"Terimakasih, aku tidak mengharapkan apapun, tapi terimakasih karena kau tidak hidup di bawah tekanan Kak Raenal." Giral memeluk tubuh Alfi kencang untuk menjelaskan jika dia menyukai pria deqsa itu saat wanita hampir dewasa itu masih kekanak-kanakan juga.
"Aku tidak tahu kenapa aku selalu memikirkannya. Aku hanya ingin menjadi adik ipar yang baik, dan kau tidak menyesal jika menikah denganku." Giral menghela nafasnya berat, dia menangkup pipinya dengan kedua tangannya. "Maafkan kakakku," ucapnya membuat Alfi menghela nafasnya lega mendengarnya.
"Aku tidak tahu jika mencintaimu akan sesakit ini, tapi aku bemar-benar serius untuk merasakan rasa sakit dari orang-orang disekelilingmu karena aku mencintaimu." Percayalah, Giral yang mendengarnya bahkan merasa sangat bersalah hanya karena ucapan Alfi.
Wanita itu, wanita yang baik dan selalu ada untuknya, membagi perasaan dan rasa tidak nyamannya membuat keduanya merasa sangat nyaman karenanya.
"Kau benar-benar sudah memikirkan hal ini?" tanya Giral kembali memastikan apa yang Alfi katakan untuknya adalah satu hal yang harus dianggap serius.
"Sudah, setelah tiga tahun." Alfi menjawabnya dengan senyum tipis membuat Giral tersenyum tipis mendengarnya.
"Kau yakin?" tanya satu kali lagi Giral pada wanita tersebut, sayangnya Alfi menganggukkan kepalanya tegas dan jelas membuat Giral tersenyum senang. "Aku sangat bahagia."
"Apa kau mendapat gangguan dari Kak Raenal lagi sampai kau berpikir seperti ini? Aku sama sekali tidak memaksamu untuk sempurna, cukup menjadi diri sendiri dan mencintaiku, itu semua sudah sangat cukup." Alfi menganggukkan kepalanya pelan.
"Aku ada masalah, apa kau ingin mendengar masalahku?" tanya Giral pada Alfi membuat wanita itu menganggukkan kepalanya pelan. "Aku juga ingin bicara." Alfi menimpalinya membuat Giral mengandeng wanita itu untuk jalan ke mobil karena mereka memiliki waktu yang lama karena hari ini libur.
Hanya mengumpulkan semua tugas-tugas kemarin dan untuk hari ini, lalu semua mahasiswa dipulangkan untuk beristirahat satu hari sbeelum besok ada aktifitas yang padah besok hari.
"Apa kita akan jalan-jalan, pukul berapa Arra pulang?" tanya Alfi saat dia melirik masih sangat pagi untuk keduanya pergi bersama. "Pukul dua, aku akan menelfonnya nanti."
"Kita tidak memiliki banyak waktu akhir-akhir ini karena aku sangat sibuk untuk skripsiku." Alfi tersenyum, dia menganggukkan kepalanya setuju karena keduanya memang tidak saling berbicara dan mengabari karena saling sibuk kuliah juga.
"Aku merasa kita semakin menjauh, aku sangat takut jika kau akan menyerah karena Kak Raenal, aku tidak bisa melakukan apapun. Aku juga terdesak tuntutan yang membuatku tidak bisa bergerak, percaya padaku Alfi. Ini juga sangat menyakitkan untukmu." Wanita itu menganggukkan kepalanya pelan, dia membalas elusan tangan dari Giral untuknya.
"Aku juga berpikir untuk menyerah awalnya," jawan Alfi membuat Giral menghela nafasnya berat, siapa pun sudah berpikir jika wnaita itu akan menyerah.
Siapapun pasti akan menyerah. Terlebih karena Giral yang terlalu ambisi terhadap nilai, selalu menginginakn sesuatu, dan melupakan sesuatu, dan melupakan hubungan dengan Alfi hanya untuk kepwntingan hidupnya sendiri.
Jarang menghubungi satu sama lain, sama-sama sibuk karena Alfi dituntut untuk pintar. Dan didesak untuk menjadi sempurna oleh Raenal juga hanya karena pria itu adalah kakak laki-laki dari pacarnya.
Terlalu aneh memang, namun itu benar-benar terjadi antara dirinya dengan Alfi. "Kak," panggil Alfi kecil. "Ya?"
