Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 30 - Pedang Emas Pertama

Chapter 30 - Pedang Emas Pertama

=Ge POV=

Kami kembali mendengar suara percakapan dari kejauhan. Asap tipis mengepul di udara dengan membawa aroma khas kayu basah yang di bakar.

Loudi menurunkan tubuh Topan dan merebahkannya di atas akar pohon berukuran sedang. Aku mengikuti Digo yang mengintai dari balik semak.

Disana, beberapa meter di depan kami jelas terlihat satu tim dari kelompok A, kelompok yang sebelumnya pernah berlatih bersama kami di arena berkuda. Mereka ada empat orang sama seperti kami tetapi aku tidak mengenali nama mereka.

Mereka tampak sedang berdiskusi tentang sesuatu seraya mengobati bekas luka akibat perkelahian. Aku sangat yakin kalau mereka adalah pemenangnya, karena mereka masih dapat duduk nyaman sambil sesekali bergurau.

Aku berbalik hendak beristirahat di dekat Loudi tetapi terhenti karena Digo bergumam kagum atas sesuatu. Kembali ku intip tim lawan dari balik semak, ku amati dan mencari-cari apa kiranya hal yang membuat ketua timku terkagum.

"Kita harus merebutnya," bisik Digo dengan jelas.

Sedikit ku sipitkan mataku mengatur fokus lensa mata yang telah banyak terkena radiasi teknologi ini. Tepat di dekat salah satu anggota yang tergeletak, ada sesuatu yang berkilauan terkena cahaya matahari senja.

Tidak begitu jelas, hingga akhirnya salah satunya lagi mengambil dan membungkusnya dengan kain panjang potongan bekas bendera lawas. Benda itu adalah pedang panjang berwarna emas yang benar-benar indah. Walau tidak jelas motifnya, kilauannya sangat meyakinkanku kalau benda itu memang layak untuk diperebutkan agar menjadi juara.

Brukk!!

Terdengar benturan cukup nyaring di belakang kami, segera saja aku berbalik badan dan menyaksikan perkelahian antara Loudi dan seekor babi hutan berukuran sangat besar.

Spontan ku siapkan busur dan menembakkan anak panah pada hewan liar itu. Tepat mengena lehernya, hewan besar itu semakin mengamuk menjadi-jadi membuat kami ribut dan nyaris saja diketahui oleh tim lawan.

Digo menyerang babi itu denan pedangnya, beruntung dia berhasil menyabetkannya dan membunuh babi itu dengan darah segar mengalir di senjata tajamnya.

Ku bantu Loudi untuk berdiri, dia bilang dadanya nyeri karena mendapat sundulan manis dari monster berlemak jenuh. Sangat sulit memang jika dalam keadaan sedang menjaga teman, lalu mendapt serangan. Loudi bergumam agak kesal karena aku dan Digo sama sekali tidak mempedulikan mereka berdua.

Digo memukul pelan wajah Topan yang masih tak sadarkan diri, dia juga memercikkan air minum di area mata agar pria itu terbangun dari mabuk beratnya. Kami harus sedikit bersembunyi sambil terus mengawasi tim lawan.

Digo bilang, ada kemungkinan mereka masih akan beristirahat cukup lama sehingga kami harus menunggu lengah dari mereka agar dapat mencuri benda berkilauan tadi.

Kami tidak dapat mengandalkan kemampuan Topan di saat yang seperti ini, tetapi kami juga tidak dapat meninggalkannya begitu saja saat melakukan penyerangan.

Loudi memotong batang muda pohon Lew yang tumbuh di dekat tempat kami. Dia segera memberikannya pada Topan dan menyuruhnya untuk memakan batang kayu itu. Aku pernah mendengar jika batang muda pohon jenis ubi ini memiliki manfaat untuk menyembuhkan, tetapi ku kira itu harus di olah dulu tidak langsung dikonsumsi seperti ini.

Masih belum sadar sepenuhnya, Topan memakan batang muda itu dengan sesekali minum air bekal kami.

Ku rebahkan tubuhku sejenak untuk meluruskan tulang belakangku. Betapa terkejutnya aku ketika melihat sebuah sarang tawon hutan yang berukuran sangat besar bergantung tepat di atas tubuhku. Aku yakin itu lebih dari besar kepalaku. Suara penghuninya bahkan terdengar mendengung dengan jelas, aku hingga menggidik.

Aku menoleh ke Loudi, dia ternyata juga memperhatikan objek yang sama denganku. Kami mempertimbangkan betapa sakitnya jika disengat oleh makhluk paling mematikan di alam bebas itu. Hanya dengan disengat oleh satu ekor, badan dapat langsung panas dingin dan bengkak serta tempat sengatannya akan menjadi luka bakar yang melepuh.

