"Kau masih belum berubah, masih saja jadi pengecut!" umpatku pada laki-laki yang sedang meringis dan tersandar tak berdaya, setelah kuhajar di sebuah gudang dekat toilet.
Kupegang dan kunaikkan kepalanya yang sedang tertunduk. Memaksanya untuk menatapku, sehingga tatapan kami hanya berjarak beberapa senti.
"Untuk kali ini kau harus berurusan dengan kepolisian!" lanjutku sambil menatap tajam.
"Cukup, Bro! Dia biar aku yang urus. Kamu tolong Diandra!" ucap Dion sambil menahan laju tangan kananku yang sudah terkepal, hendak menghantamkannya kembali ke wajah lelaki itu.
Kudorong kepalanya dengan kasar, lalu menghampiri Diandra yang sedang terbaring tak sadarkan diri.
Melihat kondisi Diandra, muncul perasaan bersalah dan menyesal. Tak seharusnya dia lepas dari penjagaanku. Kalau saja aku tidak mengajaknya, kejadian ini tidak akan terjadi. Kurapikan gaunnya yang tersingkap lalu mengangkat tubuhnya.
"Bawa dia, Bro. Jangan sampai lepas! Jika terjadi sesuatu dengan Diandra, aku habisi dia!" titahku pada Dion.
Dion mengikutiku keluar gudang sembari menjepit leher lelaki itu dengan siku tangan kanannya.
Saat kami berada di luar gudang, Jhoni dan Marisa sudah ada. Mungkin karena lama kami tidak kunjung kembali, mereka menyusul ke belakang.
"Apa yang terjadi, Bro? Diandra kenapa?" tanya Jhoni saat melihatku membopong Diandra. Tak kugubris pertanyaannya.
"Di mana pintu daruratnya?" tanyaku sambil menatap Marisa.
"Di sana, ikuti aku!" jawab Marisa lalu melangkah ke arah sebelah kiriku.
Setelah membawa Diandra ke dalam mobil. Terlihat Marisa dan seorang security club menarik tubuh Jhoni yang sedang memukuli lelaki itu. Sedangkan Dion terus berusaha melindungi si brengsek itu dari amukan Jhoni. Tidak jauh dari tempat mobilku terparkir.
"Sudah cukup, Jhon. Hentikan!" teriakku sembari mendekat.
"Orang seperti dia harus diberi pelajaran dulu, Bro!" jawabnya dengan nada penuh emosi.
"Aku minta tolong, kalian bawa dia ke Kantor Polisi."
"Udah buruan Lu urus Diandra. Orang ini urusan kami," timpal Dion.
"Oke, Bro. Aku cabut duluan."
Kulajukan mobil ke rumahku, karena dengan kondisi seperti ini tidak mungkin untuk mengantarkan Diandra langsung pulang ke rumahnya.
Kutelepon Mami, menjelaskan secara singkat keadaan Diandra, lalu meminta tolong menghubungi dokter pribadi kami untuk segera datang ke rumah.
Setelah akan sampai ke rumahku Jhoni menelepon. Memberitahu kalo orang itu sudah di bawa polisi yang datang bersama Helen, beberapa menit setelah aku meninggalkan club.
***
"Ini minum dulu, Sayang!" pinta Mami sembari memberikan segelas air pada Diandra, yang baru siuman dan sedang berada dalam dekapanku.
"I-i-ya, Mi," jawabnya terisak, lalu meraih dan meminum air pemberian Mami.
Setelahnya kubenamkan kembali Diandra ke dalam pelukan sembari mengusap lembut punggungnya.
"Maafin aku, Di. Gara-gara aku, kamu harus mengalami kejadian ini."
Tak ada jawaban, hanya suara isakan yang terdengar. Diandra hanya mengangkat kepala dan menatapku. Tatapan yang membuatku semakin menyesal dan merasa bersalah. Kutangkupkan kedua telapak tanganku ke wajah cantik yang masih menyiratkan ketakutan itu, lalu menghapus air matanya dengan ibu jariku.
"Maafin, aku," ulangku kembali, sambil menatap dan mencium keningnya, lalu menariknya kembali ke dalam pelukanku.
Mami pun duduk bersama kami, mengusap lembut punggung Diandra. Setelah itu langsung menarik Diandra ke pelukannya.
"Pelakunya, sudah di Kantor Polisi sekarang. Jadi kamu nggak usah takut lagi," kata Mami mencoba menenangkan Diandra.
"Si-si-apa orang itu, Mi?"
