=Ge POV=
Yang kami butuhkan sekarang adalah istirahat dan strategi yang baik untuk membawa pedang itu ke halaman Gedung Kuning.
Masih dengan tubuh berpeluh, aku kembali memberikan ramuan herbal obat untuk luka bekas sengatan tawon hutan di kaki kiriku. Daun muda pohon Lew menjadi alternatif kami setelah batang mudanya digunakan untuk menghilangkan efek mabuk pada Topan.
Gelang di tanganku kembali bergetar, aku menarik hand band dan melihat peringatan apa kali ini yang ditampilkan untukku.
Dua titik berwarna merah berada di dekatku pada radius yang tidak begitu jauh. Keduanya bergerak semakin mendekat tetapi tidak ada yang mengarah padaku. Aku lega, hal ini membuktikan kalau kedua temanku masih baik-baik saja dan masih kuat untuk melanjutkan tugas.
Tidak lama setelah dua titik merah itu berkedip, terdengar suara ledakan nyaring dari arah hutan paling dalam. Seketika kami waspada dan segera meraih senjata masing-masing. Aku belum dapat berdiri, hanya berusaha tidak merepotkan rekan satu tim ku dengan tetap menggenggam busur beserta anak panah.
Suara ledakan yang ku kira itu adalah bom yang sengaja di ledakkan untuk menghancurkan sesuatu atau mungkin sebuah perkumpulan pasukan lawan, ataupun gudang persenjataan lawan. Tapi, bisa jadi bukan gudang persenjataan tapi entahlah, hutan ini sangat asing bagiku hingga tidak mudah ditebak hal apa yang ada di dalamnya.
Dibantu oleh Digo, aku berjalan perlahan menuju gua yang berjarak cukup jauh. Topan dan Loudi berjalan mengiringi dengan membawa semua perlengkapan kami. Si keriting Loudi mendekap erat pedang emas yang dititipkan Digo padanya, dia sama sekali enggan benda berharga itu tergores apapun.
Suara ledakan kedua kembali terdengar, masih dari arah yang sama. Kami semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap segala sesuatu yang akan kami temui kemudian.
Sekilas kulirik gelangku, layarnya gelap, tidak ada tanda-tada apapun mengenai dua titik merah yang tadi berkedip seirama. Pikiranku langsung berputar tak keruan, dua ledakan nyaring dan hilangnya dua titik merah membuatku sedikit sesak napas.
Keram hebat masih terasa di kaki kiriku, membuat ketiga rekan satu tim mempersilahkanku untuk banyak istirahat.
"Apa kita hanya akan seperti ini? Bersembunyi menunggu situasi aman lalu berjalan menuju Gedung Kuning yang bahkan kita tidak tahu arahnya?" tanya Topan yang sedang memainkan batuan kecil untuk menghilangkan kebosanan.
"Apa kamu mau kita menjemput kematian? Ku rasa di luar sana sedang ada pertarungan hebat dan mereka sedang mencari benda berkilau itu." Digo mengalihkan pandangannya pada pedang emas yang masih dalam dekapan Loudi.
"Tidak. Hanya saja ini terasa membosankan. Aku ingin bertarung untuk mencapai kemenangan, tidak dengan berdiam, menunggu, merebut dan menang."
Kulirik rekanku yang berambut agak panjang itu, tampak sekali dia memang pribadi yang suka berpetualang dan menyukai tantangan. Dia selalu merasa bosan dengan hal yang tidak melibatkan adrenalinnya.
Tuk!
Lemparan batu kecil Topan mengenai sesuatu yang tidak terdengar seperti benturan antar batu. Hal itu sedikit mencuri perhatianku. Sekali lagi dia melempar ke arah yang sama, kali ini jelas batu itu tidak mengenai dinding gua tetapi benda lain yang dapat memantulkan batu kecil itu.
Aku terdiam sejenak, begitupun si pelempar batu.
Suasana gelap dalam gua membuat kami menguatkan insting dan menduga-duga dengan hal yang kami rasakan.
Grrrrrrr โฆ.
Terdengar sangat jelas suara erangan dari dalam gua yang gelap.
