=Author's POV=
Suasana hening menyelimuti seluruh penjuru kamar gadis berusia 18 tahun itu. Rambut panjangnya diikat tinggi, mengenakan kacamata bulat, duduk fokus di depan komputer, ia terus mengutiknya sambil sesekali menopang dagu dengan tangan yang kirinya.
Beberapa sampah bungkus makanan ringan berserakan di dekat kakinya berteman dengan lembaran kertas yang penuh coretan tak berupa. Dia, Laya, memang memiliki hobi menggambar dan menciptakan tokoh dengan karakter yang ia rancang sendiri.
Sesekali ia membenarkan posisi kacamatanya, tatapannya masih fokus dengan layar besar yang berjarak hanya beberapa puluh centi dari dirinya. Dengan lihainya jemari jemari itu berlarian diatas tuts komputer. Sudah hapal dengan posisi huruf yang ditekan, arah pandangannya sama sekali tidak teralih dari layar.
Ibu telah meneriakinya untuk keluar kamar dan menikmati makan malam bersama, dia hanya mengiyakan sekenanya. Tidak ada rasa bosan, begitulah kegiatannya sehari-hari, hanya di dalam kamar beteman dengan komputer, kertas dan pena.
"Laya, ayo makan bersama ayah!" teriak seorang wanita paruh baya dari luar kamar. Hingga tiga kali beliau mengetuk tetapi sama sekali tidak ada respon dari gadis berambut panjang itu.
Akhirnya ibu membuka pintu kamarnya yang ternyata tidak dikunci. Laya masih tidak bereaksi, dia masih berkutik dengan kesibukannya.
"Apa-apaan ini? Kenapa kamarmu menjadi seperti tempat pembuangan akhir begini? Laya! Apa kamu mendengarkan ibu?"
Seketika putri bungsunya itu berbalik memandanginya tanpa reaksi.
"Rapikan kamarmu! Lalu keluarlah untuk makan malam!" suara ibu masih tinggi lengkap dengan wajah beliau yang memerah menahan amarahnya.
"Ah-aku masih harus menyelesaikannya sedikit. Jika sudah selesai aku akan menyusul ke meja makan," sahutnya seraya membenarkan kacamatanya.
"Ckckck pantas saja Ami sering mengomel, ternyata memang sangat berantakan ya kamarmu ini. Cepat selesaikan kesibukanmu, lalu rapikan ini semua. Anak perempuan tidak seharusnya memiliki ruangan yang menjijikan seperti ini!"
Ibu keluar masih mengomel tanpa menutup kembali pintu kamar Laya.
Gadis itu hanya mendengkus dan mengangkat kedua alisnya lalu kembali menghadapi layar besar. Dia sedang menuliskan sebuah kisah pada layar putih. Huruf per huruf diketiknya dengan sangat apik hingga menjadi rangkaian kata yang mengandung makna.
Semua peralatan yang pernah ia pakai untuk sekolah masih dapat digunakan dengan baik. Semenjak jaringan internet diputus oleh pemerintah, tidak ada lagi orang yang memintanya untuk membantu pekerjaan mereka sehingga dia dapat fokus menekuni hobi yang ia harap dapat memberikan hasil untuk membantu ekonomi keluarga.
Ting!
Diliriknya sekilas angka satu yang muncul di ujung kanan bawah layar komputernya. Tidak dia hiraukan, dia hanya terus mengetik dan segera makan malam karena perutnya telah bergenderang.
Ayah baru pulang saat matahari tenggelam, saat hujan abu hitam kembali turun menyelimuti seluruh Distrik. Hari yang gelap menjadi semakin gelap dengan suhu udara yang masih saja hangat seperti siang.
Setelah membersihkan diri, ayah menuju meja makan dimana ada ibu yang sedang menyiapkan semuanya. Beliau menceritakan kepada ibu mengenai percakapan singkatnya dengan ketua pasukan hijau.
Ibu tidak banyak berekspresi. Wanita itu hanya mehala napas, masih sedikit kesal dengan kepergian putrinya yang tanpa ijin. Menurut info dari putri bungsunya, Ami pergi dijemput oleh anak pak Bano dan sepupunya. Mereka seperti bergegas tetapi tidak mengatakan apapun mengenai tujuan mereka.
