang duduk menatap papan tulis. Keren? Itulah kesan pertama yang terlintas di pikiran gue saat melihatnya. Pandangan gue beralih sejenak dan kembali melihat ke sana.
Ke mana dia? Saat gue melihat kembali ke sana, cowok itu sudah tak ada di tempat semula.
"Gak usah ngintip gak baik." Suara itu terdengar begitu jelas di telinga gue, jujur gue kaget banget saat mendengar suara itu.
Saat gue balik badan ternyata orang itu sudah berjalan menjauh beberapa langkah dari posisi gue berdiri sekarang. Postur tubuh itu? Sama seperti cowok yang tadi sudah mengajak gue pergi saat ketemu sama Della.
Gue masih memperhatikan orang yang tengah berjalan itu. Benar? Cowok itu adalah cowok tadi, karena gaya rambutnya pun persis sama.
Ah, kenapa sih gue ketemu dia terus? Gue kembali melanjutkan langkah gue untuk menuju ke tempat yang gue mau.
5 menit lagi sebenarnya pelajaran akan selesai, tapi karena gue murid yang baik akhirnya gue kembali ke kelas.
"Vitta, habis dari mana kamu kenapa lama banget?" tanya guru sejarah yang masih duduk di meja itu, duduknya sih di kursi.
"Habis dari luar Bu." Gue menjawab dengan penuh kejujuran.
"Sekarang kamu jawab semua soal yang ada di papan tulis!"
Semua? Jawab? Gue saja tidak mengikuti apa yang sudah dia jelaskan tadi.
Gue mengambil spidol yang di berikan oleh Bu Atik itu. Gue menjawab semua soal yang gue tahu jawabannya. Saat gue sudah menjawab 7 soal dan akhirnya bel berbunyi.
Untung belnya bunyi, jadi gue gak perlu jawab tiga soal yang isinya malas banget buat gue tulis, tahukan bagaimana jawaban sejarah? Ya panjang-panjang.
Waktu berlalu begitu saja, sampai akhirnya waktu pulang pun tiba. Gue berjalan menuju ke tempat parkir.
Gue keluar dari area sekolah dan pada saat di depan gerbang, gue melihat ada Della dan juga Vetta yang tengah berbicara dan berhadapan dengan Papahnya, ya Papah gue juga seharusnya.
Melihat mereka yang sedang bercengkerama, sepertinya ada perasaan yang mengganjal di hati gue. Iri? Itulah yang gue rasakan sekarang, karena gue tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang berstatus sebagai Papah.
Sempat melihat sekeliling, ternyata ada begitu banyak siswa yang di jemput oleh orang tuanya. Terharu. Mungkin itulah yang gue rasakan saat ini, karena seingat gue, gue mendapatkan perlakuan ini pada saat gue kelas 5 SD. Semenjak kelas 6-9 gue hanya di jemput oleh driver ojek online, malang banget ya nasib gue?
Saat gue tengah terdiam sambil melihat banyak siswi yang masih dijemput oleh keluarganya, gue melihat dia. Dia? Iya, dia orang yang sama yang sudah dua kali gue temui hari ini. Entahlah, dunia terasa begitu sempit sekarang.
Entah perasaan apa yang membuat gue penasaran akan sosok itu, akhirnya gue mengikuti dia. Dia mengendarai motornya dengan sangat lincah, tapi tak membuat gue kalah darinya.
Gue terus mengikuti alur dia melajukan motornya. Mungkin dia sadar bahwa ada seseorang yang sedang mengikutinya, karena dia semakin menambah kecepatannya.
Saat dia melajukan motornya dengan semakin kencang, membuat gue semakin penasaran akan siapa dia yang sebenarnya. Gue terus menambah kecepatan motor gue dan ya, sialnya gue kehilangan jejak dia.
Dia ke mana? Dalam hati gue bertanya saat ternyata dia sudah tak terlihat oleh pandangan mata gue.
Argh sial.
Kesal? Banget, gue kesal banget sama dia. Akhirnya gue berhenti di sebuah lampu merah. Gue menunggu lampu itu berubah jadi hijau. Menunggu lampu merah jadi hijau itu tak membosankan, karena hal yang lebih membosankan bagi gue adalah menunggu gue kembali di anggap oleh mereka.
