"Halo, Sayang. Kamu sudah sampai di kantor, belum?"
"Belum, Yank. Baru mau berangkat. Kenapa?"
"Kamu temeni aku ke Palembang hari ini."
"Ke Palembang? Kok mendadak, Yang? Ada apa?"
"Ada perusahaan yang mau kerja sama dengan kita. Kita nginep di sana. Siapkan keperluan kamu untuk tiga hari. Nanti aku jemput, sekalian minta izin sama Ayah dan Bunda."
"Iya, Yank. Aku siap-siap dulu, ya?"
"Oke, sampai ketemu nanti, ya?" ucapku, sebelum sambungan telepon kuputus.
Sebuah perusahaan besar di Palembang, ingin bekerja sama untuk mengirimkan produk mereka ke luar negeri, menggunakan jasa perusahaanku.
Untuk menandatangani kesepakatan kontrak, pemilik perusahaan tersebut ingin bertemu secara langsung, dan baru menghubungiku pagi ini, saat aku sedang bersiap-siap akan ke kantor.
***
"Hati-hati di jalan, baik-baik di sana. Titip Diandra ya, Bi," ucap Ayah, setelah kami keluar rumah dan akan menuju ke mobil.
"Iya, Yah. Abi akan jagain Diandra." jawabku seraya menganggukkan kepala.
"Jangan lupa telpon kalau sudah sampai, Dek!" pesan Bunda. Setelah mencium kening Diandra.
"Iya, Bun," jawab Diandra lalu mencium pipi dan punggung tangan Bunda.
"Yah, Bun, kami berangkat." ucapku berpamitan. Lalu mencium punggung tangan mereka secara bergantian.
Sebelum ke bandara, aku meminta Pak Adang mampir ke kantor terlebih dahulu. Untuk mengambil perlengkapan yang akan kami butuhkan nantinya. Sekalian memberikan tugas kepada salah satu karyawati untuk menggantikan pekerjaan Diandra sementara waktu.
Ketika aku dan Diandra lagi menyiapkan berkas-berkas yang akan dibawa. Terdengar suara pintu ruangan diketuk.
Tanpa kuperintah, Diandra bergegas membukakan pintu.
"Pagi, Di. Pagi, Bi."
"Pagi ... masuk Sa," jawab Diandra.
"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku tanpa melihat wajahnya. Tetap fokus merapikan berkas-berkas.
"Bi, Jhoni nelpon kamu juga kan?"
"Iya, tapi aku sudah bilang ke dia, kalau aku gak bisa ke lokasi proyek. Jadi kamu sama Dion saja yang berangkat." Seraya berjalan mendekati Diandra.
Ketika menuju ke rumah Diandra, aku menelepon Jhoni dan Dion. Memberitahukan kalau aku tidak bisa berangkat ke lokasi proyek, karena ada kerjaan dan akan menyusul setelah urusan di Palembang selesai. Mereka mau mengerti dan bisa memakluminya.
"Kok, nggak bisa! Kamu kan lagi gak sibuk, Bi?"
"Iya, aku memang lagi nggak sibuk. Diandra baru ulang tahun, jadi aku mau ngajaknya liburan. Iya, kan Sayang?" Kurangkul bahu Diandra, dibalasnya dengan tatapan heran, lalu kukedipkan sebelah mata dan melingkarkan tangan kanannya ke pinggangku.
"E-e-e, iya. Maaf ya, Sa?" jawab Diandra sambil menoleh menatap Marisa.
"Oo, selamat ulang tahun, Di. Maaf, aku nggak tau. Kok nggak ngundang saat pestanya?" ucap Marisa dengan senyuman yang agak dipaksakan.
"Nggak ngadain pesta, cuma dirayain sama keluagaku dan keluarga Abi, kok."
"Ngundangnya nanti, nunggu resepsi kita, tiga bulan lagi. Masih ada waktu buat kamu nyiapin kado!" lanjutku. Terasa cubitan di pinggang. Sakit, tapi kutahan.
"Ooo, selamat, ya? Untuk kalian. Semoga persiapannya berjalan lancar." Tatapan dan nada suara Marisa berubah sendu. Mukanya memerah dengan mata yang berkaca-kaca.
"Di, boleh aku ngomong sebentar berdua dengan Abi?" pinta Marisa.
"Bol--"
"Kami mau ke bandara, takut telat. Tau sendiri kan, jam segini jalanan sering macet!" kataku memotong perkataan Diandra.