Ibu juga terkejut saat ketua pasukan hijau memberitahunya kalau putri mereka sedang menjadi salah satu murid pelatihan untuk menjadi tim pasukan keamanan Gedung Kuning di bawah naungan para pasukan hijau.
Sudah cukup lama mereka tidak membiarkan Ami terlibat dalam kegiatan yang terdapat unsur kekerasan di dalamnya setelah terakhir putrinya itu mengalami masalah saat melakukan demo menolak peraturan pemerintah yang dianggapnya tidak adil untuk rakyat kecil saat dia masih kuliah dulu. Ami beserta beberapa temannya ditangkap oleh pihak berwajib dan menjadi tersangka provokator, padahal dia hanya menjadi pasukan belakang. Setidaknya begitu pengakuan Ami saat dibebaskan oleh pihak kepolisian karena adanya jaminan dari kakak iparnya yang tak lain adalah suami Levi yang merupakan anggota pemerintahan di Gedung Kuning.
Walau kecewa dengan keberangkatan Ami ke tempat latihan tanpa seijin mereka, tetapi mereka merasa sedikit lega karena ketua pasukan hijau menjadi sosok yang sedikit lebih lembut hingga dapat diajak berbincang walau jawaban yang diberikan hanya seadanya.
"Ya ampun Laya coba lihat dirimu, pucat dan mengerikan. Sering-seringlah keluar dan terkena matahari agar tubuhmu tetap sehat," ujar ayah menegur putri bungsu yang menyusulnya di meja makan.
"Aku tidak ada kepentingan di luar, itu hanya akan membuang waktuku yang berharga," sahutnya singkat.
"Besok ikutlah dengan ayah ke kebun, tubuhmu harus ada bergerak walau tidak setiap hari."
Laya cemberut, dia mengaut nasi dengan tidak semangat.
"Bantu mengantar barang ke Timur," sambung ayah.
Seketika saja Laya memicing tak suka. Jangankan daerah Timur, daerah Distriknya saja dia tidak hapal, bagaimana bisa dia pergi megantar barang dagangan itu.
"Aku akan membantu merapikan rumah," jawabnya sambil menyuap makan malamnya.
"Merapikan rumah itu jauh lebih berat dari pekerjaan di kebun," ibu mulai ikut bersuara. "Kamu harus menyapu, mengepel, merapikan dapur, memasak juga sekaligus membereskan perabotan yang telah dipakai untuk memasak. Memastikan seluruh penjuru ruangan bersih tak berdebu."
Laya mehela napas, ia tampak menekuk wajahnya kesal.
"Ih aku harus menggambar dan mengetik. Jika aku melakukan semuanya, aku tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan hobiku."
"Itu pilihanmu," kata ibu sengaja memotong kalimatnya. "Kami sudah sepakat untuk tidak memberikan uang jajan juga makan secara gratis jika kamu tidak membantu pekerjaan. Kamu bisa pergi ke rumah paman jika mau. Atau harus bekerja."
"Aku sudah bekerja!"
Ayah dan ibu memandangi putri sulungnya bersamaan.
"Maksudku, aku bekerja dengan hobiku. Jika ada seseorang yang menyukainya aku dapat menjualnya dan mendapatkan uang."
Ibu menggeleng, "Tetap harus ke kebun!"
"Ibu!" Laya mengeluh dengan mengernyitkan dahinya.
Ayah hanya tertawa kecil melihatnya. Putri sulungnya itu memang tidak pernah sama sekali keluar rumah kecuali saat dia sedang ada keperluan, misal memetik sayur untuk makan siang ataupun memetik buah strawberry yang berada di pot di depan kamarnya hanya saja tidak dapat diraih dari dalam kamar.
Suara gemuruh samar mulai terdengar menjadi latar suara momen makan malam kali ini. Heningnya malam membuat suasana sedikit mencekam, terlebih di luar tidak Nampak cahaya sedikitpun karena abu hitam benar-benar telah menutupi semuanya.
Hawa hangat membuat pak Mada menyalakan kipas angin guna menghilangkan udara yang tidak mengenakan itu. Laya membuat minuman dingin pada gelas besar yang akan dia gunakan sebagai teman selama berkutik dengan komputer. Sementara ibu, beliau sedang menikmati buah semangka hasil panen kebunnya.
Untuk sesaat tidak ada masalah dengan malam ini, hanya saja suasana gelap sangat tidak sesuai dengan waktu yang masih menunjukkan pukul 8 malam.
***