Chereads / CITRA SANG BUNGA "Nerium Oleander" / Chapter 4 - BAB 3. keputusan yang berat...

Chapter 4 - BAB 3. keputusan yang berat...

Kini seorang gadis perempuan yang beranjak dewasa (berusia 19 tahun) memegang setir mobil dengan kedua tangannya. Dengan mimik wajah serius, serta kedua bola mata yang melebar menandakan diri ya begitu hati-hati sekarang ini. "hmmm...pasti ibu kaget kalau aku besok udah ada di sana, mana gak kasih kabar lagi." tuturnya, seketika pipinya berubah sedikit merah. Entah apa yang ia bayangkan saat ini.

"ibu ada rumah gak ya? kalau pun gak ada, pasti ke tokoh kain. terserah deh, yang penting bisa ketemu." ucapnya dengan nada bicara yang begitu bahagia, "haa... sekarang aku malah yang deg degkan."

setelah mengatakan itu, ia langsung menancapkan gas supaya laju mobil lebih cepat dari sebelumnya. Suasana di pagi hari ini begitu cerah, sehingga hati yang senang menjadi lebih senang.

....

Di kediaman Devira...

Devira menghela napas panjangnya untuk melepaskan semua beban di punggung. Pikirannya saat ini tengah kacau, masalah yang ia tanggung sekarang menjadi bertambah banyak. Matanya melebar seakan sekarang ia bingung harus memilih jalan apa. "kenapa perasaan ku tidak enak?" gumamnya sambil berusaha berjalan mendekati satu pohon yang letaknya di atas lemari hias pendek di dekat jendela.

Pohon itu hampir sedikit menyerupai pohon bonsai. Ukurannya yang kecil juga pendek, terlihat sangat cocok di letakkan di sana. Awalnya tak ada yang aneh dari pohon itu, tapi sesaat setelah Devira sudah dekat. Dari mulai batang, sampai ke daun. Pohon itu, seketika saja mengeluarkan cahaya terang berwarna merah keemasan. Begitu pula dengan telapak tangan Devira.

Dirinya memejamkan kedua mata, dan...

Dalam hitungan detik, ruangan kamar berubah menjadi putih menyilaukan, semua barang-barang hilang seketika. Dari cahaya putih muncul-lah sosok wanita cantik dengan gaya busana yang sangat khas. Ia mengenakan pakaian yang cukup aneh, di tambah lagi dengan mahkota berwarna emas di atas kepalanya.

Wanita itu tersenyum sambil melihat ke arah Devira.

'ambilah keputusan mu Devira!' kata wanita itu dengan sangat lembut.

Sayangnya nada kelembutan itu tak di sambut dengan baik oleh Devira. Kedua bola mata Devira memancarkan cahaya emas dan hitam.

"kenapa harus aku? apa yang istimewa dari anak itu?" tanya Devira penuh amarah yang dalam.

Wanita di depan Devira hanya tersenyum saja, 'kau akan tahu nanti.'

Devira mendengar itu mendesis, "kenapa nanti? kenapa tidak sekarang? bagaimana kalau aku tidak ingin mempertahankan anak itu?" tantangnya.

'semuanya akan kau ketahui bila sudah saatnya. Jangan memaksakan kehendak yang memang bukan kehendakmu, Devira.' Balas wanita misterius itu dengan tutur bahasa yang masih lembut, di tambah dengan mimik wajah yang tersenyum manis membuat hati Devira luluh seketika.

'pertahanan semuanya, karna dia adalah sinar terangmu.' Sambung wanita itu untuk terakhir kalinya.

Ruangan kamar kembali seperti semula, semua tata letak barang berada pada tempat yang benar. Pohon kecil yang tadinya bersinar ke emasan kini kembali seperti pohon pada umumnya. Tak ada lagi cahaya sinar yang menyilaukan mata. Wanita cantik yang tadi bersamanya juga sudah menghilang entah kemana.

Karena masih kesal ia pun akhirnya melangkah keluar dari kamar. Kemudian berjalan melewati ruang tamu dan akhirnya menuju dapur. Dengan santai ia mengambil satu teko air yang sudah terisi air teh. Saat ingin kembali lagi ke kamarnya, dari ujung telinga ia mendengar isak tangis dengan volume yang kecil. "Siapa yang menangis di jam seperti ini?" Gumam Devira menyerengit heran.

Akhirnya Devira meletakkan kembali teko itu, dan berjalan mencari dari mana sumber suara tangis berasal. Suasana malam membuat rumahnya begitu menyeramkan. Tanpa menghidupkan lampu, dirinya terus berjalan dalam remang-remangnya malam.

Tepat setelah melewati pintu kamar Zemira, suara tangis itu baru terdengar jelas. Ia membuka pintu kamar Zemira dan di sana ia dapat melihat jelas bahwa Zemira sedang menangis, dengan posisi duduk di lantai dan kedua kaki yang tertekuk.

"Mama..."

Suara lirih pilu terdengar di pendengarannya. Devira langsung berjalan mendekati Zemira. Setelah sudah dekat, seketika tangan kanannya mengelus punggung Zemira.

"Anak cantik gak boleh nangis, bisa-bisa nanti matanya keluar darah loh." Bujuk Devira. "Jangan nangis lagi ya! Kan ada ibu.."

Zemira melirik wajah orang yang baru saja berbicara padanya. Mata yang merah sembab, pipi yang basah dan terlihat jejak keringnya air mata. Di tambah beberapa helai rambut yang menempel basah di wajah yang mungil itu, membuat Devira merapikan penampilan Zemira.

