Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 28 - Desa Duon

Chapter 28 - Desa Duon

=Ge POV=

"Aku mencium bau asap. Apa mungkin ada pemukiman di dekat sini?" tanya Loudi saat kami dalam perjalanan di dalam hutan.

"Mungkin saja tim lain yang sedang istirahat," sahut Topan.

Digo meletakkan telunjuk pada bibirnya, isyarat agar kami tetap diam dan tenang. Kami berjalan dengan sangat hati-hati agar tidak ketahuan dan dapat melakukan penyerangan.

Sedikit bersembunyi di balik semak, kami mengintip arah asap yang sejak tadi mengganggu penciuman kami. Aroma daging bakar yang sangat khas, membuat perutku gonjang ganjing.

"Apa mereka penduduk desa?" bisik Topan padaku. Aku hanya mampu mengedikkan bahu tanpa suara.

Nampak beberapa rumah saling berderetan dengan rapi. Seperti sebuah desa kecil di tengah hutan, lebih tepatnya desa kurcaci, mungkin?

Aku pernah melihatnya beberapa kali di televisi saat masih anak-anak.

Kami sangat ingin tahu mengenai mereka, tetapi kami pun merasa khawatir kalau-kalau kami malah akan mendapat serangan di sana.

Tungku kayu besar dengan kuali di atasnya sedang memgeluarkan asap banyak, ku rasa itu sedang mendidih. Sementara di sampingnya, ada hewan yang sedang di bakar di atas bara api.

Kami masih mengamatinya karena sangat penasaran.

Seorang pria paruh baya keluar dan membolak balik kelinci guling itu. Sebenarnya aku tidak begitu yakin, tapi hewan itu tampak seperti kelinci. Pria itu menambah beberapa rembah yang berhasil menambah aroma sedap dan menyiksa perut lapar kami.

Selang beberapa waktu, seorang wanita menghampirinya dan mengaduk isi kuali besar yang mendidih. Asapnya kembali mengepul dengan aroma yang tak kalah menyiksa perut. Ku putuskan untuk tidak melanjutkan mengintip.

Saat ku berbalik, aku dikejutkan dengan keberadaan empat pria paruh baya tak ku kenal sedang berdiri tepat di belakang tim kami. Mereka membawa semacam parang juga kayu berukuran besar di masing-masing tangan mereka. Tatapan mata yang tajam membuatku terdiam menelan ludah.

Ku senggol lengan Digo yang tak jauh di sampingku, dia menampik tapi aku segera menariknya agar berbalik. Keempat pria itu memandangi kami dengan seksama, pandangan mata mereka sangat mengintimidasi.

"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya salah satu yang berjanggut tebal. Ku rasa dia lah pemimpin pasukannya.

Baru aku hendak menjawab, Digo telah terlebih dulu menjelaskan kepada mereka kalau kami adala tim dari Anak Anggota yang sedang melakukan tugas terakhir dari pimpinan.

Pria berjanggut tampak mencerna kalimat Digo, tetapi tiga orang yang lain acuh. Suasana diantara kami masih hening untuk beberapa saat. Masing-masing dari kami telah siap menggenggam senjata, saling menjaga jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

"Ayo ikut kami!" suara pria berjanggut sangat berat membuatku sedikit menggidik, suara dan perangainya sangat menakutkan.

Keempat pria itu berjalan mendahului kami sambil sesekali menoleh memastikan kami mengikuti mereka dari belakang.

Aku mendengar Topan berbisik menanyakan tentang siapa keempat pria tadi. Dia juga bertanya-tanya mengapa mereka tidak menarik kami sebagai tawanan dan hanya menggiring langkah pelan kami.

"Ku rasa mereka orang baik," sahut Digo menenangkan kekhawatiran kami.

Sekilas tidak ada yang aneh memang dengan mereka, hanya terlihat kurang merawat diri hingga berpenampilan sedikit lebih kusut dariku saat akhir pekan.

Kami berjalaan menuju sebuah rumah di desa yang tadi intip. Rumah kayu panggung tidak begitu tinggi yang sederhana. Dengan sangat berhati-hati dan tetap waspada, kami memasuki rumah itu satu per satu.

