Pagi ini gue tengah asyik menunggu, menunggu guru pelajaran masuk. Kali ini gue lagi malas buat bolos, jadi guru pelajarannya gak adapun gue masih duduk di kelas. Gue sedang duduk tanpa melakukan kegiatan apa pun, kenapa demikian? Karena tak ada kegiatan yang ingin gue lakukan saat ini.
Bercengkerama dengan teman sebangku? Selama 2 bulan ini gue belum pernah menyapanya, bahkan gue juga belum pernah berkenalan dengannya. Nama? Gue rasa nama dia adalah Anna, karena dia selalu maju ataupun mengacungkan tangannya saat guru memanggil nama Anna.
Cuek? Bodo amat? Itulah yang gue pilih sekarang, karena gue pernah peduli namun kepedulian gue di sia-siakan, contohnya keluarga. Argh! Hati gue sesak saat gue harus mengucapkan atau memikirkan kata yang berkaitan dengan keluarga.
Kalau gue cuek gak mungkin kan teman sebangku gue juga cuek? Gue rasa dia gak cuek yang gue kira mungkin dia takut. Dia takut kalau dia harus berkenalan dengan gue, secara gue yang mempunyai sikap yang jutek, ketus, emosional dan segala hal negatif lainnya yang sering di bicarakan oleh siswi yang lain.
"Boleh aku pinjam buku itu?" suara milik dia akhirnya keluar dan mungkin ini baru pertama kalinya gue dengar dia berbicara sama gue. Ralat, ini baru pertama kalinya dia mau berbicara lagi dengan gue setelah kejadian waktu itu di mana dia bertanya pada saat gue sedang emosi dan mungkin kejadian itu terus terngiang-ngiang di pikirannya.
Gue mengambil buku yang terletak di ujung meja gue dan mungkin buku ini adalah buku yang dia maksud. Gue memberikan buku ini padanya tanpa mengeluarkan satu kata apa pun.
"Peyvitta A.N?" ucap dia saat membuka halaman pertama buku yang sedang ia pegang yang mana tertulis nama gue di sana. Mungkin tujuannya adalah menanyakan singkatan AN yang ada di sana, tapi gue malas untuk menjawabnya dan gue rasa dia hanya basa-basi saja.
Gue sama sekali gak menatap dia, gue hanya menganggukkan kepala gue dengan arti 'iya'.
"Kenalin aku Anna, semoga kita ke depannya bisa menjadi teman yang baik," ucap dia dengan nada yang begitu lembut dan sangat sopan sambil menjulurkan tangannya
Gue baru kali ini mau membalas jabatan tangan seseorang, lagi. "Jangan harap bisa jadi temen gue, apalagi temen baik." Setelah mengucapkan kata itu gue langsung berjalan keluar dari kelas.
Mungkin dia bertanya-tanya kenapa gue berkata seperti itu, yang jelas dia hanya tahu diri gue dari luar dia belum tahu diri gue yang sebenarnya dan gue pikir dia gak bakalan sanggup bertahan lama menjadi teman gue. Lagi pula saat ini gue belum bisa menerima teman baru, karena kenangan gue dengan makhluk Tuhan yang bernama teman cukup tidak baik.
Ucapan gue terlalu kasar? Entahlah gue hanya tidak mau jika nanti dia menyesal telah menjadikan gue sebagai temannya, jadi gue lebih memilih berjalan menjauh. Gue rasa dia orangnya baik, jadi gue gak mau jika dia harus berteman dengan orang yang jahat seperti gue, hehe.
*****
Gudang. Itulah tempat di mana gue berada sekarang. Ralat, bukan gudang. Semua fasilitas yang ada di sini membuat tempat ini tak layak disebut gudang. Di sini lebih bisa di bilang sebagai ruangan untuk mereka yang bersekolah di SMA ini bersantai.
