=Author's POV=
Masih mendengarkan kisah pak Bano, pak Mada sedikit meraba pergelangan lengan kirinya yang pernah mendapatkan luka sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Jauh lebih lama dibanding luka milik ayahnya Ge, tetapi beliau juga masih dapat merasakan nyerinya hingga kini.
Beliau tidak memberi respon berlebih pada kisah pak Bano, hanya mendengarkan dan menikmatinya sebagai hiburan.
Desa di dalam hutan, pasukan berkuda, pria dengan belati perak yang memiliki tatapan yang sama dengan ketua pasukan berkuda, terbangun di tengah hutan pada saat hari masih terang padahal sebelumnya telah senja. Itulah yang diingat oleh pak Mada dari kisah terbaik pak Bano.
Para pasukan Hijau kembali memberi isyarat kepada petani untuk melanjutkan pekerjaannya. Membersihkan rumput, memberi pupuk terbaik adalah tugas selanjutnya.
Ketua Pasukan Hijau berdiri di tepi kebun dekat dengan kebun pak Mada. Pria itu tidak membawa senjata kali ini, hanya sedang memandang hamparan perkebunan sayur sembari melipat kedua lengannya.
Tatapan matanya yang tajam menyapu seluruh perkebunan, memastikan tidak ada satu petani pun yang bermalasan untuk bekerja.
Jauh, pandangannya terarah pada awan hitam yang bergerak lambat dari arah Timur menuju tempatnya berada kini. Entah apakah kehadiran awan itu akan membuat suasana menjadi lebih baik atau malah akan membawa ketidaknyamanan untuk semua penduduk Distrik.
Netra kecoklatan tak berkedip dengan tulang wajah yang sangat kokoh menampakkan sikap dingin pria yang sering dipanggil ketua Arlan itu. Seolah berteman dengan matahari, dia sama sekali tak gentar walau kulitnya terus terpapar teriknya cahaya yang terasa menyakitkan.
Dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga tidak mendengar saat seorang pria berumur sedang memanggilnya dari jarak yang cukup dekat.
"Permisi ketua Arlan," ucapnya sekali lagi berharap pria berseragam hijau itu menghiraukannya.
Arlan mehela napas dengan kasar, menurunkan kedua tangannya dan hendak berpindah tempat. Tetapi langkahnya terhenti karena menyadari ada seseorang di dekatnya.
"Ada yang dapat ku bantu?" tanya nya dengan suara beratnya yang sudah tak asing di telinga petani itu.
"Jika anda masih menanyakan keadaan putri anda, maka aku tidak akan menjawabnya," ujarnya ketus.
"Aku hanya ingin mengetahui kapan kiranya pelatihan selesai dan dia dapat pulang ke rumah," suara bergetar pak Mada terdengar berani.
"Sudah kubilang, bukan? Semua itu tergantung kemampuan putri anda. Jika dia dapat menyelesaikannya dengan segera, maka dia dapat segera lulus dan mengunjungi keluarganya. Namun jika tidak, dia akan lanjut hingga mencapai tingkatan yang telah ditentukan."
Walau masih dengan tanpa ekspresi dan kasar, gaya berbicara pria berseragam hijau itu sedikit lebih baik dari beberapa waktu sebelumnya. Pak Mada dapat merasakan perubahan sikapnya karena dia cukup sering beriteraksi dengan Arlan belakangan, juga karena ketua pasukan hijau itu tidak membawa senjata yang menambah kesan kasar padanya.
"Apa anda tidak keberatan jika memberikan kabar terbaru tentangnya setiap tujuh hari? Ah aku benar-benar sangat mengkhawatirkannya." Pandangan pak Mada terarah ke perkebunan seraya mehela napas panjang.
"Dia akan baik-baik saja."
Arlan pergi meninggalkan pria tua itu begitu saja. Dia menuju mobil dan mengendarainya untuk kembali berkeliling ke perkebunan yang lain.
Pak Mada mendengkus, dia menerawang jauh memperkirakan hal apa yang terjadi dengan putrinya.
Tadi, adalah ketiga kalinya dia telah menanyai ketua pasukan hijau dengan pertanyaan sama. Hilangnya fasilitas untuk berhubungan jarak jauh dengan ponsel sangat menyusahkan dirinya yang notabennya tidak dapat berjauhan dengan buah hatinya.
