POV Abimanyu
Alunan musik yang dimainkan DJ, menghentak memenuhi seisi ruangan club yang belum lama berdiri. Semakin memeriahkan pesta. Sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini.
Aku dan teman-teman pun larut dalam riuhnya, menikmati irama dengan gerakan tubuh dan minum-minuman keras berbagai merek yang telah tersedia di atas meja.
Kupegangi kepala yang sudah mulai pusing dan semakin memberat. Entah, sudah berapa banyak minuman beralkohol yang masuk ke dalam perutku.
"Kamu kenapa, Bro?" tanya Jhoni teman lamaku. Sudah lima tahun kami tidak bertemu. Dia yang mengadakan pesta di club ini dan mengundangku.
Sebenarnya aku tidak ingin datang memenuhi undangannya. Karena aku sangat paham jika mereka mengadakan pesta pasti menu utamanya adalah minum-minuman keras dan perempuan penghibur. Pesta belum akan berakhir kalau kami masih sadarkan diri.
Namun, aku tak bisa menolak undangan Jhoni, karena memang kami sudah lama tidak berjumpa. Semenjak dia dipercaya ayahnya untuk mengurus perusahaan keluaga mereka yang ada di Pulau Sumatera. Perusahaanku baru saja menanda tangani perpanjangan kontrak dengan perusahaan ayahnya.
"Entahlah, kepalaku pusing." jawabku.
"Hah, rajanya pesta udah keok. Masa baru berapa gelas udah mabok?!" timpal Dion, temanku yang paling brengsek.
"Udah kalian lanjut aja, Bro. Aku cabut duluan."
"Nggak asik, Lo. Pesta belum selesai, Bro. Masih ada kejutan lainnya." Jhoni berusaha menahanku yang sedang berusaha untuk bangkit berdiri.
"Kalian nikmati saja,"
"Bro ... Bro ... kapan lagi kita bisa ngumpul dan pesta seperti sekarang ini. Ayolah Bro kita nikmati malem ini." Jhoni terus mencoba menahan dengan meraih lenganku dan menariknya, membuatku terduduk kembali di sofa.
Tak kupedulikan ucapan Jhoni, aku menarik lengan dari pegangannya seraya menatap tajam wajahnya lalu beranjak berdiri kembali. Kali ini dia tidak lagi berusaha menahan. Dengan tubuh terhuyung dan berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh, aku terus melangkah menuju pintu keluar club.
"Abii ... tunggu!" Terdengar suara perempuan meneriakkan namaku. Ketika tinggal beberapa langkah lagi sampai ke mobil.
Aku pun membalikkan badan ke arah sumber suara. Terlihat sosok perempuan yang sedang mendekat ke arahku. Kuperjelas lagi pandangan ke wajahnya agar bisa mengenali siapa dia sebenarnya.
"Abi kamu mabuk?" lanjutnya lagi, setelah dia menghentikan langkahnya tepat di hadapanku.
"Oh, ternyata kamu! Ngapain kamu di sini!!" jawabku sinis. Dia adalah Marisa, mantanku. Melihat wajahnya, kembali mengingatkanku akan penghianatannya yang masih belum terhapus dari ingatan hingga saat ini.
"Club ini milikku. Abi, kamu mabuk. Aku anter kamu pulang, ya?" Tangan Marisa mencoba meraih tanganku, tapi segera kutepis.
"Makasih, aku nggak butuh bantuan dari seorang penghianat?! Lagian, aku masih bisa pulang sendiri!"
"Aku sudah berpisah dengan suamiku ."
"Bukan urusanku!" Kepalaku semakin memberat, kini perut pun sudah merasakan mual. Aku menahan agar tidak mengeluarkan isinya saat ini.
"Bi, aku tahu aku salah. Maafkan aku! Aku anter kamu pulang, ya. Aku nggak mau terjadi sesuatu denganmu. Mobil biar orangku yang akan mengantarkan ke rumahmu." Marisa berusaha mengambil kunci kontak yang ada di genggamanku.
"Tidak perlu repot-rep--" Belum selesai kata-kata, mulutku telah memuntahkan cairan yang berasa asam dan pahit.
Melihat keadaanku, tangan Marisa langsung memijat tengkukku. Hingga cairan bercampur makanan yang berada di dalam perut kumuntahkan semua. Setelahnya, Marisa merangkul bahuku, lalu membimbing berjalan menuju mobilnya.
***
Tok ... tok ... tok ....
Pintu kamar diketuk. Efek dari kejadian semalam masih menyisakan rasa pusing. Kupaksakan membuka mata meskipun berat. Mataku mengernyit, silau karena cahaya matahari yang menembus masuk ke kamar melalui celah tirai jendela.
"Abi, udah siang. Buruan bangun, Sayang!" Terdengar suara Mami dari balik pintu.