Masi belum ada sikap ataupun tindakan dari mereka yang membuat kami takut selain lirikan dan tatapan tajam mereka.

Pria berjanggut membanting parang di atas meja hingga terdengar dentingan nyaring yang cukup untuk membuat jantungku mencelos. Tiga pria yang lain berjalan masuk ke dalam ruangan yang lain dengan grusak grusuk.

Sementara kami berempat masih berdiri mengamati sekitar dan sesekali saling pandang.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya pria berjanggut itu lagi.

Kami masih diam, belum ada rencana untuk menjawab pertanyaannya.

"Silahkan duduk, istirahatkan tubuh kalian dengan tenang disini. Tidak aka nada yang menemukan dan menyerang kalian," ujarnya lagi sambil duduk dengan mantap di sebuah kursi besar dengan bulu binatang yang tampak sangat asli, atau memang itu asli? Aku tidak begitu yakin.

"Silahkan! Tidak perlu sungkan ataupun takut, aku tidak akan mencelakakan kalian."

Digo menoleh ke kami satu persatu sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di sebuah kursi panjang yang juga berlapis bulu hewan. Terasa sangat tebal dan empuk tetapi tidak begitu nyaman karena bulu hewan ini terasa kasar dan hidup.

"Hijau atau Merah?" pria berjanggut menggulung rokok rempah dan menyalakannya hingga keluar asap memenuhi rongga hidungku.

"Hijau," jawab Digo dengan mantap.

Sedetik setelahnya aku baru memahami kalau pertanyaan tadi adalah asal pasukan kami. Kami adalah Anak Anggota Pasukan Hijau.

Pria itu mengangguk pelan sambil menghisap nyaman rokoknya.

Selang beberapa saat, seorang wanita paruh baya yang tadi berada di depan rumah mengurus kuali, masuk dan membawakan kami suguhan satu nampan besar. Wanita ini tidak begitu asing bagiku setela ku amati dari dekat.

"Kalian pasti telah melalui hari yang melelahkan, kan? Silahkan makan lalu istirahatkan tubuh kalian agar dapat kembali menjalankan tugas," suara wanita itu sangat ramah.

Dia menatapku, memergokiku yang tengah mengamatinya.

"Kenapa? Apa ada yang ingin kamu katakan?" tanya nya membuatku sedikit kaku.

"EH itu, aku hanya merasa pernah bertemu denganmu. Tapi aku tidak begitu yakin kapan dan dimana," sahutku.

"Apa kamu dari daerah Barat?" tanya wanita itu lagi yang hanya ku jawab dengan anggukan pelan.

"Ah ku rasa orang-orang Barat memang sangat mengidolakanku, haha. Mereka selalu mengatakan hal yang sama, seingatku."

"Apa anda pernah bertemu orang Barat sebelumnya?" tanyaku penasaran.

Wanita itu mengiyakan seraya menuangkan minuman merah yang masih berasap. "Dulu hamper setiap tahun selalu ada warga Barat yang dating ke tempat ini. Tapi terakhir mereka dating dua tahun yang lalu, seorang pria petani dan cukup tua."

"Pria tua?"

"Hmm … Ku rasa dia berusia beberapa tahun di atasku," jawabnya singkat. Aku masih memandanginya penasaran hanya bingung hendak memulai pertanyaanku dari mana.

"Dia tersesat. Begitu yang dia katakana pada kami," sahut pria berjanggut menjawab kebingungan wajahku.

"Apa seseorang dari luar wilayah ini dapat tersesat di desa ini?" tanya Loudi yang mulai menikmati jamuan tuan rumah. "Maksudku, ku kira tempat ini di lindungi."

Pria berjanggut menghisap dalam-dalam rokoknya lalu menghembuskan asap tebal dengan aroma rempah yang sangat menyengat.

"Aku tidak tahu. Kami hanya bertugas untuk menjamu siapapun yang telah tersesat di desa tanpa ada kepentingan untuk menanyai mereka tentang apapun," ujar pria itu.

Benar juga pertanyaan Loudi, Ami bahkan tidak dapat menemukan tempat keluar dari tempat ini. Bagaimana bisa orang luar dapat masuk dan tersesat di desa?"

***