Sudah tak mungkin buat gue bisa kembali ke keluarga itu, gue memang bodo amat akan hal yang terjadi pada gue, tapi hati kecil gue tak bisa dibohongi kalau dia masih menginginkan untuk kembali lingkungan keluarga itu.
2 detik sebelum lampu itu berubah jadi hijau, gue mendengar suara motor sekaligus klakson yang berbunyi tepat di samping telinga gue.
Kaget? Itulah yang gue rasakan sekarang. Bukan sebab gue kaget mendengar suara klakson itu, namun gue kaget saat melihat motor yang sudah gue kejar tadi kini muncul dari arah belakang.
Tinnnn.
Suara banyak klakson yang terdengar barusan membuat gue tersadar dari lamunan gue barusan.
Gue kembali ke apartemen rumah gue. Gue masuk dan kemudian melemparkan tas yang semula bertengger di bahu gue ke sembarang arah. Gue merebahkan tubuh gue di sofa. Hari ini terasa begitu melelahkan, entah kenapa yang jelas sangat melelahkan.
*****
Hari sudah malam, bahkan waktu sudah menunjukkan pukul delapan, tapi gue belum ingin untuk tidur. Gue hanya asyik memainkan sebuah game untuk mengisi waktu kosong gue dan berharap agar gue bisa secepatnya mengantuk lalu tertidur.
Usaha gue sia-sia setelah kurang lebih 45 menit gue memainkan sebuah game, tapi rasa mengantuk gue belum juga datang.
Gue mencoba membaringkan tubuh gue di atas kasur dengan santai, berharap akan terlelap dengan sendirinya. Gue asyik menatap langit-langit kamar gue. Beberapa menit gue menatap langit-langit, gue membayangkan sesuatu.
"Kenapa dia yang gue bayangkan?" Entah karena hal apa yang muncul di pikiran gue saat ini adalah dia.
Gue mencoba keluar dari bayangan gue dan berharap sesuatu yang lain muncul di pikiran gue, tapi tetap saja wajah dia yang teringat di pikiran gue.
Gue beralih menatap layar ponsel, gue terus mengusap layar ponsel gue untuk naik turun beranda.
"Arghhhh!" Gue berteriak dengan begitu kencang, karena gue merasa emosi. Gue emosi pada saat gue melihat sebuah feed instagram.
Gue melihat sebuah foto yang menunjukkan semua keluarga gue di masa lalu. Mereka tengah tersenyum bahagia, apalagi orang tua gue yang tampak terlihat bahagia saat memeluk kembaran gue.
"Ahhhh!" Gue berteriak sambil mengacak-ngacak rambut gue. Tak bisa dibohongi kalau gue cemburu atau iri akan hal itu. Hati gue merasa seperti teriris saat melihat mereka semua yang bahagia bersama, tapi gue? Haha sudahlah lupakan.
Gue sudah tak bisa menahan emosi gue, gue berjalan ke arah dapur dan kemudian mengambil sebuah pisau buah yang terletak di atas meja makan. Penyakit gue mungkin kambuh. Gangguan mental? Mungkin itulah yang sedang gue derita sekarang, gue gak tahu jelas.
Gue mulai menggoreskan pisau itu tepat di atas paha kiri milik gue. Paha kiri gue masih mulus, karena belum ada bekas sayatan, tak seperti di paha kanan gue yang sudah terdapat cukup banyak luka sayatan.
Mungkin kebanyakan orang akan merasa ngeri atau takut dan semisalnya saat benda tajam menyayat sebagian tubuhnya, tapi gue? Gue lebih memilih melakukan hal ini dibandingkan gue harus berusaha menahan sakit hati yang gue rasa.
Saat melihat darah segar yang perlahan mulai mengalir, gue langsung berlari ke arah kamar gue dan langsung mematikan lampu kamar. Kejadian itu menjadi kegiatan rutin yang gue pilih saat gue merasa tidak baik. Tidak baik, karena terus mengingat kejadian yang sangat tidak gue sukai.
Gue kini hanya bisa menangis dalam kegelapan. Gue duduk sambil memeluk lutut gue di sudut kamar. Sakit? Perih? Itulah yang gue rasakan sekarang, namun bukan sebab luka sayatan yang telah gue buat, tapi karena hati gue yang tengah merasakan sakit saat mengingat kejadian masa lalu gue.