"Ibu ada sesuatu untuk Zemira..mau?"

Dengan polosnya Zemira mengangguk. Devira tersenyum, ia berdiri kemudian berjalan ke arah luar kamar. Tak lama Devira kembali dengan membawa satu gelas kecil yang berisikan air teh. Zemira meminum air itu sampai habis.

"Udah, enak?" dengan wajah yang sedikit terkejut Devira mengambil gelas yang sudah kosong di tangan Zemira.

"He'em." Jawabnya sambil mengangguk.

Seketika saja wajah yang polos nan lugu itu menatap Devira begitu dalam, tetesan air matanya keluar lagi. Dengan kedua tangan mungilnya Zemira memeluk tubuh wanita dewasa di depannya secara tiba-tiba, sampai membuat sang pemilik badan terkejut, dan hampir jatuh terhuyung kebelakang.

"Cuma ibu yang Zemira suka. Zemira gak mau tinggal sama buk yak." Ucap Zemira seperti terkena sihir saja, ia mengatakan apapun yang sebenarnya tak pernah ia katakan pada orang-orang.

"Buk yak? Siapa dia?" Batin Devira penasaran.

"Buk yak suka marah-marah, terus suka pukul tangan. Zemira gak mau, Zemira takut." Isak Zemira dengan ketakutan.

"Iya, Zemira sama ibu. Zemira tenang ya! Sekarang Zemira tidur, ini sudah malam." Suruh Devira.

Zemira mengangguk, di bantu oleh Devira menghapus jejak air mata. Zemira berdiri berjalan ke arah kamar mandi mencuci wajah yang lengket. Dan kembali ke arah tempat tidur yang empuk itu. Lalu ia pun akhirnya tertidur di dalam pelukan Devira.

....

Seminggu kemudian...

Siangnya Devira mencari segala informasi tentang Zemira, benar apa yang di katakan almarhumah Linda. Kalau Zemira tak memiliki paman atau bibi. Hanya buk yak saja yang selalu bersama Zemira. Untuk sekarang ia menunggu bus di halte, Devira mau ke alamat buk yak yang di berikan oleh tetangga Linda.

Bus datang, kaki Devira langsung naik. Penumpang di bus kali ini sedikit ramai, membuat dirinya mau tak mau berdiri berpegang pada tiang penyangga di dekatnya.

Perjalanan memakan waktu setengah jam. Devira turun dengan hati hati, melihat kanan dan kiri untuk memilih jalan mana yang harus di tujuh.

"Maaf mbak." Sapa Devira pada perempuan muda baru saja keluar dari gang.

"Ya?" Perempuan itu berhenti, memberi senyum ramah.

"Saya mau ke alamat ini," Devira menyerahkan secarik kertas, "mbak tau di mana tempatnya?"

Perempuan itu membaca sebentar, "oh tau, ibu masuk gang yang tadi saya lewati. Kalau sudah masuk, lurus aja sampe nemui dua jalur. Pilih jalur kiri, jalan terus sampe nemuin rumah kecil warna oren. Itu rumahnya." Jelasnya.

"Makasih ya, mbak."

"Sama-sama" tersenyum lalu pergi meneruskan langkahnya.

Ia membuang napas panjang lalu kembali berjalan pelan mengikuti arahan wanita tadi. Memasuki satu gang, yang lumayan untuk dua motor bisa keluar masuk. Tapi, setelah terlihat dua jalur jalannya semakin mengecil mungkin hanya untuk satu motor saja. Devira belok ke kiri, dari depan gang ia sudah melihat dengan jelas di mana rumah yang berwarna oren itu. Jaraknya hanya tiga rumah saja dari tempat dia berdiri.

"Ibu cari siapa?" Tanya seorang wanita dari belakang Devira.

"Astaga.." ia tersentak pelan. Kemudian Devira menoleh ke arah pelaku.

"Maaf Bu, soalnya saya baru wajah ibu di sini."

"Ehh..saya mau cari buk yak, hemm." Kata Devira menggenggam kertas kecil di tangannya.

Ia menyembunyikan rasa takut, ia baru sampe ke lokasi yang asing bagi dirinya. Devira menatap sekeliling dengan dengan telitih agar ia tak kecolongan jika ada perilaku yang ganjil.

"Buk yak udah pindah, kalo ibu mau nitipin anak. Mendingan gak usah, kemarin rumahnya di grebek. Denger denger buk yak kadang nyiksa anak orang, marah marah, gak nentu deh." Ucap ibu itu mengungkapkan fakta yang membuat jantung Devira kaget.

"Jadi karna itu Zemira takut sama buk yak" batin Devira, setelah mendengar satu fakta, kini hatinya sedikit terbuka. 'ambilah keputusan mu Devira!...' bisikan itu datang lagi.

Tanpa pikir panjang ia pun menghelah napas panjangnya dan...

"Oh ehg...ehmm saya kesini cuma ngasi tahu kalo orang tua Zemira meninggal dunia di hari Minggu yang lalu."

Ibu itu menutup mulut kaget, tak percaya apa yang baru saja ia dengar.

"Ya ampun..turut berdukacita. Gimana dengan anaknya?"

"Anaknya ada di rumah saya."

"Yahh saya jadi kasihan banget sama anaknya." Nada ke khawatiran terdengar jelas.

Devira tersenyum mengerti apa yang ibu itu rasakan. "Hmmm..., kalo gitu saya pamit dulu."

"Ya.."

Devira pun keluar dari gang itu dengan perasaan lega. Ia akhirnya kembali berjalan menuju halte bus di mana pertama kali ia datang kesini.

....

Bersambung...

....