POV Abimanyu
Besok kuputuskan untuk pulang, setelah empat hari berada di lokasi proyek. Lebih cepat dari rencana semula yaitu tujuh hari. Karena adanya kehadiran Marisa membuatku sangat tidak nyaman.
Awalnya aku tidak tahu, kalau Marisa juga ikut kerja sama dalam proyek ini. Jhoni baru memberitahu lewat telepon, pagi hari saat aku sedang bersiap menuju ke bandara.
Ingin membatalkan, tapi Jhoni meyakinkan kalau Marisa ikut bergabung murni sebagai partner. Dia tertarik dengan bisnis yang mau kami bangun, bukan karena ada maksud denganku. Jhoni juga berpendapat dengan bergabungnya Marisa maka modal awal akan semakin besar dan usaha yang akan dibangun akan lebih cepat berkembang.
"Sepertinya urusanku di sini udah selesai. Yang lain-lainya kuserahkan kepada kalian." kataku saat dalam perjalanan dari proyek menuju ke penginapan.
"Maksudnya, Lu mau pulang?" Jhoni menimpali dengan tetap fokus menyetir.
"Iya, mau ngapain lagi."
"Di sini banyak tempat-tempat yang indah, Bro. Gak mau jalan-jalan dulu sekalian refreshing?"
"Untuk saat ini gak, lain kali aja. Udah pegel--"
"Alaaah, pasti Lu kangen sama Diandra, kan? Baru berapa hari pisah, udah kangen. Dasar budak cinta! Klo gitu, gue ikut pulang juga, ya?" potong Dion sambil nyengir.
"Lah, kalau pulang semua siapa yang ngurus surat izin yang belum selesai?" Marisa pun ikut menimpali sambil menatapku yang duduk di sebelahnya.
"Kamu sama Jhoni!" jawabku.
"Tapi aku maunya kita pulang bareng, masa nanti aku pulang sendirian."
"Minta anterin sama Jhoni kalo gak mau sendiri!"
"Gak bisa gitu, Bi. Ini kan usaha kita sama-sama!"
"Ya, udah klo kamu keberatan aku mundur!"
"Udah ... udah, kok kalian malah ribut. Masalah surat izin gue sama Marisa yang urus. Kalian urus masalah pemesanan peralatan yang dibutuhkan," kata Jhoni menghentikan pembicaraan kami. "Lu gak usah khawatir nanti pulang ke Jakarta gue anter," lanjutnya lagi.
"Aku sama Abi aja yang pesen peralatan, kalian urus surat izin." protes Marisa.
"Tidak. Tetep aku sama Dion titik." tegasku.
"Aku setuju sama Abi dan Jhoni." kata Dion sambil memutar tubuhnya ke belakang, menatapku.
Marisa pun terdiam, karena tidak ada yang mendukung keputusannya. Terlihat raut kekecewaan di wajahnya. Dia pun memalingkan pandangannya ke arah luar melalui kaca pintu mobil di sebelahnya.
***
Semenjak Diandra pulang dari bandara, Marisa sudah menujukkan perhatian lebih. Membuatku semakin risih kepadanya.
Diandra cantik, ya, Bi," ucap Marisa saat pesawat sudah mengudara.
"Hemm," gumamku tanpa menoleh padanya.
"Kalian sudah lama berhubungan?" tanyanya lagi.
"Ya, dan sebentar lagi kami akan menikah!" jawabku sambil melihatnya sekilas.
"Maafin aku, Bi. Aku terpaksa ninggalin kamu dan menikah dengan Rey karena Papa punya hutang pada keluarganya. Aku melakukannya demi keluarga, Bi."
Aku tidak merespon ucapan Marisa dan mengacuhkannya.
"Bi!" Tiba-tiba Marisa menyentuh punggung tanganku.
Aku menatapnya sinis. Marisa langsung menarik tangannya.
"Apapun alasanmu, tidak ada pengaruhnya buatku, karena kamu itu seperti sampah yang sudah kubuang!" ucapku pelan tapi cukup tegas.
Wajah Marisa memerah, entah dia marah atau sedih aku tidak peduli. Dulu memang sangat mencintainya. Akan tetapi, setelah dia meninggalkanku begitu saja, rasa cinta berubah menjadi kebencian yang luar biasa.
Aku langsung memejamkan mata, pura-pura tidur. Agar Marisa tidak mengajak bicara lagi.
***
Semakin hari Marisa semakin berani menujukkan sikap agresifnya. Bahkan di depan Dion dan Jhoni. Awalnya aku hanya menganggap hal itu biasa. Namun, lama kelamaan aku merasa kalau Marisa benar-benar ingin mengulang kembali lembaran kisah masa lalu kami.
"Bi, nanti ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kamu--"
"Kecuali urusan proyek, aku gak mau!" kataku memotong perkataannya. Saat kami baru tiba di penginapan dan aku mau masuk ke kamar.
"Please, Bi!" pintanya sembari tangannya memegang lenganku.
