Chapter 29 - Lewine

=Ge POV=

Ku minum minuman merah yang masih hangat di gelas mungil.

Ekkhhh … Aku cukup terkejut dengan rasanya. Sangat kental dan terasa licin di tenggorokan, tidak sesuai dengan aromanya yang sangat harum dan manis.

Ku lirik teman satu tim ku yang begitu santai meminumnya bahkan hingga tambah untuk teman makan daging kelinci guling.

"Kamu tidak biasa meminum alkohol?" tanya bu Duon, wanita paruh baya yang menjamu kami.

"Apa ini alkohol?" tanyaku terkekeh, ini bahkan terasa seperti minyak yang diberi pewangi sebagai aromanya.

"Itu adalah Lewine terbaik di desa kami, kadar alkoholnya sangat tinggi hingga wajar saja kalau kamu terkejut dengan rasanya," tambah pak Duon, pria berjanggut tebal.

"Tapi ini lebih baik dari yang di Asrama. Kalian tau, aku bahkan hanya meminum satu gelas besar karena rasanya tidak begitu cocok dengan lidahku," ujar Topan seraya kembali menuangkan minuman itu ke dalam gelasnya.

"Tentu saja sangat enak, kami mencampurnya dengan darah kelinci muda yang masih sangat segar!" seorang pria lain keluar dari arah dapur rumah dengan membawa lima botol minuman dengan di peluknya.

Sontak saja, aku bersama tim melengoh dan saling pandang setelah mendengar perkataan pria itu.

"Ku rasa, pihak Asrama kalian tidak menggunakan bahan terbaik sehingga rasanya pun tidak baik. Mereka menggunakan bahan apa?" tanya pria yang berbadan gempal itu.

"Getah pohon Lew, Kuhe dan Gubu. Ku rasa," jawabku sambil kembali mengingat perkataan Anthony saat kami berada di ruang makan.

"Hanya itu?"

Aku mengangguk ragu, "Kami tidak pernah terlibat dengan pembuatannya, jadi kami tidak begitu tahu."

Ku lihat Topan masih terus menuangkan minuman merah itu pada gelasnya. Sementara aku, Digo dan Loudi hanya memandanginya dengan sesekali menelan ludah bersamaan. Entah, tapi ku rasa kami bertiga sudah tidak lagi berminat dengan minuman itu.

"Minumlah ini. Ini hanya air rempah untuk menghangatkan tubuh tanpa campuran apapun," bu Duon memberi kami satu teko minuman rempah yang masih hangat.

Aku menuangnya dan mulai mengecap rasa yang dapat di terima oleh lidahku.

Pria betubuh gempal masih terus membicarakan mengenai olahan Lewine miliknya yang banyak di gemari oleh warga desa dan orang-orang yang mampir ataupun tersesat.

Dia mengaku namanya Tondum, jika aku tidak salah dengar. Aku yakin semasa mudanya dia adalah penikmat alkohol yang benar-benar memahami kandungannya sehingga dapat mengolah minuman itu dengan ingatan rasa yang pernah dia teguk. Dia pun memiliki perawakan yang ku rasa dulunya adalah proporsional, hanya kini telah berubah menjadi tua dan gempal.

Aku tidak begitu menanggapi kisahnya, aku hanya mengkhawatirkan keadaan Topan yang wajahnya mulai memerah bahkan matanya berair. Saat tubuhnya mulai lemas, segera aku bangkit dan menghampirinya untuk membawanya keluar.

Aku memintanya untuk memuntahkan semuanya, tapi dia tidak dapat lagi bergerak selain senyum dan menyeringai. Ah dia memang payah!

Saat masih menemani Topan yang sedang berjongkok di dekat pohon besar, aku melihat Digo sedang menghampiri kuali besar yang masih berada di dekat tungku dan bara yang menyala sementara Loudi mengemasi busur, anak panah dan pedang milikku dan Topan.

"Apa aku boleh menukarnya dengan pedangku?" terdengar suara Digo, segera ku tolehnya dari jarak agak jauh.

Ketua tim ku itu sedang bernego untuk menukar pedangnya dengan sebuah belati perak milik pasangan Duon.

Sepasang suami istri itu tidak menginginkannya, mereka bilang itu adalah hadiah dari seorang tamu beberapa tahun yang lalu. Seorang tamu yang berperan penting karena melindungi desa dari serangan pasukan berkuda yang hendak memporak porandakan desa.

Digo tampak sangat kukuh ingin menukarnya, entah apa yang sedang dia pikirkan. Sambil memijat pelan tengkuk Topan, aku masih mengamati ketua timku itu.