"Aku sangat mencintaimu, dengan sangat-sangat menjadi gila. Tapi terkadang aku berpikir untuk tidak melakukannya, tapi aku mencintaimu Kak." Alfi melebih-lebihkan suaranya, membuat Giral tertawa juga karena mendengarnya.
"Kau sangat lucu, Alfi." Keduanya bebricara hal-hal random membuat satu sama lain melupakan apa yang terjadi diantara dirinya dengan Giral juga. "Kak Raenal menelfonku kemarin." Giral menganggukkan kepalanya pelan.
"Untuk apa? Kenapa pria itu menelfonmu saat aku adiknya saja tidak dia telfon. Kau pacarku, kenapa kau menerima panggilan---"
"Dengarkan ceritaku dulu," potong Alfi membuat Giall menjadi terdiam karena ucapannya terpotong dengan mulut yang dibekap menggunakan kedua tangannya. "Baiklah." Giral membuka mulutnya dengan mengelus pelan kedua tangan Alfi dengan halus dan lembut. "Aku akan mendengarkan semuanya, katakan."
Giral menghentikan mobilnya karena keduanya akan berbicara berdua dengan pembicaraan yang serius. "Kak Raenal menelfonku karena merestui hubungan kita." Mata tajam milik Giral yang awalnya sayu dan takut menjadi melebar karena terkejut bukan lain.
"Apa? Tunggu, Kak Raenal?" tanya Giral seperti sedikit mematung karena apa yang dikatakan Alfi membuatnya tidak percaya sama sekali.
"Iya."
"Kak Raenal menelfonku untuk mengatakan jika dia akan menerima apa adanya aku, aku akan menjadi pacarmu dengan nyaman dan dia tidak akan tanggung jawab apdaku dan ikut campur juga. Aku senang mendengarnya," sambungnya lagi membuat Giral benar-benar hampir menangis karena perasaan dan perlakukan buruk Raenal pada Alfi hanya untuk Giral membuat pria itu menjadi semakin melemah.
Awalnya Giral berpikir akan mengakhiri hubungannya dengan Alfo sebelumnya, alasannya masih sama. Karena Raenal terlalu banyak ikut campur, dan Giral tidak ingin membuat Alfi semakin memiliki banyak masalah karenanya.
Giral bukan pria yang akan dengan tahu diri untuk tetap memaksa Alfi untuk bertahan saat dia juga tidak tega untuk mengikatnya.
Rasa sakit dan masalah seakan-akan memaksa mereka untuk bertahan dan juga pergi, pada akbirnya Giral mengatakan pada Alfi untuk memilih salah satu dari dua pilihan itu, saat pada akhirnya Giral lelah, Raenal membuat keputusan besar itu membuat Giral sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran kakak laki-lakinya.
Sekarang Gìral justru semakin gusar, pria itu dengan terang-terangan mengatakan dengan jujur jika dia tidak menyukai bagaimana Raenal melepaskan perhatian padanya karena hanya dengan laki-laki arogan yang ditunjuk Raenal mampu melindungi Arra dari semua bahaya akan semakin menjadi-jadi karena Giral dilepaskan.
"Apa kau tidak senang, Kak?" tanya Alfi menyadari jika Giral sejak tadi terdiam dan melamun dengan apa yang wanita jtu jelaskan atas kesenangan dan kebeeaniannya. "Kau benar-benar yakin jika Kak Raenal memberimu restu dan melepaskan kita untuk membuat hubungan kita berdua saja?" tanya Giral kembali memastikannya satu kali lagi membuat Alfi menganggukkan kepalanya tanpa ragu dan tersenyum manis.
"Aku senang bisa terlepas dari jeratan kakakmu. Bukan karrna aku membencinya, hanya saja cara pria itu mengatur hidupku, membatasi aku untuk bergerak, hampir sebagian membuatku tidak nyaman."
"Setidaknya aku lega sekarang karena aku bebas," sambungnya lagi membuat Giral kembali menelan ludahnya sukar, dia menjadi semakin khawati, kali ini Alfi melihat perubahan wajah pacarnya. "Apa yang kau takutkan?" tanya Alfi.
Giral menghela nafasnya berat, dia menyandarkan tubuhnya pada kursi kemusi lalu terkekeh kecil.
"Masih ada Arra."
"Umurnya masih sangat kecil, dia masih enambelas tahun. Namun sepertinya perempuan itu akan mendapat banyak tekanan dari Kak Raenal. Aku senang kita bebas, tapi hubunganku dengan Kak Raenal semakin buruk." Giral menceritakan setidaknya sedikit pada Alfi karena kekhawatirannya semakin membesar begitu kemarin dan tadi pagi adalah sebuah puncak kemarahan itu terjadi.
