Chapter 29 - Kantor Pajak

Setelah bersusah payah untuk mencoba tidur dan melupakan bayang – bayang ayahnya dan masalah yang berkecamuk di benaknya semalam, keesokan harinya Lisa berangkat dengan tubuh yang lesu menuju kantor pajak untuk menunaikan tugasnya: membayar denda pajak rumah.

Hari ini Lisa meminta izin untuk sedikit terlambat ke kantor demi menyelesaikan satu dari sekian banyak masalah hidupnya. Lisa tidak sempat mandi pagi ini. Ia hanya mengenakan parfum sebanyak yang ia bisa guna menutupi aroma tak sedap yang menempel di tubuhnya. Rambutnya hanya diikat ke belakang dengan seadanya, membuat beberapa helai rambut menjuntai dengan tidak elok di bahunya. Ia nampak seperti seorang gelandangan setidaknya menurut standar kerapihan Lisa.

Sebelum Lisa memesan ojek daring, Ibunya berpesan untuk segera mencari info soal hunian baru. Rencana ibu untuk menjual rumah terkutuknya tidak main – main. Sebuah kenyataan pahit bawasannya mereka tidak mampu bertahan hidup dengan gaji yang Lisa dapatkan. Salah satu dari kemewahan yang merka punya terpaksa harus dikorbankan.

Sekitar satu jam perjalanan dari rumahnya, sampailah Lisa di Kantor Pajak. Layaknya kantor pajak pada umumnya, bangunan tersebut nampak sangat ketinggalan zaman. Perabot – perabotnya banyak yang tidak terawat. Meski sebagian dari eksterior gedung itu dipugar, masih saja ada sisa – sisa gaya desain yang tidak modern.

Antrian loket pagi itu lumayan ramai. Lisa mengambil nomor antrian di mesin antrian otomatis di dekat pintu masuk. Setelah itu mencari tempat duduk kosong dekat loket pembayaran.

Sambil menunggu gilirannya untuk dipanggil, sekali – kali Lisa menatap lurus ke arah jam yang ada di tengah ruangan. Jam itu berdetak dengan konstan. Rasanya menunggu antrian di kantor pajak sangat membosankan. Bisa jadi Lisa absen lagi dari pekerjaannya jika hingga pukul 12 siang nanti antrian belum juga mereda!

Lama duduk di kursi tunggu yang sangat tidak nyaman itu, tiba – tiba sosok seorang pria paruh baya dengan pipi tirus dan penampilan yang tidak terawat muncul di benak Lisa. Sosok itu berkecamuk sedari kemarin. Sosok sang ayah yang tega meninggalkan Lisa dan keluarganya sendirian. Lisa masih belum bisa memaafkan ayahnya yang masih sering mengganggu ibunya itu. Meskipun kini sudah menikah dengan wanita berduit, entah mengapa pria brengsek itu masih saja berkunjung hanya untuk sekedar menyakiti Ibunya ketika Lisa sedang tidak di rumah.

Lisa menggenggam kertas nomor antrian dengan erat, ia meluapkan kemarahannya kepada secarik kertas itu. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Ia tidak ingin seisi kantor itu melihatnya geram tanpa sebab. Seandainya Lisa bisa membantu ibunya untuk lepas dari gangguan pria brengsek tidak bertanggung jawab itu. Mungkin ibunya bisa lebih tenang dan penyakitnya tidak semakin parah.

Setelah hampir dua jam lamanya Lisa duduk di kursi besi yang sangat tidak nyaman itu, akhirnya ia dipanggil ke loket pembayaran. Lisa bangkit dari kursi besi sialan itu dan melangkah maju menuju loket pembayaran. Suara sepatu berhak tingginya menggema ke seluruh ruangan. Sesekali pengunjung kantor pajak menatapnya dengan tatapan tidak menyenangkan. Entahlah tetapi sosok seorang wanita cantik yang dibalut dengan blazer putih tampak mewah berada di sekumpulan rakyat jelata nampak tidak biasa. Ada yang memandanginya dengan sudut mata. Ada pula yang tidak peduli akan keberadaannya.

