POV Diandra
Sudah hampir jam sebelas Abimanyu belum juga datang ke kantor. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku menelepon ke rumah, Mami bilang sudah berangkat dari pagi tadi.
Aku coba tanya Dion, jawabannya juga sama, ia tidak mengetahui keberadaan Abimanyu, perasaan tak enak tiba-tiba muncul. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya.
Jam istirahat berakhir Abimanyu tak juga nampak kehadirannya. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi mengerjakan pekerjaan.
Aku hanya bisa berdoa, semoga tidak terjadi hal buruk padanya. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini. Ada apa dengannya?
Sampai waktu pulang tiba, Abimanyu tidak juga datang. Aku segera merapihkan semua pekerjaan. Baru saja akan beranjak, ponselku berdering, panggilan dari nomor Mami.
"Iya, Mi," ucap setelah menerima panggilannya.
"Abi, Di!"
Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada Abimanyu.
"Abi kenapa, Mi?" tanyaku mulai panik.
"Nanti mami jelaskan. Di lobby supir Mami sudah nungguin kamu, ia yang akan mengantarmu ke tempat di mana Abi berada," jelas Mami.
"Baik, Mi!" sahutku cepat.
"Kamu hati-hati ya, Sayang, kita ketemu di sina," pesan Mami sebelum memutuskan teleponnya.
Aku langsung bergegas menuju lobby. Seandainya bisa aku ingin langsung menghilang agar lekas sampai di mana Abimanyu berada.
Sampai di lobby, supir pribadi Mama sudah menungguku. Tak menunggu lama mobil segera meluncur.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Abi, Pak?" tanyaku penasaran.
"Maaf, Non. Saya juga kurang tahu. Nyonya cuma menyuruh saya menjemput Non di kantor," sahutnya.
Jalanan petang ini cukup padat. Membuat perasaanku semakin tidak karuan. Sesekali aku memejamkan mata sambil berdoa semoga Abimanyu baik-baik saja.
Sekitar pukul tujuh mobil berhenti di sebuah rumah yang cukup besar dan mewah.
"Ini rumah siapa, Pak?" tanyaku sesaat setelah mobil berhenti.
"Saya kurang paham, Non. Tapi ini benar alamat yang dikirim Nyonya," jawabnya.
Aku segera melepas seatbelt. "Bapak nggak ikut masuk?" tanyaku lagi sebelum keluar dari mobil.
"Tidak, Non. Saya masih ada tugas dari Nyonya," jawabnya ketika membukakan pintu mobil untukku.
"Saya masuk dulu, Pak. Terima kasih," ucapku lagi. Pak Adang mengangguk dengan sopan merespon ucapanku.
Aku segera memasuki rumah besar itu. Gerbangnya seperti sengaja tidak dikunci. Gelap dan sepi, hanya lampu taman yang dibiarkan menyala. Sampai di teras aku mencoba menghubungi Mami tapi tidak diangkat.
Kuberanikan diri untuk masuk. rasa penasaran lebih dominan dibanding rasa takutku. Perlahan aku membuka pintu yang ternyata tidak dikunci juga.
Berbekal cahaya senter yang ada di ponselku. Aku mencari saklar lampu terlebih dahulu, agar mudah untuk melihat keadaan di sini.
Saat aku menekan saklar lampu, bersamaan dengan menyalanya lampu terdengar sorak bersamaan.
"Suprise!!"
Aku terkejut sekaligus terharu. Ternyata mereka sudah berkumpul di tengah ruangan. Di atas meja sudah ada kue tart yang indah bertuliskan nama dan umurku saat ini.
Mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun bersamaan. Bagaimana mungkin aku bisa lupa hari ulang tahunku. Ibu, Ayah dan Abang juga ada di sana.
Aku tidak bisa berkata-kata, air mata mengalir begitu saja. Bukan karena aku tidak menyukai kejutan ini. Tapi aku benar-benar terharu. Abimanyu menyiapkan ini semua untukku.
Perlahan ia berjalan ke arahku, dengan senyum tak lepas dari wajahnya.
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucapnya sambil mencium keningku. "Maaf sudah membuatmu khawatir."
Aku tidak menjawab, tapi langsung memeluknya. Dan semua yang hadir menyoraki kami.
"Baru beberapa jam nggak ketemu aja sudah kangen kaya gini!" ucap Abimanyu tiba-tiba sambil terkekeh.
"Ya sudah kalau nggak mau dipeluk," sahutku sambil berusaha mengurai pelukanku.
"Maaf," ulangnya lagi dan membalas pelukanku.
Abimanyu menuntuku ke depan meja tempat kue tart diletakkan. Setelah meniup lilin, satu-satu dari mereka memberikan selamat padaku.
Aku tidak menyangka Abimanyu sudah merencanakan semua ini dengan sempurna.
Setalah kami semua makan malam. Kami berkumpul di ruang tengah. Tiba-tiba Abimanyu bangkit dan menghampiri Ayah dan ibu. Ia berlutut di hadapan mereka.
Seketika suasana yang tadinya ramai menjadi hening.