"Apa Kak Raenal sudah mulai mengatur percintaan adikmu?" tanya Alfi sedikot terkejut karena semua itu terlalu dini, bahkan baginya itu terlalu cepat untuk dibimbing. "Aku kurang yakin, tapi tanda-tandanya sudah mulai terlihat."
"Kau mengenal Tyo Hermawan, pria arogan, tidak banyak bicara, dingin dan datar itu?" tanya Giral kembali menjelaskan lebih jauh kenapa dirinya dengan Raenal dibuat semakin merenggang hubungannya. "Iya, dia satu semester denganku, ada apa dengannya?"
"Aku tahu jika pria itu selalu memintamu untuk mendapat bimbingan skripsi, jadi ada apa antara Tyo dengan Kak Raenal?" tanya Alfi membuat Giral mengelengkan kepalanya pelan.
"Lalu?"
"Arra sangat lugu dan polos, kami mendidiknya untuk selalu berada di bawah kendali kami, namun saat tidak sengaja satu minggu kemarin aku memiliki pertemuan dengan Tyo, aku menjemput Arra bersamaan dengan Tyo yang sedang bersamaku, mereka berkenalan."
"Ku kira akan sampai pada batas itu, namun Tyo bertemu lagi dengan Arra saat perempuan itu sedang mengurus kafenya."
"Karena Arra pulang larut, Kak Raenal berusaha menjemputnya, lalu dia melihat Tyo dan kakak tingkat Arra seolahnya sedang berdebat. Laki-laki kecil itu menasihati Arra untuk tidak mudah percaya pada orang baru, lalu Tyo yang seakan-akan merasa kenal dengan Arra yang tidak terima karena hal itu."
"Tyo bercanda dengan memegang tangan Arra dan menariknya sedikit, Kak Raenal melihatnya. Karena sampai detik itu juga, Kak Raenal membenci Tyo tanpa alasan."
"Singkatnya laki-laki itu berteman dekat dengan Kak Raenal dan memiliki izin untuk berteman dan mengantar Arra pulang ke rumah. Kak Raenal mengatakan hal itu hanya untuk berdalih jika, laki-laki itu tidak akan melukai Arra. Kevin namanya." Alfi menghela nafasnya berat.
Sebenarnya mendengar bagaimana sikap Raenal yang berlebihan membuat Alfi sedikit geram, terlebih jika Arra yang masih sangat kecil mendapat perlakuan seperti itu.
"Jadi kalian bertengkar secara tidak langsung hanya ingin memperebutkan mengatur hidup Arra?" tanya Alfi tanpa sengaja membuat Giral terkejut mendengar pertanyaan random tersebut untuknya. "Iya, tidak. Tunggu---" Alfi terkekeh kecil mendengarnya.
"Jangan memberi Tyo untuk Arra saat Kak Raenal memberi Kevin." Alfi sedikit mengoreksinya, karena detik itu juga Giral paham.
"Jangan memberi saran pada Arra saat tanpa sengaja kau juga memaksakan apa yang menurutmu benar untuk Arra. Kau akan berakhir sama bagaimana Kak Raenal mengatur hubungan kita, apa kau paham sampai di sini Kak?" tanya Alfi satu kali lagi karena Giral berhasil terdiam total mendengarkannya berbicara.
"Aku tidak bermaksud untuk itu, namun---"
"Jangan memberi alasan saat diwaktu yang sama juga bisa menjadi alasan bagaimana Kak Raenal memperlakukan kita hanya karena respon refleksnya terhadap kau sebagai adiknya." Alfi mengelus tangan Giral memberi sedikit penenangan secara fisik pada Giral.
"Alfi, apa kau sedang memojokkanku sebagaimana Kak Raenal melakukan hal buruk---"
"Batasan dan nasihat akan terlihat sama jika seseorang menyampaikannya secara baik-baik atau tidak kasar. Tapi dari sisi manapun kau berusaha memberinya bantuan, usahakan hanya mengarahkan tanpa memaksa, itu akan membantunya, bukan memaksanya." Giral menelan ludahnya sukar begitu mendengarnya.
"Apa aku terlihat akan menjadi seperti Kak Raenal untuk Arra bagaimana Kak Raenal mengaturku sebelumnya?" tanya Giral pada Alfi untuk mendapatkan jawaban yang jujur untuknya.
"Kalian berdua sebenarnya hampir sama," jawabnya.