Saat perjalanan menuju rumahnya, wajah Devira di penuhi keraguan dan kebimbangan. "apa yang harus ku putuskan?" gumamnya menatap kondisi jalanan kota yang ramai, bus yang ia naiki itu terus melaju sampai pemberhentian terakhir. Dan ketika itulah dirinya beserta beberapa orang yang tersisa langsung turun.
Ia tersenyum pada beberapa orang yang ia lalui, karena dari sudut matanya, ia tahu bahwa orang itu bukanlah manusia biasa. Orang yang ia sapa, merupakan makhluk yang masih sebangsa(segolongan) dengannya. Hanya saja makhluk itu dengan dirinya berbeda jenis dan kekuatan.
Dari bola matanya, ia melihat ada satu garis cahaya membentuk seperti suatu cela untuk di lewati. Tanpa memperdulikan hal itu, ia malah terus berjalan melalui garis cahaya. Sampai tak sadar bahwa semua Makhluk di dekatnya menghilang tak bersisa.
"apa yang harus aku lakukan sekarang?" Batin Devira yang terus berjalan. Seketika tatapannya menjadi kosong, tepat saat ia menyadari bahwa dirinya sudah berada di jalanan yang sepi. Padahal sebenarnya, jalanan yang ia lalui tadi masih dalam ke adaan normal saja. Para manusia, mobil, motor, dan lainnya tetap bergerak. Hanya dirinya lah yang berjalan di dimensi yang berbeda. Ketika Devira menyadari dirinya berada di dimensi yang berbeda, ia langsung mengucapkan sesuatu dengan bergumam. Tap... dalam satu langkah ia pun akhirnya keluar dari dimensi kosong itu. Sekarang ini kakinya sudah berdiri tepat di depan rumah.
Dengan pelan tapi pasti, Devira membuka pagar besi rumahnya. Bibir kanannya sedikit terangkat, dengan pupil mata yang tiba-tiba saja berubah menjadi bahagia.
Tin..tin...
Suara kelakson mobil terdengar keras. Devira pun membalikkan tubuhnya, ia melihat mobil merah berhenti tepat di depan tubuhnya.
Pintu mobil terbuka, terlihatlah sosok wanita cantik dengan gaya busana yang anggun, tak terlalu mencolok. Rambutnya panjang ter-urai sebatas pinggang, di bagian bawah dari rambutnya berbentuk gelombang(ikal) besar yang sangat indah. Ia mengenakan anting-anting berbentuk bunga tulip yang bergantung, berwarna perak berkilau. Di anting itu juga terdapat beberapa permata yang membuat antingnya semakin berkilau jika terkena pantulan sinar matahari.
Beberapa bagian baju dan rok yang ia kenakan sedikit menampilkan kepribadian yang simpel tapi bergaya. Corak batik yang di gambar berpadu indah di beberapa bagian lengan baju, leher, bagian dada dan roknya. Di sertai juga rendah-rendah kecil khas kebayak yang sudah di sulam dan di jahit dengan payet-payet kecil berbagai macam jenis.
Wanita itu tersenyum melihat wajah sang ibu yang sangat ia rindukan.
"Ibuuuuuu...." Teriak kebahagiaan terpancar di wajah sang wanita itu sambil berlarian kecil mendekati ibunya. Ia membentang kedua tangannya yang sudah gatal ingin memeluk sang ibu.
Wanita yang ia panggil dengan sebutan 'ibu' juga melakukan hal yang sama yaitu membentang kedua tangannya agar ia bisa memeluk. Devira memeluk wanita itu dengan rasa rindu yang sudah lama membuncah di dalam dada. Sambil menghujani berbagai ciuman di wajah sang wanita muda.
"Ahhhh, dari dulu ibu selalu kayak gini. Fara udah gede, apa kata orang nanti kalo ibu cium sana sini." Kesal Fara setelah mendapat banyak ciuman.
"Bagi ibu kamu itu masih kecil," balas Devira, "ayo masuk, ibu ada sesuatu istimewa buat kamu."