Tubuh Topan terkulai lemas setelah dia mengeluarkan sebagian isi perutnya. Argghh merepotkan memang, tapi beruntung tubuhnya tidak begitu berat sehingga tidak begitu membebaniku saat membantunya berjalan.

Digo dan Loudi menghampiriku dan Topan, mereka mengajak kami untuk melanjutkan pencarian pedang emas. Sekilas ku melihat pria berdarah dingin itu berhasil membawa belati perak milik keluara Duon.

Aku menolah ke arah rumah yang tadi menjamu kami, tampak sepi. Hanya asap sisa bara api di halaman depan yang mengepul sebagai tand adanya kehidupan di sekitarnya.

Tujuan kami kali ini tengah hutan. Setelah penyerangan pasukan bertudung tadi, kami menjadi semakin yakin kalau telah banyak tim yang berguguran, semakin menyempit tempat persembunyian, maka tengah hutan adalah pilihan erbaik karena jauh lebih aman disbanding pesisir pantai.

Aku dan Loudi bergantian membantu Topan berjalan. Aku kembali menggendong tas kecilku yang berisi perlengkapan pribadi yang sangat berharga.

Berhenti sejenak, Loudi memutuskan untuk menggendong tubuh Topan yang lebih kurus dibanding dirinya. Dengan sedikit menggerutu, pria keriting itu melangkahkan kakinya agak berat di belakangku dan Digo.

"Bisa-bisanya dia meminum banyak sekali minuman mengerikan itu, Arrghh" Loudi mengomel.

"Dia memang pemakan segalanya, kamu tahu? Dia bahkan pernah mengatakan kalau dia bisa memakan ulat pohon sagu hidup-hidup," sahut Digo yang tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan.

Ekkkhhh … Hanya dengan membayangkannya saja perutku sudah bergejolak.

Sedikit ku lirik tubuh lemas Topan yang tidak tampak sehat. Wajahnya benar-benar merah dan menyedihkan.

Pandanganku kembali teralih pada belati perak yang terselip di dekat pinggang Digo. Seketika aku mengingat jelas wajah para penduduk desa yang sangat ramah dan apa adanya.

Mereka bahkan mengenal Pasukan Hijau, aku yakin mereka tahu banyak tentang tempat ini hanya tidak mau mengatakannya karena kami pun tidak menanyainya. Kali ini aku menyesali kepolosanku, seharusnya aku dapat memaksimalkan waktu di desa tadi untuk menemukan fakta yang mungkin akan membantuku di kemudian hari.

"Dulu hampir setiap tahun selalu ada warga Barat yang datang ke tempat ini. Tapi terakhir mereka datang dua tahun yang lalu, seorang pria petani dan cukup tua."

Aku menduga-duga siapa kiranya pria tua itu, lalu bagaimana bisa dia tersesat di desa Duon, dan bagaimana caranya dia kembali ke tempat asalnya?

"Tentu saja sangat enak, kami mencampurnya dengan darah kelinci muda yang masih sangat segar!"

Seketika aku menggidik teringat kalimat pria gempal tadi. Aku tidak habis pikir kalau mereka benar-benar mencampurkan darah untuk minuman itu.

"Ekkhh …" tanpa sadar aku menggidik dan menelan ludan.

Sektika Digo menolehku dengan heran. Aku menjelaskan rasa geliku terhadap minuman yang tadi sempat menyapa tenggorok dengan tenang. Aromanya yang sangat menggiurkan membuat anganku membayangkan sesuatu yang sungguh menenangkan. Tapi itu ternyata kejutan, benar-benar di luar dugaan. Air liurku seketika terasa hambar.

"Argh kamu membuatku merinding karena membahasnya. Setelah pria tadi menyebutkan tentang darah kelinci, otakku secara spontan memikirkan bahwa minuman darah di asrama juga menggunakan campuran tak masuk akal," sambung Digo yang dari ekspresinya terlihat membayangkan hal yang membuatnya geli.

"Apa kamu merasa minuman di asrama itu enak?" tanya nya padaku yang langsung ku jawab 'tidak'. Tidak ku sangka ternyata tidak hanya aku, Ami dan Sam yang tidak menyukai minuman beralkohol itu.

"Aku bahkan tidak dapat merasakan apapun saat meneguknya. Sangat hambar, hanya terasa sedikit licin di tenggorokan. Aneh sekali sangat banyak orang yang sampai mabuk berat karenanya," ujar Digo seraya mengecap membayangkan rasanya.

***