Chereads / SILLY CURSE / Chapter 15 - Bandaids

Chapter 15 - Bandaids

Cermin persegi memantulkan wajahnya yang sayu. Berhenti mengeringkan rambutnya yang basah. Tangannya meraba wajahnya sendiri. Masih belum percaya dengan tubuh yang sekarang ia miliki.

"ternyata aku cantik juga yah"

Eugene terkekeh sendiri sembari memuji rupanya sekarang. Ada kebanggaan sendiri memiliki wajah yang memang sudah rupawan. Tak sengaja sudut matanya menangkap sebuah surat yang belum ia buka sejak pertama kali ia terima. Eugene masih tetap brengsek memang.

Membuka surat berwarna biru muda dengan sebuah stiker hati di depan. Eugene merasa ia akan muntah dengan semua rasa manis ini. Memang benar jika ia adalah perayu yang handal, ia tak mengira jika sebuah rayuan akan terasa sangat memuakan.

'Teruntuk dirimu bunga yang mekar di tengah guguran dedaunan~

harum mu semerbak menyapu kalbu terdalam

terbawa angin yang mendesir menyisir rambut sehitam arang

elok parasmu membuatku berdebar tak karuan~'

"hooekk!" menjulurkan lidahnya seperti ingin muntah, Eugene bergidik ngeri melihat barisan kata yang tersusun membentuk sebuah rayuan. "ini serius ? kampungan sekali" decaknya kesal. Namun kembali ia membaca bait berikutnya, rasa penasaran nampaknya mulai ia rasakan.

'inginku sembunyikan namun ada rasa aneh yang terus membuncah

beribu kali ku pikir apakah ini benar adanya ?

mungkinkah jiwamu dan jiwaku akan menyatu ?

mungkin tak sekarang, namun aku akan menunggu saat itu datang—'

"haishh! sudah cukup!"

dengan kasar gadis berambut sebahu melemparkan Surat yang telah ia remat menjadi gumpalan ke sembarang tempat. Apa-apaan kalimat itu ? bukankah terlalu puitis dan tak cocok digunakan di abad ini ? ia merasa seperti telah membaca surat cinta dari abad 15.

"bagaimana mungkin ini berlaku untuk merayu gadis sekarang ?" kembali pikirannya flashback pada kejadian masa lampau, saat ia dengan percaya diri mendekati beberapa gadis sekaligus. Selalu begitu untuk mendapatkan gelar pangeran di sekolahnya, bersaing dengan Aiden Lee.

Diingat-ingat lagi untuk apa semua hal yang ia lakukan ? apakah ia benar-benar menyukai para gadis itu ? atau hanya sebatas bertaruh pada sebuah angka ? tak ada kerugian namun ia seperti membuang-buang waktu dan menyakiti orang lain.

Eugene menatap pantulan cermin di depannya, matanya menerawang menelusuri setiap lekuk wajahnya yang sekarang "apa yang akan aku rasakan jika itu menimpa diriku sendiri? apa aku akan biasa saja atau sakit hati ?" gumamnya. Melirik kembali pada bola kertas yang tergeletak begitu saja pada lantai, mengingat kembali setiap kata didalam sana yang tertulis khusus untuknya. sebuah perasaan tulus yang tertuju hanya padanya.

Eugene menggigit bibir seakan tak yakin atas apa yang akan ia lakukan esoknya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan harga dirinya, tapi jika ia tak melakukan ini apa bedanya dengan dirinya yang dulu. Memikirkan ia akan selamanya terjebak dalam wujud perempuan atau lebih parahnya menjadi anjing.

"Arghh !! tidak mungkin !" Eugene menggelengkan kepalanya berharap mengusir karma buruk yang siap saja datang padanya.

.

Angin berhembus samar menerbangkan beberapa helai daun yang meranggas. Hanya menatap pemandangan sudah membuat Eugene terlupa dengan bel pelajaran selesai. Jika saya Casey tak menggoncang bahunya agar ia sadar.

"yah ? ada apa ?" raut khas orang linglung membuat casey yakin jika tebakannya benar.

"memikirkan sesuatu ?" tebak casey sembari menempati bangku depan Eugene. "atau seseorang ?"

Eugene mengalihkan tatapannya tak ingin jika bertemu pandang dengan karamel kecoklatan yang menatap penuh curiga. "em.. a—aku lapar ayo ke kantin" pengalihan topik menjadi satu-satunya cara agar terhindar dari ucapan Casey padanya.

"sepertinya kau salah arah, kantin ada di sebelah kanan~" ucapan casey seakan mengoloknya yang secara reflek berjalan ke arah kiri. tepatnya menuju kelas Michelle berada. Eugene sudah tertangkap basah. Sepertinya satu hari tak melihat wajah Michelle membuat Eugene uring-uringan.