"Wihhh tahu-tahu aja anaknya pulang." Bangga Fara menepuk dada dengan sombong.
Devira terus berjalan tanpa memperdulikan ucapan Fara. Sinar di matanya kembali menjadi layaknya manusia normal. Yang awalnya menanggung beban, kini hilang terlepas hanya karena satu gadis remaja yang mau beranjak dewasa.
Keduanya masuk kedalam rumah, dari pancar mata Fara yang bergerak tak tentu arah menandakan dirinya sangat kagum apa yang ia lihat. Semua langkah kaki di penuhi rasa bahagia, "kayaknya ada yang berubah dari rumah ini?" ucap Fara sedikit bingung.
"Menurut kamu apa yang beda? perasaan ibu sama aja. Di lantai bawah cuma di pakek nari, di lantai atas untuk tempat tinggal." Balas Devira sedikit menghindar.
"bener kok, kayak ada yang beda." tutur Fara dengan keyakinan, meneliti keseluruh ruangan sanggar tari ini. Matanya pun menangkap beberapa pot bunga yang masih berukuran sedang. "sejak kapan ibu mulai nanem bunga?" tanyanya sambil berjalan mendekati tanaman itu.
Devira yang tadi berpura-pura tak tahu, kini malah menjadi waspada. Terutama ketika sang anak mendekati tanaman bunga yang ia tanyakan. "ibu bosen kalau cuma satu warna aja di tanam. Lagian kan, kalau mekar bisa bikin mata sama kepala jadi ringan ngeliatnya." kata Devira memperhatikan Fara dari jauh.
"kamu mau apa dengan bunga itu?"
Fara yang sedang melihat-lihat pohon bunga yang berkembang dengan baik, sedikit terganggu mendengar pertanyaan dari sang ibu. "hmm wangi, kalau mekar pasti indah banget.." gumam Fara.
Saat ingin mengedipkan matanya, Devira langsung mendapat gambaran bahwa sang anak ingin memetik bunga itu. Dan setelah memetik beberapa bagian pohon, tangan sang anak menjadi melepuh.
Tanpa pikir panjang, dirinya langsung mendekati sang anak dan menarik tangan Fara agar segera menjauh dari bunga itu.
"ibu kenapa sih? padahal Fara mau petik sedikit, buat di selipin di telinga." ketus Fara.
"udah ayo ke atas, ada yang pengen ibu bicarakan sama kamu."
....
Sesampai di atas...
Dengan langkah semangat Fara membuka tutup tudung saji di atas meja makan tapi kosong. Fara tersenyum yakin pada sang ibu kalau ibunya pasti menyiapkan makanan kesukaan dirinya. Ia berjalan ke arah dapur membuka seluruh panci di sana, yang ternyata isi hanya nasi uduk dan mie tumis goreng.
"Ibu masak apa? Sup? Atau..."
"Ibu gak masak." Potong Devira dengan tegas.
"Apa?" Wajah yang tersenyum manis kini menjadi tak percaya, ibu aku kok kejam banget ya..
Devira duduk di kursi. Sedangkan si anak berdiri dengan wajah yang kesal, geram, marah.
"Yah... terus Fara makan apa dong?" Tanya Fara terduduk dengan memasang wajah lebaynya.
"Makan apa yang ada, lagian salah kamu. Pulang gak ngabarin." Cetus berpura-pura Devira kesal.
"Istimewa mana?" Gumam Fara.
Devira dengan geram menendang kaki Fara.
"awwhhh... apa sih?... katanya tadi mau ngomongin sesuatu? mau ngomong apa?" ketus Fara mengelus-elus kaki yang kena tendang oleh sang ibu.
Devira menunjuk foto kecil di tangannya, "Cantik gak?" Tanya Devira.
Dengan segera Fara langsung mengambil foto itu dan melihat lihat dengan wajah yang heran.
"Cantik..tapi, cantikan Fara." Pede Fara dengan kuat.
"Dasar, namanya Zemira. Seminggu yang lalu dia masuk ke sanggar ibu. Orang tuanya minta ibu ajarin, tapi sekarang orang tuanya meninggal kecelakaan Minggu kemarin." Devira duduk di kursi meja makan.