Wajah Diandra terlihat bingung, seperti ada yang dipikirkannya. Aku memang belum menceritakan, kalau di antara aku dan Marisa pernah menjalin hubungan.
Tangan yang tadi merangkul bahu, kualihkan ke kepala Diandra. Menariknya sampai menyentuh pipi lalu megusap lembut rambutnya. Aku tidak ingin Diandra berpikir yang tidak-tidak tentang kami.
"Bi, please!" pinta Marisa.
"Aku rasa, percakapan kita cukup sampai di sini. Silahkan keluar sekarang!" tegasku, seraya melepaskan rangkulan pada Diandra. Kemudian berjalan menuju pintu dan membukanya.
Dengan langkah berat dan pandangan tajam menatapku, Marisa keluar dari ruangan. Terlihat sekali raut kekecewaan di wajahnya.
***
Pukul sembilan malam kami tiba di bandara Sultan Mahmud Badarudin II, Palembang. Dari bandara kami langsung menuju hotel yang sudah dipesan sebelum kami berangkat.
Selama di perjalanan dari kantor menuju Palembang, Diandra meminta dijelaskan kenapa aku bersikap dingin terhadap Marisa. Sebenarnya tidak ingin memberitahu yang sebenarnya. Karena aku dan Marisa saat ini sedang kerja sama. Takut nantinya Diandra curiga. Namun, dia terus memaksa.
Aku sangat bahagia mempunyai calon istri yang sangat pengertian. Sikap dewasanya membuatku tidak terlalu sulit untuk menjelaskan semuanya.
"Kita makan dulu, ya," ajakku begitu selesai chek in.
"Aku nggak laper, Bi. Aku mau istirahat aja," jawab Diandra sambil bergelayut manja pada tanganku.
"Kalau nanti lapar kasih tahu aku, ya, biar aku pesankan makanan," pesanku saat kami berhenti di depan kamar hotel.
"Siap, Boss!!" sahutnya dengan wajah menggemaskan.
"Mau ditemanin nggak tidurnya," ucapku menggoda.
Diandra langsung memasang wajah masam. Sontak membuatku tergelak.
"Sana masuk, istirahat," ucapku sambil mencium keningnya.
"Good night, Bi!" Diandra mengucapkannya setelah mengecup bibirku.
Saat ia akan berbalik, aku menahannya dengan melingkarkan lenganku di pinggangnya. Aku menariknya dan kini tak ada jarak antara kami.
"Bi ... ada orang di belakangmu," bisiknya pelan.
Ternyata tamu penghuni kamar di depan kamarku baru saja keluar, saat aku menoleh ia tersenyum malu. Setelah orang itu berlalu kami tertawa bersama, masih dengan posisi yang sama.
Setelah Diandra masuk. Aku pun segera masuk ke kamarku yang bersebalahan dengan kamarnya.
****
"Hallo, Yang. Sudah siap belum? Aku sudah di depan pintu."
"Udah Sayang. Kenapa nggak ngetok pintu aja, siii?"
"Hehehe ...." setelahnya langsung kuputus sambungan telpon.
Tak berapa lama pintu kamar Diandra pun terbuka.
"Cantik banget kamu, Yang. Mau tebar pesona, ya?"
"Ishhh, apaan, siii?" jawab Diandra tersipu.
"Yuk, berangkat!" kataku sembari meraih tangannya.
Kami pun langsung menuju ke kantor Pak Baskara, mengikuti alamat yang diberikannya. Menggunakan mobil rental yang aku pesan melalui pihak hotel. Setelah urusan semua selesai, beliau mengajak kami makan siang di resto yang berada di tepian Sungai Musi.
Hembusan angin yang masuk ke resto lumayan menyejukkan, ketika cuaca lagi panas di kota ini. Resto ini sepertinya di biarkan terbuka tanpa jendela, hanya dinding pengaman setinggi dada. Dari sini pengunjung bisa melihat langsung arus sungai ikon Kota Palembang. Bukan hanya Sungai Musi Jembatan Ampera yang membelah kota pun nampak sangat jelas.
"Setelah ini, langsung pulang ke Jakarta, Pak?" tanya Pak Baskara, saat kami berada di parkiran setelah selesai makan siang.