"Ayah, Ibu. Ijinkan Abi untuk mengambil tanggung jawab atas Diandra. Abi berjanji akan menjaga dan membahagiakan Diandra seperti yang Ayah dan Ibu lakukan untuk Diandra."
Aku kembali dibuatnya haru. Air mataku kambali mengalir bebas. Mami langsung menyentuh punggung tanganku dan menggenggamnya seakan memahami isi hatiku.
Setelah Abimanyu selesai bicara, Ayah menatapku yang duduk di sebrang beliau. Tatapan penuh kasih sayang yang selalu ia tunjukkan padaku. Setelah menatapku beberapa detik, Ayah kembali menatap Abi yang masih berlutut di hadapannya.
"Terima kasih karena Nak Abi sudah memilih putri kami sebagai calon pendamping. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk Diandra. Dalam kesempatan ini hanya Diandra yang berhak memberi jawaban."
Ayah berbicara dengan penuh wibawa.
"Apa Adek bersedia menerima pinangan Nak Abi?" tanya Ayah sambil menatapku.
Rasa haru kembali menyelimutimu. Mami kembali mengeratkan genggaman tangannya. Aku menatapnya, beliau tersenyum sambil mengelus rambutku.
"Adek bersedia, Yah!" sahutku pelan.
"Alhamdulillah!" seru mereka semua bersamaan.
Mami langsung memelukku. Begitu pun Ayah. Beliau juga memeluk Abimanyu dengan sepenuh hati.
Malam ini resmi sudah Abimanyu melamarku. Akad nikah akan dilaksanakan tiga bulan lagi. Tepatnya setelah urusan proyek Abimanyu selesai.
***
"Pagi Nyonya Abimanyu," sapa Dion yang datang bersama Marisa dan Jhoni.
"Hai, Di!" Gantian Jhoni menyapaku.
"Pagi," sahutku dengan tersenyum ramah pada mereka.
"Apakah bosmu sudah datang?" tanya Dion.
"Sudah. Sebentar aku beritahu," sahutku dan langsung menelepon ruangan Abimanyu.
Abimanyu menyuruh mereka untuk langsung ke ruangannya. Dan memintaku untuk memesan minuman pada office boy.
"Silahkan masuk, Abi sudah menunggu di dalam," ucapku pada mereka.
"Terima kasih, Sayang," sahut Dion, sementara Jhoni tersenyum dan mengangguk padaku.
Sampai jam istirahat mereka belum ada yang keluar dari ruangan Abimanyu. Baru saja hendak beranjak telepon di mejaku berdering.
"Siap-siap sekarang, kita makan siang di luar," ucap Abimanyu di ujung telepon.
Belum sempat bertanya dia sudah memutuskan panggilan telepon. Aku pun kembali duduk di tempatku.
Tidak sampai lima menit, mereka akhirnya keluar dari ruangan Abimanyu.
"Yuk," ajaknya ketika sudah berdiri di depan mejaku.
Abimanyu mengajak makan siang di kafe langganan kami. Tempat yang sama saat ia menyatakan cintanya padaku dua tahun lalu.
"Abi, aku ikut kalian ya," ucap Marisa ketika kami selesai makan siang. "Dion sama Jhoni masih harus ke kantor. Apartemenku berlawanan arah dengan kantor mereka."
Abimanyu menoleh padaku, ia meminta persetujuan apakah Marisa boleh ikut dengan kami. Aku mengangguk pelan, itu artinya aku memperbolehkan.
"Makasih, ya, Di," ucapnya padaku.
Aku merespon dengan tersenyum. Wajah Abimanyu terlihat masam. Sepertinya ia tidak suka dengan Marisa.
Di dalam mobil kami saling diam. Abimanyu yang biasanya selalu berceloteh bila sedang berdua denganku entah kenapa kali ini ia lebih banyak diam.
Mobil Abimanyu berhenti di lobby apartemen mewah di daerah Jakarta Selatan.
"Kalian nggak mau mampir dulu, aku bisa siapkan kopi," ucap Marisa sebelum keluar dari mobil.
"Terima kasih, kami masih ada urusan," sahut Abimanyu tanpa menoleh padanya.
"Mungkin lain kali, ya." Aku menimpali.
"Baiklah. Terima kasih atas tumpangannya," ucapnya lagi dan langsung keluar dari mobil. Terlihat gurat kecewa dari wajahnya.
Setelah Marisa turun, Abimanyu langsung menjalankan mobil.
"Bi!" panggilku, karena sedari tadi ia hanya fokus pada jalanan di depan.
"Ya," sahutnya kali ini menoleh padaku.
"Kamu kenapa sama Marisa?" tanyaku hati-hati.
"Kenapa apanya?" Ia malah balik bertanya padaku.
"Aku mana tahu, Bi. Makanya aku tanya!"
"Jangan mikir aneh-aneh, kasian kesehatan batinmu, nanti," ucapnya dengan mengunci netraku, saat mobil berhenti di trafic light.
Aku mengangguk, Abimanyu mencium bagian samping kepalaku, sebelum kembali menjalankan mobil, karena lampu lalu lintas telah berubah jadi hijau.
Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Entahlah, seperti Abimanyu belum mau mencertikannya padaku.