"Tidak dan tolong lepaskan peganganmu!" Kutarik lenganku lalu melangkah masuk meninggalkannya.
Tubuhku sudah sangat lelah, punggung pun sudah terasa pegal-pegal. Ingin sekali langsung rebahan, tapi tubuhku gerah. Kuambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.
Setelah mandi dan baru saja akan memakai pakaian, terdengar ada yang mengetuk pintu kamar.
"Lagi ngapain, Bro?" tanya Dion setelah pintu kubuka.
"Baru selesai mandi. Masuk! Ada apa?"
"Ada yang mau bicara sama, Lu."
"Siapa?" tanyaku sambil memakai pakaianku.
"Makhluk yang paling cantik di antara kita,"
"Marisa? Udah, ah ... males gue."
Mendengar Dion menyebut nama Marisa, moodku jadi rusak ingin melanjutkan obrolan dengannya.
"Lumayan, Bro. Mumpung gak ada Diandra. Marisa juga gak kalah cantik, kok!"
"Lu, mau? Ambil aja!"
"Siapa, Diandra?"
"Enak aja, Lu! Marisa?!" tegasku sembari mengepalkan tinju dan menghadapkannya ke wajah Dion.
"Udah, buruan temui Marisa. Dia nunggu Lu di lobbi."
"Lu aja yang nemui dia. Terus bilang aja gue capek, mau istirahat."
"Tapi--"
"Gak ada tapi-tapi, buruan!" Kudorong tubuh Dion ke arah pintu, mengusirnya keluar dari kamarku. Lalu segera kututup kembali pintu dan menguncinya.
"Bro ... bro ... buka! Gue belum selesai ngomong sama Lu." Masih terdengar suara Dion dari luar sambil menggedor-gedor pintu, tapi tak kuhiraukan.
Kuambil gawai lalu menelepon Diandra. Ingin memberitahu kalau besok aku akan pulang. Beberapa kali kucoba. Namun tidak juga tersambung, hanya terdengar suara operator yang memberitahukan kalau nomornya sedang tidak aktif. Kurebahkan tubuhku sambil pikiran menerka-nerka kenapa nomornya tidak aktif sampai mataku pun terpejam.
***
Setelah tiba di bandara aku meminta salahsatu karyawanku untuk menjemput dan langsung mengantarkanku pulang.
Kutelepon Diandra, tapi nomornya masih tidak aktif. Ada rasa khawatir, karena semenjak semalam nomornya masih tidak aktif. Ternyata tidak ada sesuatu yang terjadi dengannya. Diandra masih tidur, kuketahui setelah aku menelepon bundanya.
Tak berapa lama setelah sampai di rumah, gawaiku berbunyi. Tertera nama Diandra di layar. Segera kusentuh tombol warna hijau. Rasa rindu semakin bergelora, membuatku ingin segera bertemu saat mendengar suaranya. Namun, Diandra menolak dan menyuruhku istirahat.
****
Kupercepat laju mobil, Dion memberitahu lewat telepon kalau sebentar lagi dia akan sampai ke kantorku.
Benar saja, saat aku mau masuk ke ruangan, Dion sudah berada di ruangan Diandra. Terdengar suara tawa Dion, sepertinya mereka sedang bercanda.
"Pagi Sayang," sapaku.
"Pagi," jawab Diandra singkat, dengan mata tetap fokus menatap monitor.
Ingin memeluknya untuk melepaskan rasa kangen, tapi tidak enak ada Dion.
"Kapan ya, aku punya sekertaris kaya kamu, Di?" ungkap Dion dengan wajah memelas.
"Jangan ngimpi!" ucapku sambil memukul wajah Dion dengan map yang ada di meja Diandra. Karena dia mencoba menggoda kekasihku. Kemudian langsung kutinggalkan mereka masuk ke ruangan.
Hari ini rencananya aku dan Dion akan mencari tempat membeli ataupun memesan segala keperluan proyek termasuk peralatan yang dibutuhkan.
"Dion cepat masuk, atau aku akan membatalkan kerja sama kita!" teriakku dari dalam ruangan. Karena Dion tak kunjung masuk ke ruanganku.
Beberapa nomor perusahaan yang menjual kebutuhan proyek, kami hubungi. Setelahnya kami akan mendatangi langsung perusahaan tersebut untuk melihat produk mereka.
"Di, aku sama Dion keluar dulu. Mau mendatangi beberapa perusahaan yang menjual kebutuhan proyek di Sumatera," kataku setelah berada di samping tempat duduknya Diandra.
"Aku gak diajak?" jawab Diandra seraya memutar kursinya menghadapku.
"Nanti, setelah pulang kerja, kita jalan," kataku sambil mengedipkan sebelah mata. "kalo aku belum balik ke kantor. Kamu jangan pulang dulu, tungguin aku di lobbi," lanjutku sambil menyentuh ujung hidungnya.
"Hmmm, iya. Hati-hati di jalan." Sembari tersenyum manis menatapku.
"Sabar mblo, ini ujian," ucap Dion sambil berjalan mendahului Abimanyu.