Spontan Topan meraih busurnya tetapi ditahan oleh Digo segera.
"Kita tidak tahu berapa banyak kawanannya di dalam sana," bisik ketua tim pada Topan.
Tanpa menghiraukan perkataan Digo, Topan melesatkan satu anak panah ke dalam gua ke arah asal suara erangan.
Terdengar tipis, anak panah itu menancap manis di sesuatu yang berdenyut.
Digo menatap tajam ke arah Topan, dia sangat kesal dengan tindakan sembrono rekan kami itu.
Grrrrrr โฆ
Erangan itu masih terdegar jelas dan menjadi semakin jelas saat kami semua menjadi lebih siaga.
Aku merasakan adanya pergerakan sesuatu yang besar di depan kami, suara erangan itu menjadi semakin berat dan bergetar, berhasil membuat bulu kudukku berdiri teratur.
"Ah Sial! Teman-teman!" Loudi berteriak nyaring membuat kami bertiga segera menoleh ke arahnya, lebih tepatnya ke arah pria keriting itu berteriak.
Sebuah kejutan kembali kami dapatkan dari sekumpulan srigala hutan berukuran besar yang berjumlah puluhan sedang berbaris mengerang bersamaan di depan gua tempat kami bersembunyi.
Liur para karnivor itu berjatuhan, sorot matanya tajam siap untuk menjadikan kami santapan malam mereka.
Untuk sesaat aku lupa dengan suara erangan di dalam gua, kami berempat segera pasang formasi untuk dapat menyerang dan menyelematkan diri dari sekawanan karnivor yang kelaparan.
"Aku sudah memperingatkanmu!" Suara berat Digo terdengar cukup jelas di telingaku, dia sangat kesal dengan Topan.
Perlahan para srigala hutan itu semakin mendekat, tiba-tiba ada satu dari mereka yang menyerang brutal ke arah Topan yang spontan saja membuat kami melawan dengan menebaskaan pedang juga melepas anak panah sekenanya.
Cukup sulit melepas anak panah saat tidak dapat banyak gerak, aku menarik pedangku dan menyerang semampuku.
Digo menggunakan belati perak yang dia dapat dari desa Duon. Benda itu sangat kecil dan tampak tidak layak untuk senjata pertarungan, tetapi ketua timku itu dapat menggunakannya dengan sangat tenang dan nyaman dengan sesekali menendang tubuh hewan karnivor yang terluka hingga terpental jauh.
Digo dan Topan mendapat gigitan pada lengan mereka. Baru kali ini aku melihat keduanya meringis menahan sakit karena suatu hal, karena sebelumnya mereka berdua adalah yang paling kuat di kelas berlatih kami.
Peluh bercucuran, kami kembali siap dengan sosok lain di dalam gua yang terdengar mendekat.
Kumpulan kabut hitam pekat keluar beraturan dari dalam gua membuat suasana malam kami menjadi semakin tidak nyaman. Topan kembali melepas anak panah pada kabut hitam itu yang hanya berhasil menembusnya tanpa bekas.
Kabut hitam keluar dari gua tanpa ada apapun yang mengikutinya, maksudku tidak ada hewan atau makhluk lain yang keluar setelahnya.
Kami saling pandang, pertanyaan dalam kepala kami sama kali ini. Suara erangan siapa? Darimana datangnya kabut hitam itu?
Kami segera bergegas pindah dari gua itu ke tempat lain untuk berlindung malam ini. Kami hanya berharap agar dapat beriistirahat lalu besok hari dapat segera menuju Gedung Kuning dan menemukan kedua temanku yang lain.
Ah benar, apakah mereka masih baik-baik saja?
Ku pandangi langit malam ini yang tak berbintang, hanya birunya malam yang tampak menyiratkan berbagai makna. Wajah ayah terlintas, jelas sekali beliau sedang menungguku untuk membantunya di kebun. Wajah Sam, pria pendiam nan pemikir keras itu tampak ceria tetapi dia membutuhkan teman. Wajah Ami, terlihat semakin kuat dan berani, perempuan mungil itu telah menjadi petarung sejati ku rasa.
***