Kami bersamaan menoleh ke Topan, pria yang pandai memanjat itu masih sangat sayu dan belum sepenuhnya bernyawa.

"Kita panah saja biar terjatuh," saran Digo yang membuatku dan Loudi mengernyitkan dahi tak suka.

"Kita bersembunyi, kita pancing agar mereka terbang ke arah tim lawan itu," tambahnya.

Kami membutuhkan bunga yang wangi dan benda lain yang menarik perhatian tawon hutan untuk menjalankan misi ini.

Loudi segera pergi memetik bunga-bunga tanaman liar yang bermekaran dengan aroma yang beraneka. Aku sedang memperhitungkan arah bidikan panah yang tepat, sementara Digo siap dengan tendangannya yang akan mengarahkan sarang itu terlempar ke tim lawan.

Dengan mengenakan tudung serta membungkus penuh tubuhnya, Digo memberikan aba-aba padaku untuk memanah tepat di bonggol agar sarang terjatuh sempurna.

Bunga-bunga telah siap di lemparkan oleh Loudi agar mengarah ke tim lawan. Cukup jauh, sehingga dia harus mengikatnya dengan sebuah batu agar dapat menjangkau sasaran.

Ku helakan napas panjang, ku siapkan sebuah anak panah yang sebelumnya telah ku bisiki kalimat penyemangat. Hanya dengan sekali panah, aku berhasil melepaskan hubungan antara sarang dengan ranting besar pohon. Dengan keahliannya bermain bola, ketua timku menendangnya sekuat tenaga hingga sarang itu terpental menembus semak hingga mendarat tepat di dekat tim lawan yang sedang beristirahat.

Loudi telah melemparkan bunganya bersamaan dengan Digo menendang. Kedua benda itu mendarat dengan sempurna.

Tidak ada reaksi dan pergerakan apapun dari tim lawan. Mereka hanya bangkit dari tempat duduk masing-masing dan menyumpah serampah pada pelaku yang mengiriminya hal tidak penting.

Kami berempat segera berlindung di bawah pohon agar tidak diketahui sebagai pelaku.

Tak lama setelah meneriakkan kalimat sarampah, kami kembali mendengar mereka berteriak dan kebingungan melawan ribuan tawon hutan dengan sengatan mematikan.

Kami tetap diam di tempat tanpa bergeming, khawatir kalau tawon itu mengetahui keberadaan kami dan menyerang berbalik. Aku sedikit mengintip untuk melihat keadaan terbaru tim lawan.

Mereka semua sibuk dengan pedang dan berteriak seperti sedang melawan pasukan berkuda. Dua diantara mereka telah terjatuh, ku rasa mereka telah banyak terkena sengatan.

Kami segera pergi mengambil jalan sedikit memutar untuk mendekati posisi lawan dari arah yang berlawanan. Cukup sulit, aku mengenakan tudung dan bergegas menghampiri benda yang terbungkus kain berwarna keabuan itu.

Kurang beruntung, salah satu dari mereka yang telah tergeletak menarik kakiku hingga aku jatuh tersungkur. Satu anggota yang masih mampu berdiri segera menghampiriku untuk menyerang tetapi Digo muncul dari balik semak dan membantuku.

Kami melakukan perkelahia dua lawan dua dengan senjata lengkap. Dua tim lawan sudah mulai berpeluh menahan sakit akibat sengatan tawon yang bertubi-tubi. Aku dan Digo hanya menyerangnya dengan tendangan dan pukulan keras agar mereka tak sadarkan diri dan tidak lagi menyerang kami.

Sebelum pergi, aku masih sempat mencuri sebagian makanan bekal mereka. Perutku mulai bergejolak karena hari sudah berangsur gelap.

Ku peluk erat seluruh barang jarahanku dan ku bawa menuju tempat bersembunyi kami.

Digo mengambil pedang emas dari tanganku, segera dibukanya untuk melihat kilau dan motif benda berharga itu.

Sarungnya bermotif dua naga dengan salah satu naganya tidak memiliki tanduk. Kilaunya benar-benar memukau, sangat tajam. Digo mencobanya untuk memotong dahan kecil di dekat kami, benar-benar mulus dan tidak berbunyi sedikitpun saat melukai dahan itu.

Pandangannya seketika terarah padaku dengan ekspresi berubah. Dia menyentuh kaki kiriku yang mulai keram hebat.

"Ini harus segera diobati," ujarnya seraya menarik sedikit celana panjangku.

Tampak bekas luka bakar yang melepuh di balik celana yang masih sangat utuh. Pantas saja, tubuhku terasa sangat meriang setelah berlari mengambil pedang itu.

***