"aku tahu kau merindukannya~ " Casey mendekat dan merangkul santai tubuh Eugene yang lebih tinggi darinya. "kenapa kau tidak menjenguknya saja sepulang sekolah ?"

"em, masalahnya aku tidak tahu rumahnya" jawab Eugene benar adanya. "tapi aku tahu tempat ia bekerja.." tambahnya lagi sebelum ia menyadari sesuatu.

"Michelle bekerja ?!"

"ssstt !!" Secepatnya Eugene memberi isyarat agar Casey tak bicara dengan keras. "Nanti aku ceritakan" menarik Casey kearah kantin sekolah.

"bukankah ada peraturan bahwa siswa-siswi tidak boleh bekerja ?" ungkap Casey setelah Eugene menyelesaikan ceritanya. Ia kesal dengan dirinya sendiri yang mudah keceplosan. Eugene tahu pasti jika Michelle tak ingin ada orang lain yang mengetahui pekerjaan nya.

"maka dari itu, tolong rahasiakan dari yang lain yah" menyatukan kedua tangannya di depan wajah seraya memohon pada gadis di depannya.

"hem.. bagaimana yah~" Casey tersenyum samar tanpa disadari oleh Eugene.

"Kau bisa mengambil kroket punyaku ! asal jangan beritahu siapapun" ujar Eugene sembari menyodorkan kroket di atas piringnya pada Casey. Makanan favoritnya yang selalu ia sisakan di akhir santapan. jika itu bukan demi kebaikan Michelle, Ia tak akan repot-repot membaginya. Bahkan hanya untuk setengah potong.

Casey tersenyum lebar memakan kroket milik Eugene, sang pemilik hanya dapat menatap pasrah kala makanan favoritnya sukses masuk ke perut casey. "aku tak akan beritahu siapapun, asal kau mengajakku ke tempat kerja Michelle" itu sebuah perintah bukannya permintaan. sesuatu yang mau tidak mau harus di lakukan oleh Eugene. siap tak siap pasti ia akan menerima omelan dari Michelle.

"hay.." sapa sebuah suara di tengah-tengah obrolan Casey dan Eugene. keduanya serempak menoleh ke asal suara dan mendapati kakak kelas yang tempo hari memberikan surat cinta pada Eugene.

"bisa kau ikut aku sebentar ?" keduanya tahu jika yang di maksud pemuda itu tak lain adalah Eugene. Gadis itu mengangkat alisnya terheran, berani sekali orang itu mengganggu acara makan dengan gadis primadona.

"jika kau ingin katakan sesuatu disini saja, aku sedang makan" jawab Eugene dengan lugas. Pemuda itu berdehem menutupi rasa gugupnya. melirik sekilas pada Casey yang nampaknya sadar akan bahasa tubuh yang ditujukan oleh pemuda di depannya.

"sepertinya aku akan beli minum dulu" dan berlalu begitu saja sebelum Eugene berhasil menahan. Tanpa izin pemuda itu langsung duduk di tempat casey. Eugene menatap horor pemuda yang awalnya terlihat canggung kini nampak percaya diri. orang seperti ini harus mendapat kejelasan yang sangat 'jelas'

"jadi kau—"

'set—' Eugene langsung membungkam mulut pemuda itu dengan sepotong kroket yang tersisa. Tak ingin lagi mendengar segala bait puitis yang bisa saja keluar seperti dalam surat yang semalam ia baca. Eugene kembali bergidik saat kembali mengingat kata demi kata.

"aku hargai perasaan mu tuan tampan, jika kau memaksaku untuk menerima perasaan mu sungguh tak bisa, walau bagaimanapun kau bersikeras itu tak akan mempan untukku.. jika bisa bencilah aku. dapatkan yang lebih baik dariku dan buktikan jika kau mampu membuatku menyesal tak menerima mu"

Tanpa menunggu jawaban, Eugene pergi menemui Casey yang ternyata menguping pembicaraan mereka sedari tadi. "Jangan meledekku" Eugene mengambil kaleng soda dari tangan Casey. Gadis itu langsung mengejar Eugene yang melangkah lebih dulu dengan kakinya yang panjang.

Di sudut lain sekelompok pemuda tampak memperhatikan gerak-gerik eugene dan casey sedari tadi. "apa kau akan memasukan eugene dalam list targetmu ?" tanya seorang pemuda dengan rambut undercut pada pemuda lain disampingnya.

"tidak, aku hanya heran kemana gadis berambut coklat yang selalu ada di sebelah gadis jangkung itu.." ucapnya sembari menyedot susu banana kotak.

"jangan bilang kau ingin mendekati gadis kutu buku itu" yang lain ikut berpendapat seakan tak percaya jika selera temannya sudah berubah.

"kau tak serius kan jeff ?"

pemuda berambut keunguan terseyum menanggapi pertanyaan demi pertanyaan tertuju padanya. didadanya tertempel sebuah nametag bertuliskan Jeffrey Jung.