Lisa menyerahkan amplop berkas beserta dengan uang denda pajak kepada petugas loket. Petugas itu tidak menatap wajah Lisa maupun memberikan salam sapa. Diraihnya amplop cokelat itu dengan acuh tak acuh.

Petugas loket mengeluarkan uang dari amplop cokelat itu serta menghitungnya. Berkas yang diserahkan juga dibaca dengan cepat. "Oalah mbak, orang kaya kok telat bayar pajak toh?" celetuk si petugas loket dengan nada merendahkan.

Lisa mencoba untuk tidak menegur sikap tidak profesional wanita paruh baya yang ada di depannya itu. Lisa hanya membalasnya dengan dengusan. Percuma saja berdebat dengan orang – orang seperti itu pikirnya. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Benar – benar pagi yang tidak menyenangkan!

Si petugas loket memberikan bukti pembayaran lunas kepada Lisa, lagi – lagi tanpa ucapan terima kasih. Lisa mengambilnya dengan acuh dan memasukkannya ke dalam tas jinjingnya. Lisa langsung bergegas keluar dari gedung kuno itu.

Sambil menunggu di depan kantor pajak, Lisa memesan ojek daring dari handphone-nya. IA terlalu lelah untuk duduk sehingga ia lebih memilih berdiri saja. Sesekali ia memutar kepalanya, melihat sekeliling sembari menunggu kendaraannya itu tiba.

Tak diduga, Lisa melihat sosok ayahnya sedang berjalan menuju pintu masuk kantor pajak. Pria itu tampak sangat acak – acakan dan tidak berwibawa. Tidak disangka, meski sudah menikah dengan wanita kaya raya dan tinggal di real estat, pria itu masih tampak seperti gembel pikirnya. Mungkin bila pria itu berjalan bersama dengan istrinya, orang – orang pasti bakal mengira pria itu adalah supirnya.

Jantung Lisa berdebar – debar semakin kencang. Amarah yang tadi sempat diredam kembali berkecamuk. Lisa tidak ingin membuat keributan di kantor pajak dengan ayahnya itu. Lisa kemudian lari dari tempat ia berdiri. Menghindari pria itu agar tidak berpapasan dengannya.

"Kenapa harus bertemu dengan pria itu lagi!? Apa yang sedang ia lakukan di kantor pajak!?" gumamnya dalam hati.

Lisa mencari tempat berteduh di area parkiran kantor pajak dari teriknya matahari yang semakin menyengat. Sembari ia menunggu ojek daring yang dipesannya tiba, Ia kembali memikirkan perihal rumah yang akan dijual oleh ibunya.

Hari ini juga ia harus segera mencari informasi mengenai hunian murah untuk pindah. Lisa sudah kehabisan pilihan kepada siapa ia akan bertanya soal properti. Andien mungkin bisa membantunya mencarikan rumah baru tetapi itu bukan keahlian Andien.

Dimas sebenarnya yang paling bisa diandalkan soal urusan pindah – pindah rumah, pria itu punya banyak kenalan, tetapi dengan jadwal kerja yang semakin padat dan kehamilannya, Lisa jadi agak sulit untuk bertemu dengan Dimas. Tidak mungkin ia datang mengunjungi Sky Lounge hanya untuk bertemu dengan Dimas saja. Belum lagi Lisa sedang hamil, ia takut botol - botol alkohol yang terpampang di bar membuatnya tergoda dan berakhir mabuk seperti dua bulan silam.

"Permisi dengan Kak Lisa?" tanya seorang pengendara motor yang kebetulan berhenti di depan Lisa. Suara pria itu memecah keheningan yang menyelimuti Lisa.

Wanita itu mengangguk sambil mencocokkan nama dan plat nomor pengendara motor yang mengajaknya bicara. Ojek daring sudah tiba.

"Sesuai aplikasi ya kak?" tanya si tukang ojek dengan sopan dan senyum menyenangkan.

Lisa mengangguk mengiyakan. Tukang ojek itu menyodorkan helm kepada Lisa dan memakainya. Mereka melesat menuju kantor Petersson Communication.