Memang tak mudah untuk bisa sampai ke tempat ini, karena hanya mereka yang tahu password ruangan inilah yang bisa masuk ke ruangan ini, karena ruangan ini mempunyai fasilitas seperti ruangan VIP.
Gak usah tanya kenapa gue bisa masuk, karena gue tahu password ruangan ini. Dari mana gue tahu? Jawabannya dari salah satu orang bodoh yang mencintai gue, dia punya jabatan wakil ketua OSIS di SMA ini, jadi tidak mungkin dia tidak tahu password sebelum masuk ke tempat ini.
Gue menatap kosong ke luar jendela. Menampakkan pemandangan kota yang tengah ramai kendaraan yang membuat jalanan menjadi macet.
"Kalau kamu tak mau keluar dari rumah ini, baiklah biar kami sendiri yang mengusirnya."
"PERGI!"
"Arghh, kenapa kejadian itu terus terngiang-ngiang di otak gue?" Kejadian masa lalu itu terus terngiang-ngiang di otak gue.
Gue melihat ada sebuah cermin kecil di atas meja, gue tersenyum sejenak saat melihat ada sebuah cermin. Gue yang sekarang tengah emosi langsung berjalan mendekat dan kemudian mengambil cermin itu. Tangan kiri gue mengepal sejenak, kemudian tanpa berpikir lama, gue langsung memukul cermin itu.
Cermin itu pecah menjadi beberapa bagian, bahkan tak sedikit sisa kaca yang menempel di punggung jari gue. Serpihan kaca yang menempel ini membuat punggung tangan gue mengeluarkan bercak darah. Rasa perih mulai gue rasakan sekarang.
Gue melihat sisa pecahan kaca itu berserakan di lantai. Gue berjongkok dan kemudian gue mengambil kurang lebih 3 serpihan kaca yang ada di dekat gue. Tangan gue langsung mengepal tanpa aba-aba, beberapa bagian kaca itu kembali pecah di dalam tangan gue.
Gue bisa merasakan kalau serpihan kaca itu menusuk tangan gue, bahkan rasa perih yang tangan gue rasakan sudah meningkat, namun gue masih belum mau untuk membuka genggaman ini.
Darah gue sudah keluar dengan cukup banyak, gue hanya bisa menyeringai saat melihat darah yang keluar dari kepalan tangan gue. Tenang? Itulah yang gue rasakan saat gue sudah berhasil menyalurkan rasa sakit yang tadi hati gue rasakan pada telapak tangan gue..
Pusing? Pening? Itu semua sudah gue rasakan saat darah gue mulai mengalir cukup banyak, bahkan penglihatan gue juga sudah mulai memburam. Merasakan itu semua tak membuat gue ingin membuka kepalan tangan ini. Gue masih ingin membiarkan serpihan kaca-kaca ini menusuk apik di tangan gue.
*****
Di mana gue? Kenapa gue ada di sini?
Gue menatap ke sekitar, gue tahu tempat ini tapi gue tidak tahu siapa yang sudah membawa gue ke tempat ini. Rumah sakit? Di sinilah tempat gue berada, gue tahu kalau ini rumah sakit karena banyak peralatan medis yang tersedia di sini, jadi tidak mungkin kalau gue ada di UKS.
"Mbak, Mbak sudah sadar?" tanya suster yang kemudian berjalan mendekat dan memeriksa kondisi tubuh gue.
"Sus, siapa yang sudah bawa saya ke sini?" tanya gue penasaran, karena gue yakin ada seseorang yang membawa gue ke sini. Gak mungkinkan kalau gue mendadak terbang sendiri ke rumah sakit.
"Oh, kalau itu saya tidak tahu." Mendengar jawabannya gue memutar bola mata gue malas. Gue kira dengan dia bilang oh, dia tahu siapa yang membawa gue ke sini.
"Tapi seseorang yang sudah membawa Mbak ke sini sekarang sedang berada di luar," ucap Suster itu lagi.
"Suruh dia masuk!"
