Esoknya...
Sosok laki-laki blasteran masuk kedalam rumah yang Mega nan indah sekali. Tubuhnya yang tinggi, ditambah lengannya sedikit berotot membuat beberapa pasang mata menatap kagum padanya. Siapa lagi kalau bukan salah satu temannya Fara. Sosok itu langsung melotot, sambil melompat tak percaya ada pria ganteng masuk kedalam sanggar.
"Astaga, semalem aku mimpi apa?" Ujar perempuan berambut lurus panjang yang terkepang, bernama Kirana.
"Hushh jaga sikap!" Tukas perempuan di sebelahnya, tubuhnya agak sedikit tinggi dari Kirana dan badannya sangat-sangat ramping. Ia bernama Iva, bersikap dewasa tanpa mengurangi jati diri seorang gadis muda.
"Ahh ganggu aja." Kesal Kirana.
Iva menjewer telinga Kirana saat temannya itu mau menghampiri laki-laki blasteran yang kini menatap sekeliling ruangan. Tanpa pikir panjang ia langsung menarik selendang yang terikat di pinggang Kirana menuju halaman samping rumah.
Fara yang berdiri di balkon kamar langsung turun ke lantai bawah, di mana saat ia melihat Ghanis keluar dari taksi.
Di sanggar saat ini tak ada murid yang latihan menari, hanya ada Iva serta Kirana yang tadi datang. Karena mendengar Fara sudah pulang dari kampung halaman neneknya. Sebenarnya cuma datang hanya sekedar melepas rindu, ehh malahan dapet surganya mata.
Fara menuruni tangga, sambil tersenyum melihat Ghanis yang masih berdiri di dekat pintu masuk.
"Ibu ada di atas, ayo!" Ajak Fara yang berdiri di anak tangga terakhir, pada Ghanis yang masih saja menatap sekeliling rumah Fara.
Yahh siapa yang tidak bingung melihat isi rumah yang hanya kosong, tanpa ada peralatan rumah tangga. Dinding-dinding sekat pun tak ada. Di dalam rumah itu hanyalah ruangan besar yang lebih mirip bentuk huruf 'u' luas terbentang. Di mana setiap dinding di penuhi beberapa tirai kaca dan gorden tipis tergantung membentuk pita. Jendela-jendela kacanya pun hampir sama layaknya pintu rumah.
Karna Ghanis tak kunjung menghampiri nya, akhirnya mau tak mau Fara menarik tangan Ghanis. Dan mereka berdua pun naik ke atas, mata Ghanis tak juga lepas menatap sekeliling ruangan.
"Wow..." Kagum Ghanis di dalam hati.
Saat menaiki anak tangga, mata Fara melirik wajah Ghanis yang kini terkagum-kagum. "Ibu bilang, rumah ini di desain oleh ayahnya." tutur Fara memulai obrolan, "Lantai bawah sebagai tempat latihan nari, dan di atas sebagai tempat tinggal. Jadi jangan heran kalo masuk cuma ngeliat ruang kosong." Ujar Fara sambil terus menaiki anak tangga.
"Oh begitu."
Tiba di anak tangga terakhir, mata dan wajah Ghanis tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia sungguh terpukau akan kemewahan rumah temannya. Selama berteman dengan Fara, temannya itu hanya mengajaknya ke rumah tempat tinggal neneknya. Ia sama sekali tak pernah tahu jika ini rumah ibu temannya.
"Taraaa... Ini ruang tamu," tunjuk Fara pada satu ruangan yang di penuhi beberapa sofa, cermin, dan juga beberapa jendela yang terbuka lebar.
Kaki Ghanis berjalan maju beberapa langkah. Sesekali bola matanya bergerak memutar melihat ke arah semua sisi ruangan. Sekarang ia berdiri tepat di depan ruang tamu sambil menatap lurus sampai lorong itu habis, pria blasteran itu dapat melihat beberapa ruang. Dari mulai ruangan yang di tutupi pintu biasa, lalu ruangan tanpa sekat dan pintu yaitu ruang dapur. Dan di sertai tiga pintu berderet sampai ujung lorong. Tiga pintu itu memiliki warna dan bentuk yang sama. Hanya saja masing-masing pintu memiliki pahatan ukiran yang berbeda-beda.
Di pintu pertama, kedua dan ketiga berwarna coklat tua tapi mengkilap jika terkena cahaya. Lalu ia pun melirik jalan ke arah kanannya, di mana ada satu lagi pintu terakhir yang terletak di paling hujung. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja pikiran Ghanis mengarah pada pintu itu, karena hanya pintu itulah yang berbeda jauh dengan pintu-pintu yang lainnya. Pintu itu memiliki diameter ukuran yang cukup besar dari pintu yang lain di tambah lagi, ia memiliki corak pahatan yang aneh.
Di mana ada satu pahatan pohon besar yang rimbun berada tepat di tengah-tengah pintu itu. Pahatan pohon itu juga di kelilingi pahatan ranting serta daun-daun kecil. Yang di mana sebenarnya pahatan ranting dan daun itu membentuk satu kalimat yang tak bisa di baca oleh siapa pun itu.
Tak lupa, di setiap sisi kanan dan kiri lorong, terdapat lemari-lemari kaca yang berisikan baju-baju, gelang, kalung, mahkota dan semuanya aksesoris tari.
Suara pintu terbuka, dan keluar lah satu sosok perempuan yang sudah berusia 46 tahun dari balik pintu itu. Orang itu adalah Devira. Mata Ghanis seketika terpaku melihat kecantikan yang tak wajar di miliki perempuan yang seusia itu. Bahkan kondisi fisiknya sangat bugar dan sehat. Seakan terjaga dengan baik.
Devira tersenyum manis pada tamunya.
"Silahkan duduk nak, Ghanis!" Suruh Devira.
Ghanis tersenyum, lalu ikut duduk manis di sofa panjang ruang tamu.
"Saya ibunya Fara, mungkin kamu udah di kasih tau sama anak ini." Devira melihat anaknya sekilas.
"Hegghh." Dengus Fara.
Ghanis terkekeh geli melihat tingkah ibu dan anak itu. Ia tak menyangka bahwa hubungan Fara dan ibunya sangat baik. Padahal ia tahu bahwa Fara dan ibunya sudah berpisah cukup lama.
"Wajah ibunya mirip banget kayak Fara. Wajar aja Fara bisa secantik ini.." batin Ghanis.
"Hehe iya, saya akan bantu bibi sebisa mungkin. Jadi apa masalahnya?..." Tanya Ghanis.
Devira tersenyum dengan wajah dan tatapan yang misterius, lalu kemudian menjelaskan semuanya secara rinci dari mulai awal pertemuan sampai terjadinya masalah ini.
....
Bersambung...
....