Dia kembali ke kebun, berharap hari menjadi segera gelap dan dia dapat mengistirahatkan tubuhnya lalu mendapat kabar mengenai Ami keeseokan harinya.
Sementara itu, ketua pasukan hijau tiba-tiba menghentikan mobil dan memarkirkannya di dekat perkebunan buah dimana para anggotanya sedang melakukan pengangkutan hasil panen yang hendak diangkut ke Gedung Kuning.
Dihirupnya dalam-dalam udara yang hangat, mengembangkan paru-parunya guna mendapatkan udara yang cukup untuk menenangkan diri.
Pening hebat menyerangnya hingga dia memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangannya dengan kuat menahan raa sakitnya. Napasnya tersengal kasar, telinganya mendengung dengan sangat nyaring membuatnya sangat ingin muntah setelahnya. Urat biru pada lehernya menegang bersamaan dengan tarikan napasnya yang semakin tak teratur.
Mata memerah dengan tatapan tajam ke objek apapun di hadapannya. Keadaan yang berlangsung tidak begitu lama, setelah kembali berdengung hingga pening, semuanya kembali normal.
Arlan mehela napas lega, napasnya masih belum teratur tetapi keadaan dirinya sudah semakin membaik. Entah itu telah berapa kali dia alami dalam beberapa hari terakhir, itu bahkan menjadi semakin parah tiap harinya.
Arlan menyandarkan kepala di kursi mobil, dia memandangi langit seraya mengutuk dengan tatapan tajamnya. Kembali diliriknya awan hitam yang masih jauh tetapi semakin menebal, dia hanya mendengkus sesaat sebelum dirinya turun menghapiri anggotanya.
Para anggota sedang menimbang, mencatat dan mengangkuti buah semangka yang kali ini hasil panennya tidak sebagus panen sebelumnya. Rasanya masih manis dan segar, hanya tidak mau besar sehingga jumlah hasil panen tidak begitu imbang.
Arlan menyentuh beberapa untuk mengecek keadaan buah itu. Semuanya tampak baik-baik saja, dia pun telah memerintahkan kepada para petani agar menambah porsi pupuk untuk kedepannya.
"Apa anda baik-baik saja, Ketua?" tegur seorang anggota pasukan hijau yang sedang mencatat bobot hasil panen.
"Hemm …," sahut singkat Arlan dengan anggukan.
"Telingamu berdarah. Ku rasa anda perlu istirahat yang cukup," ujarnya lagi membuat ketua pasukan mengecek cairan yang keluar dari lubang telinganya.
Merah, kental dan lengket. Darah itu hampir membeku.
"Silahkan diminum," anggota bernama Rega itu menyerahkan air mineral kepada ketuanya yang terlihat tidak baik-baik saja.
Arlan mengambil dan meminumnya segera, tenggorokannya benar-benar terasa seperti padang pasir yang terguyur hujan tahunan.
Matanya kembali berkunang untuk beberapa saat hingga dia memutuskan untuk kembali ke mobil untuk beristirahat.
Sudah cukup lama sejak gerhana bulan terakhir dia belum melakukan salah satu kewajiban atas hidupnya. Sebagai salah satu tokoh yang berhubungan dekat dengan pihak elit Negara memang memilki kewajiban yang tidak boleh dilanggar sedikitpun. Hal itu sedikit bertentangan dengan hati kecilnya yang ingin berhenti, tetapi suatu alasan memaksanya untuk tetap terus bertahan.
Disandarkan kepalanya seraya dipijat pelan. Pada lengan kirinya terdapat bekas luka akibat senjata tajam yang mengirisnya lembut. Bekas luka itu terasa nyeri dan berdenyut kasar.
Pria bermata coklat itu hanya memandanginya tak bergeming. Ada dua sisi dalam dirinya yang seolah sedang berdebat mengenai keputusan yang hendak ia ambil selanjutnya. Sesekali ia mengecap sisa air mineral dalam mulutnya yang terasa menyegarkan walau sangat hambar. Terasa sangat nyaman tetapi tidak memberinya kekuatan apapun dalam menjalani kehidupannya yang berat.
Kembali dia membersihkan darah yang keluar dari telinganya, bisikan mengerikan itu sering sekali didengarnya bahkan saat dia sedang terlelap.
***