"Ya, Mi. Abi udah bangun!"
Aku bangkit dari tempat tidur setelah melihat jarum jam di dinding menunjukkan angka delapan. Bergegas masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhku lalu bersiap untuk ke kantor.
Saat keluar dari kamar, Mami sudah menunggu di ruangan tengah.
"Sarapan dulu, Bi. Mami udah buatin nasi goreng ati kesukaanmu."
"Di kantor ada meeting, Mi. Abi udah kesiangan."
"Sarapan dulu pokoknya, titik!" Mata Mami membulat menatapku tajam dan kedua tangannya memegang pinggang. Kalau Mami sudah seperti itu, mau nggak mau aku harus menuruti.
"Iya, Mamiku sayang." Kucium kening orang yang telah melahirkan dan membesarkanku itu. Mami pun menarik lenganku menuju meja makan lalu mengisi piring dengan sarapan kesukaanku.
"Tadi Diandra telepon. Mami bilang kalau semalam kamu pulang larut dari club dalam keadaan mabok."
"Kok, dibilangin kalo Abi ke club dan mabok sih, Mi. Abi bilang ke Diandra acaranya di rumah Jhoni. Bisa ngambek Diandra, Mi."
"Biarin! Biar Diandra tahu kebiasaan jelekmu."
"Diandra udah tahu, Mi. Abi juga udah janji sama dia untuk meninggalkan kebiasaan jelek Abi."
"Terus kenapa semalam mabok!"
"Nggak enak sama Jhoni, kalau nolak."
"Marisa juga ikut bersama kalian? Kok, bisa dia yang nganterin kamu? Jangan bilang kalau kamu masih berhubungan sama dia."
"Nggak, kok, Mi. Abi ketemu Marisa di parkiran. Kepala Abi pusing terus Abi muntah-muntah semalam, nggak ada pilihan lain kecuali dianterin sama dia."
"Mami percaya sama kamu. Tapi inget, Mami nggak suka kamu berhubungan lagi sama dia!"
"Iya, Mi. Kan sekarang sudah ada Diandra."
Segera kuhabiskan sarapanku, mencium punggung tangan Mami, lalu pamit pergi ke kantor.
Abimanyu Diharja nama yang diberikan orang tuaku. Perusahaan yang didirikan, dibangun, dan dibesarkan oleh papi. Bergerak dalam bidang ekspedisi pengiriman barang, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Semenjak papi meninggal terkena serangan jantung tiga tahun yang lalu, akulah yang meneruskan jalannya perusahaan.
Ketika hubunganku dengan Marisa kandas, aku menjalin hubungan kembali dengan sekretarisku, Diandra. Perempuan cantik bermata indah, yang mampu membuatku jatuh cinta lagi dan perlahan mulai mengobati luka hati yang digoreskan Marisa. Perhatian, kesabaran dan kecerdasannya sudah banyak membantu dan merubah hidupku lebih baik dari sebelumnya. Membuat keyakinanku semakin mantap untuk segera melamarnya, Mami pun sudah merestui hubungan kami.
Kuparkirkan mobil di tempat parkir khusus. Sebelum keluar dari mobil, kuraih cincin yang kubeli dua hari yang lalu. Sebelumnya kami sempat melihat cincin itu terpajang di salahsatu toko perhiasan. Dari tatapan mata Diandra ketika itu, sepertinya dia menyukai cincin ini.
Kupandangi cincin berlian yang kini telah berada digenggaman, sambil membayangkan wajah Diandra. Setelah pulang kerja nanti, aku berencana akan mengajaknya ke sebuah tempat. Tempat yang akan menjadi saksi bukti cintaku kepadanya.
Ruangan kerja kami bersebelahan dan di dalam memiliki pintu yang menghubungkan ruanganku dan ruangan Diandra. Semenjak jadian dengannya aku lebih suka masuk ke ruangan kerjaku melalui ruangannya.
"Pagi, Sayang," sapaku. Setelah melihat Diandra sudah berada di ruangannya.
"Baru sampai?" tanya Diandra dengan tatapan mata masih fokus pada tumpukkan file.
"Huum" gumamku sambil menatapnya.
Diandra mengangkat kepalanya lalu membalas tatapanku dengan tatapan sebalnya, tapi entah mengapa meskipun begitu aku suka. Terlihat lucu dan menggemaskan.
"Aku kan sudah bilang. Jangan pulang malam-malam," ucapnya.
"Hehehe ...." Kubalas dengan hanya terkekeh seraya berjalan ke belakang kursinya. Kuletakkan daguku ke bahunya, lalu berbisik, "Maaf."
Diandra pun memutar kursinya membuat kami sekarang berhadapan. Segera kupegang pinggiran kursinya dengan kedua tanganku lalu mengunci netranya hingga kedua manik hitam kami bertemu.