Fara menyerengit, memperhatikan wajah di kertas foto itu. "Terus?" Bingungnya.
"Hari ini ibu nyelidiki, semua keluarga nya. Sewaktu mamanya Zemira hidup, mamanya pernah bilang kalo anaknya gak punya saudara kandung. Zemira cuma anak tunggal, orang tuanya pun sama. Zemira gak mau pisah sama ibu, dia takut kalo orang lain yang ngerawatnya mukul mukul dia lagi," Devira memandang anaknya, "menurut kamu gimana? Ibu harus apa?"
Fara terdiam beberapa saat, lalu memilih duduk di sebelah sang ibu.
"Fara juga gak tau, Bu. Kita tanya sama Zemiranya dulu, Fara jugakan belum kenal. Siapa tau.. Zemira suka sama ibu terus takut sama Fara." Usul Fara.
Devira mengangguk mantap, "boleh juga. Jam dua nanti Zemira pulang sekolah, kamu sama ibu jemput dia. Kalo mau kenalan, kalian kenalan aja"
"Oke."
....
Dengan menggunakan mobil Fara membuat Devira sedikit terbantu. Ya Devira tak bisa mengendalikan mobil, karena di dalam dirinya sudah terdapat kekuatan yang selama ini ia sembunyikan dari siapa pun.
Devira menunggu di depan kelas Zemira, sedangkan Fara memainkan hp di dalam mobil.
Beberapa menit berlalu...
Akhirnya sekian menit menunggu, ia pun bisa melihat sang ibu menggandeng tangan anak kecil perempuan yang berusia 8 tahun, wajahnya sangat gemas, imut membuat hati Fara langsung suka. Dengan semangat ia akhirnya keluar dari mobil, lalu melambaikan tangannya pada sang anak itu.
Dari jauh, Zemira melihat Fara dengan perasaan takut. Ia hanya bisa menggenggam tangan Devira sedikit lebih kencang. Devira yang sudah tahu hal ini akan terjadi, hanya bisa bersikap biasa saja. Ia bergegas mendekati sang anak yang sedari tadi memberikan lambaian tangan padanya.
"Zemira, ini anak ibu. Namanya Fara."
Dengan malu malu Zemira mencium tangan Fara, lalu tersenyum dengan tatapan mata yang ragu di sertai takut.
"Masuk yuk!" Ajak Fara.
Devira dan Zemira masuk duduk di bangku penumpang belakang. Fara hanya sediri duduk di depan, ia dapat melihat wajah takut Zemira yang melihatnya seperti orang jahat.
"Bu.. Zemira takut." Bisik Zemira menggenggam tangan Devira sangat kuat.
Devira hanya memberikan senyum seolah berkata, enggak apa-apa, ada ibu disini.
"Zemira bisa panggil kakak dengan sebutan kak Fara, Zemira suka es krim? atau coklat?"
"Su-suka."
"suka yang mana nih? yang es krim atau coklat?" tanya Fara membuka diri.
"hm..." Zemira bergumam. menatap Devira meminta jawaban.
"ayo bilang, Zemira suka yang mana!" bujuk Devira dengan tutur kata yang sangat lembut sekali.
"hmm..."
Zemira tetap bergumam, bingung mau menjawab apa. Terutama sekarang ini ia hanya percaya pada Devira seorang, dari dalam hati kecilnya ia tak mengerti apa yang terjadi saat ini.
Karena tak kunjung mendengar jawaban Zemira, Fara pun memulai pembicaraan lagi. Sambil tetap tersenyum, dan pokus menyetir.
"kalau gitu kita beli es krim, tapi rasa coklat. mau?"
Anak perempuan yang duduk di sebelah Devira hanya memberikan jawaban mengangguk saja, karena paham pada situasi Fara hanya bisa diam, sambil mengerti akan satu hal. Yaitu menjadi seorang wanita dewasa sungguh menyulitkan.
....
Bersambung...
....