"Baik Mbak." Suster itu mengangguk kemudian menyimpan kembali alat medis yang telah ia gunakan tadi.
Pintu ruangan sepertinya terbuka dan ada seseorang yang sedang melangkahkan kakinya. Gue tidak bisa melihat siapa orang itu, karena posisi pintunya ada di belakang gue.
"Mbak, ini orangnya sudah masuk," ucap Suster itu, padahal dia belum keluar untuk meminta orang yang di luar agar masuk.
Dokter?
Oh ternyata yang suster maksud adalah dia yang di belakang dokter itu, gue kira dokter itu padahal kenal saja enggak masa ia dia sudah bawa gue ke Rumah sakit.
Dia?
Kenapa orang itu lagi? Siapa sebenarnya dia? Pertanyaan itu tengah berputar di otak gue sekarang. Penasaran? Banget, gue penasaran banget siapa dia? Dan kenapa dia begitu peduli sama gue sampai dia mau membawa gue ke Rumah Sakit ini?
"Biar saya cek keadaannya ya," ucap seorang perempuan berpakaian dokter itu.
"Kondisinya sudah baik, kamu boleh pulang sekarang," ucap dokter itu setelah dia selesai memeriksa keadaan tubuh gue.
"Kamu sudah bisa membawanya pulang," ucap seorang dokter itu pada cowok yang entah siapa namanya.
"Makasih Tan," ucap cowok itu.
Tan?
Ah, gue sudah pusing kalau harus menebak siapa dia. Suster dan dokter itu keluar dari ruangan gue, meninggalkan gue berdua bersama orang itu.
"Pulang," ucap dia dengan nada yang teramat begitu datar.
Sebenarnya gue bingung maksud dia apa? Dia mengajak gue, dia bertanya sama gue, atau dia menyuruh gue? Ekspresi dia datar banget dan itu yang membuat gue kebingungan mencerna apa maksud dari satu kata yang sudah dia ucapkan barusan.
Gue harap tebakan gue benar. Gue rasa di mengajak gue pulang, semoga perasaan gue tidak salah. Gue menganggukkan kepala gue. Orang itu melirik ke arah gue dengan tatapan yang entah apa artinya.
Gue beranjak dari ranjang yang sedang gue tempati sekarang. Dia hanya melirik sekilas tanpa mau membantu gue buat bangun atau pun membantu gue buat turun. Untung gue sudah terbiasa sendiri, jadi gue tidak perlu bantuannya.
Setelah gue berhasil turun dari ranjang itu, dia berjalan melangkah keluar tanpa mengajak atau menunggu gue terlebih dahulu. Kesal? Banget, gue kesal sama sikap dia yang begitu beku.
Gue berjalan mengikuti ke mana dia melangkah, sampai di depan rumah sakit.
"Tunggu," ucap dia yang masih mempertahankan nada datar serta ekspresi dinginnya.
Sebelum gue menjawab satu huruf pun dia sudah pergi melangkah. Ke mana dia pergi? Gue sendiri tidak tahu ke mana dia pergi. Gue hanya berdiri di sini dan berharap dia kembali.
Mobil berwarna putih itu berhenti di depan gue. Pintu kaca mobil itu terbuka. Gue bisa melihat orang itu tengah berasa di balik kemudian mobil itu. Dia tak berkata mengajak atau pun menyuruh gue buat masuk, dia hanya menatap gue kemudian kembali menatap ke dalam mobil.
Beri gue kepekaan Ya Tuhan, untuk memahami maksud dari kata yang orang aneh ini ucapkan.
Gue berjalan mendekati mobil itu. Gue membuka pintu belakang mobil itu, namun pintunya terkunci.
"Gue bukan sopir," ucap cowok itu tanpa menatap gue.
Gue mencoba memahami apa yang orang ini maksud. Gue membuka pintu sebelahnya dan berhasil. Gue duduk di sampingnya.
"Lo mau bawa gue ke mana?" tanya gue penasaran.