"Dia temennya Abi. Biar nanti Abi yang cerita. Sekarang kamu tenangin diri dulu," jawab Mami sambil membelai Diandra.
Pelakunya bernama Riki, kami berteman sejak kecil. Ayahnya adalah sahabat papiku. Sejak SD sampai SMA kami satu sekolah dan entah mengapa hampir di setiap hal, dia selalu menganggapku saingan. Padahal orang tua kami ingin agar aku dan Riki bisa meneruskan persahabatan mereka.
Puncak perseteruan kami dimulai saat memperebutkan cinta Marisa. Marisa lebih memilihku membuatnya sakit hati. Sehingga dia berusaha membuat hubunganku dengan keluarga Marisa memburuk. Riki membayar sopir mobil ekspedisi perusahaanku, yang sedang memuat barang-barang milik perusahaan Ayah Marisa, untuk membawa semua angkutan mereka ke gudang miliknya. Setelahnya para sopir itu menghilang dan tidak masuk kerja lagi.
Karena barang kebutuhan pabrik tak kunjung datang, membuat hubungan kerja samaku dengan ayahnya Marisa sempat memanas. Beruntung kasusnya cepat terbongkar. Salahsatu sopir itu berhasil tertangkap polisi dan membongkar semua rencana jahatnya.
Mengingat dia adalah anak sahabat Papi dan semua barang-barang pun masih lengkap berada di gudangnya. Aku memaafkan dan memilih untuk tidak memperpanjang kasusnya.
Malam ini dia mengulangi lagi perbuatan jahatnya, ingin memperkosa Diandra. Beruntung Helen yang diancam dan di bawa oleh orangnya Riki berhasil kabur dan cepat menghubungi Dion, memberitahukan kejadian yang dialaminya.
"Begitulah ceritanya, Di. Aku tidak menyangka, Dia akan melakukan itu. Maaf, aku yang tidak menyadarinya." ucapku seraya meraih tangan Diandra.
"Iya, aku maafin,"
"Mami tinggal dulu, ya. Mami mau telepon Bunda, ngasih tau kalau kamu ada di sini. Sekarang sudah larut malam, takut bundamu khawatir," ucap mami sembari melepaskan pelukannya.
"Iya, Mi. Terima kasih," jawab Diandra sambil memandang Mami. Mami pun langsung meninggalkan kami. Setelah mencium kening lalu menghapus sisa air mata di pipi Diandra.
Kutatap wajah Diandra sambil menempelkan kedua tangannya di wajahku.
"Kamu gak benci aku kan, Bi?"
"Gak ada alasan untukku membencimu, Di. Malah aku takut kamu yang membenciku."
"Sebenarnya aku pengen marah sama kamu, Bi."
"Silahkan kalau mau marah. Aku terima, kok. Asal jangan benci aku."
Plakkk
Tak kuduga tangan Diandra yang tadinya menempel di wajah dengan cepat menampar pipiku.
"Silahkan tampar lagi, Di. Kalau itu bisa melampiaskan marahmu," Kutundukkan wajah, tak sanggup melihat tatapan tajam Diandra. Tatapannya seperti belati yang siap menghujam ke jantungku.
"Aku sayang kamu, Bi. Tak sanggup aku menyakitimu dengan kata-kataku," ucapnya sambil terisak. Lalu menarik kepalaku ke dalam dekapannya. "maafin aku, Bi," lanjutnya berbisik dan membelai rambutku.
"Kamu gak salah, akulah yang salah," lirihku dengan mata yang mulai memanas, terharu mendengar ucapan wanita yang sangat kusayangi setelah Mami.
Diandra meremas rambutku lalu menariknya ke belakang. Hingga memaksaku mengangkat kepala dan menatap wajahnya. Terlihat segaris senyum, melengkung di bibir tipisnya.
"Bi...," ucapnya sambil mencium dan mengusap lembut pipiku. Kemudian dia pun tertawa, membuatku kaget dan bingung.
"Kok, kamu ketawa? Apanya yang lucu?"
"Kamu yang lucu!"
"Kok, aku?"
"Iyalaaa, cowok kok nangis!" ucapnya sambil menjulurkan lidah.
Mendengar jawaban dan melihat ekspresinya, sontak membuatku kesal. Kutangkupkan tangan ke wajah Diandra lalu mengecup bibirnya. Diandra malah terkekeh kemudian membalas dengan menciumku.
Dalam hatiku pun berkata, "Rasakanlah pembalasanku. Muehehehe...."