"Kemungkinan besok baru pulang. Mau keliling-keliling dulu di sini. Sekalian refreshing,"
"Baiklah. Kalau begitu saya duluan. Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan selama Bapak berada di sini, gak usah sungkan, hubungi saya saja,"
"Iya, Pak. Terima kasih banyak sebelumnya." jawabku sembari menjabat tangan Pak Baskara.
Aku sudah beberapa kali datang ke kota ini. Baik dalam urusan pekerjaan ataupun urusan lainnya. Bersama Diandra ini yang pertama kalinya.
"Mau langsung balik ke hotel atau jalan dulu?" tanyaku pada Diandra.
"Emang kamu tau, Bi. Tempat-tempat rekreasi di sini."
"Gak banyak, kok. Tapi lumayanlah, ada beberapa tempat yang pernah aku kunjungi."
"Ya, udah. Kita jalan dulu, ya? Masih inget kan jalannya?"
"Kalau nggak ingat pun, kan ada GPS?"
"Ihhh ...," kata Diandra sebel, tapi gemesin.
"Kita ke taman yang deket sini aja, mau nggak? Di sana banyak pohon, bisa neduh dulu sebentar. Setelahnya kita cari oleh-oleh buat di bawa pulang besok.
"Terserah, aku ikut, aja."
"Siap, Tuan Putri," kataku sembari merangkul dan mengajak Diandra masuk ke mobil. Kemudian melaju menuju taman yang kumaksud.
****
"Bi, ini Jembatan Ampera kan?" tanya Diandra saat kami akan menuju ke danau yang terletak di kawasan stadion kebanggan masyarakat Kota Palembang. Setelah mencari dan membeli oleh-oleh.
"Iya, itu ada tulisannya," jawabku sambil menunjuk tulisan nama jembatan yang kami lalui.
"Stop, dong. Aku mau foto!"
"Mobil nggak boleh parkir di sini."
"Yah, nggak bisa foto, dong?"
"Kalau mau foto, harus cari parkiran. Terus jalan ke jembatannya," terangku pada Diandra. "Nanti setelah pulang dari danau, kita cari parkiran yang deket jembatannya. Biar nggak terlalu jauh kita jalan." lanjutku.
"Beneran, ya?"
"Iya, Sayang." Mendengar jawaban dariku, Diandra pun langsung memeluk lenganku dan menyandarkan kepalanya.
Setelah mobil terparkir Diandra masih memeluk lenganku. Terdengar dengkuran halus, ia tertidur rupanya.
Kubatalkan niat ingin mengajak keluar dari mobil dan membiarkannya tetap terlelap. Melepas perlahan pelukan di lengan, lalu merangkulnya.
Kupandangi wajah cantik yang tersandar di dada, sembari membelai rambutnya. Diandra sepertinya sudah sangat kelelahan mungkin karena kegiatan dan perjalanan hari ini.
"Bi," ucap Diandra setelah aku mencium kening dan menyandarkannya di sandaran kursi mobil yang di dudukinya.
"Ya, Sayang. Kita pulang ke hotel, sekarang," jawabku, sembari menstarter mobil.
Suasana pun kembali hening, sepertinya Diandra kembali terlelap. Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang. Suasana jalanan menuju hotel pun tidak terlalu padat. Sesekali kupandangi wajah Diandra, saat cahaya lampu jalan masuk menerangi wajahnya.
"Sayang, bangun. Kita sudah sampai. Nanti lanjutin lagi tidurnya di kamar." ucapku sambil menyentuh wajahnya. Namun tidak di responnya.
Kuulangi lagi membangunkan, saat wajahku tepat di depan wajahnya tiba-tiba Diandra mengalungkan lengannya di leher. Tanpa aba-aba ia menciumku, awalnya hanya mengecup baberapa detik kemudian menjadi ciuman yang panas.
Aku menghentikannya saat kami berdua membutuhkan asupan oksigen untuk bernapas.
"Ayo, turun. Ini parkiran ntar ada yang ngintip." ucapku seraya berusaha melepaskan dekapannya.
"Gendong," lirihnya, kemudian mencium bibirku singkat.
"Nggak mau, malu di liatin orang."
"Aku gak mau turun kalo gitu."
"Ya, udah. Aku tinggal, ya?" kataku sambil membuka pintu mobil.
"Abi, tungguin!" teriaknya.
Tak kuhiraukan teriakan Diandra, sampai akhirnya dia menyusul dan meraih lenganku, kemudian bergelayut manja menuju ke kamar.