"Maaf, aku janji nggak akan ngulangin lagi," kataku penuh penyesalan.
"Sudah sarapan?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, tapi belum sempat minum kopi," jawabku dengan wajah memelas. "Buatin aku kopi, mau kan, Di?"
"Sudah aku buatkan di dalam. Sana siap-siap, jam sepuluh kita ada meeting!"
"Siap, Sayangku. I love you," ucapku sambil mencium keningnya.
"Love you to," sahutnya. Itu berarti dia tidak marah, membuatku tersenyum bahagia lalu aku pun masuk ke ruanganku.
****
Setelah jam kerja usai, segera kutemui Diandra, takut dia langsung pulang. Karena meskipun satu kantor dan ruangan pun bersebelahan, kami tidak selalu pulang bareng.
"Tunggu aku di lobbi," pesanku kepadanya, lalu aku pun masuk ke ruangan kembali.
Masih ada beberapa dokumen yang harus kuperiksa dan kutanda tangani. Setelah semuanya selesai, aku merapikan meja kerja dan menyimpan berkas-berkas penting. Lalu bergegas keluar ruangan menuju lobbi.
Kupercepat langkah karena takut Diandra kelamaan menunggu. Dari kejauhan terlihat bidadariku yang sedang duduk di bangku tunggu lobbi. Setelah jarak semakin dekat tanpa disadarinya aku menghentikan sejenak langkah. Dress putih selutut dengan rambut yang dibiarkan tergerai serta bibir yang seakan-akan selalu mengukir senyum, semakin memancarkan pesona kecantikan. Membuatku tak pernah bosan memandangnya.
"Come on baby," ucapku, dengan tangan sebelah kiri terulur padanya. Diandra pun langsung menyambut uluran tanganku dan menggenggamnya erat.
"Kita mau kemana, Bi?" tanyanya saat kami sudah berada di dalam mobil.
"Kalau aku kasih tahu, bukan surprise lagi dong," jawabku sambil tersenyum jahil padanya.
Refleks, Diandra pun langsung mencubit lenganku, "Ampun, sakit, Sayang!" ungkapku sambil terkekeh.
Hari sudah hampir malam, jalanan Ibukota dipadati berbagai kendaraan. Sepanjang jalan tidak banyak obrolan antara kami, karena aku fokus menyetir dan memikirkan rangkaian kata yang tepat untuk kukatakan nanti kepadanya.
Tibalah kami di sebuah pantai. Kuhentikan laju kendaraan di parkiran lalu kami berjalan menyusuri tepian pantai tanpa alas kaki. Gemerlap cahaya bintang menghias langit, diiringi suara deburan ombak, memecah kesunyian pantai yang sedang sepi dari pengunjung. Dingin kurasakan saat air yang terbawa ombak ke tepi menyentuh kakiku.
Kupercepat langkah kemudian berhenti tepat di hadapan Diandra.
"Di, maafin aku, ya. Karena udah buat kamu kecewa. Aku janji nggak akan ngulangin kesalahan itu lagi," ucapku sambil menggenggam kedua tangannya.
"Jangan berjanji padaku, Bi. Berjanjilah pada dirimu sendiri. Apa yang kamu lakuin semalam itu, bukanlah sesuatu yang baik."
"Iya Di, aku janji nggak akan melakukan itu lagi. Kamu mau kan maafin aku."
"Aku udah maafin kamu, tapi aku kecewa, karena semalam kamu itu bilang kalau pestanya di rumah, bukan di club!"
Beberapa saat aku terdiam, menyesali perbuatanku karena telah membohongi Diandra.
"Di, maafin aku."
Aku pun berjongkok dengan lutut kiriku bertumpu pada pasir lalu mengambil kotak cincin yang telah kusiapkan sebelumnya di dalam saku kemeja.
"Will You Merri Me," ucapku sambil membuka sebuah kotak berbentuk hati.
"Maukah kamu menjadi pendamping hidupku, yang menemaniku dalam suka maupun duka. Menjadi Ibu dari anak-anakku kelak."
Dalam keremangan cahaya terlihat jelas kalau Diandra menganggukkan kepalanya. Segera kupakaikan cincin ke jari manisnya.
"Terima kasih," ucapnya pelan.
Aku pun bangkit berdiri dan memandangi wajahnya.
"Kenapa menangis?" Kuhapus air matanya dengan kedua ibu jariku.
"Aku bahagia."
Kucium kening Diandra, lalu kutarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Untuk beberapa saat kami larut dalam pikiran kami masing-masing.
"Sayang ...," bisikku.
"Yaaa," Diandra mengangkat kepalanya lalu menatap wajahku.
"Aku laper!"
*******