Seorang pria tersenyum melihat bahwa gadisnya mendapat seseorang yang begitu baik hati seperti keluarga Daniel. Ia sudah lama merindukannya, dan sebentar lagi dirinya akan segera bertemu kembali dengannya.
"Sudahlah, biarkan dia bahagia dengan pilihannya, kau harus bersabar jika ingin segera bersamanya."
Mendengar suara dari seseorang yang sudah tidak asing lagi baginya membuatnya langsung menghela nafas sebelum akhirnya memutar tubuhnya ke belakang memandang pria tua yang saat ini sedang memerhatikannya.
"Tetapi sampai kapan? Aku sudah tidak bisa menunggunya lebih lama lagi, Ametsa pasti membutuhkanku, aku yakin itu."
"Oh, ya? Mengapa kau sangat yakin, huh?"
Kening pria itu langsung berkerut setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh seseorang yang berada di hadapannya saat ini.
"Ya, aku sangat yakin, tetapi kenapa kau berbicara seperti itu?"
"Pikirkan saja, menurutmu, mengapa gadis seperti Ametsa harus menjadi sebatang kara di usianya yang masih sekecil itu, apa kau tidak tahu?"
"Tidak, bagiku, kebahagiaan Ametsa ada pada kedua orang tuanya dan jika nanti aku bisa datang ke dunianya, aku akan mewujudkan harapannya yang selama ini gadis itu katakan kepada langit setiap malam."
Mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan oleh anaknya itu membuat pria tua tersebut tersenyum. Seakan memiliki sebuah makna dari balik senyumannya itu sehingga seseorang yang berada di hadapannya saat ini merasa tidak pernah memiliki sebuah jawaban dari setiap pertanyaannya.
"Tuan, kau bahkan tidak pernah memberiku sebuah jawaban tentang keberadaanku di sini. Kau hanya memberitahuku bahwa aku dilahirkan hanya untuk gadis itu, Ametsa. Entah kenapa aku merasa bahwa setiap tangisan yang dirasakannya, maka aku pun bisa merasakannya, aku sangat sakit melihatnya."
"Berusahalah, semua jawabanmu akan segera terjawab suatu saat nanti. Sekarang, kau hanya tinggal menunggu waktu yang tepat di mana aku bisa memercayakanmu untuk pergi ke dunianya."
Setelah itu pria tua tersebut langsung pergi begitu saja meninggalkannya dengan pandangan yang begitu sulit untuk dijelaskan. Sampai saat ini ia masih tidak mengerti tentang semua ini, hanya saja dirinya merasa terikat dengan gadis kesepian itu.
Tetapi, kenyataan terpahitnya adalah, dunianya dengan dunia Ametsa sangat berbeda sampai pria tersebut tidak tahu harus bagaimana.
Rasanya semua ini seperti tidak adil bagi seorang gadis seperti Ametsa, sangat menyakitkan sampai pria tersebut tidak bisa mencoba menyembuhkan setiap rasa sakit yang terarah kepada gadis itu.
"Siapa yang tidak tahu dengan kehidupan manusia sepertinya, anakku? Selama kau belum memahami apapun, apa kau masih bisa berkata yakin seperti yang kau lakukan tadi kepadaku?"
Suara pria tua tersebut tiba-tiba terdengar begitu saja dari dalam telinganya membuatnya langsung menatap sekeliling untuk mencari keberadaan dari Tuannya.
Akan tetapi tidak ada siapapun di sekitarnya sehingga membuat pria tersebut menghela nafas. Ia sangat lelah mencari tahu tentang semua ini dan dirinya masih terjebak dengan kesakitan karena tidak bisa melakukan apapun setiap kali Ametsa-nya merasa sedih.
Kini di dunia yang berbeda, seorang gadis yang bernama Ametsa sedang duduk di meja makan bersama Daniel dan kedua orang tuanya.
"Niel, Mamamu baru saja memberitahuku bahwa kau sudah membuat Ametsa kami menangis, apa itu benar?"
Suara Hanzo yang seakan mengintimidasinya saat ini membuat Ametsa langsung menoleh ke arah sahabatnya yang berada di sampingnya. Begitu pula dengan Daniel yang kini memandangnya sehingga kini keduanya saling menatap satu sama lain.
Pria tersebut yang menyadari bahwa saat ini kedua anak muda tersebut sedang saling memandang pun langsung berdeham sebelum akhirnya kembali menatap makanan yang tersaji di hadapannya itu.
"Niel," panggilnya sekali lagi. "Kau mau menjadi anak durhaka dan pembangkang, huh?"
Sadar dengan yang dikatakan ayahnya membuat Daniel kini langsung memandang seorang pria yang berada di hadapannya itu dengan gugup.
"Tidak, Pa. Aku ingin menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua."
Jawaban yang baru saja diucapkan oleh Daniel mampu membuat Meyra dan Ametsa ingin tertawa, begitu pula dengan Hanzo, tetapi pria tersebut masih bisa menahan dirinya sendiri.
"Bagus, lalu apa pembelaanmu kali ini, Daniel?" tanyanya. "Aku ingin mendengar yang sebenarnya."
Tanpa diduga salah satu pergelangan tangan dari Daniel digenggam oleh seseorang yang berada di sampingnya membuat laki-laki itu langsung menoleh.
"Ada apa?" tanyanya tanpa suara.
"Tidak,hanya ingin berkata bahwa aku percaya kau akan baik-baik saja, Daniel," ujar Ametsa menyemangati. "Aku akan selalu ada untukmu."
Laki-laki itu yang mendengarnya pun langsung menghela nafas sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih," ujarnya.
Hanzo dan Meyra yang melihatnya pun langsung saling menatap satu sama lain dengan senyum manisnya itu sebelum akhirnya kembali memandang kedua anak muda tersebut yang saat ini berada di hadapannya.
"Cepat katakan, Daniel. Aku tidak suka menunggu, atau kau lebih memilih untuk keluar dari rumah ini?"
Deg.
Kedua matanya langsung membelalak setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh pria di hadapannya itu sehingga kini Daniel merasa kebingungan karena tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskannya.
"J-jangan! Ya sudah, aku akan menceritakan yang sebenarnya," ujar Daniel dengan kepala yang tertunduk lesu. "Tetapi sebelum itu, aku ingin meminta izin kepada Ametsa terlebih dahulu."
Menyebut nama Ametsa membuat semua orang yang berada di meja makan itu memusatkan perhatiannya kepada gadis itu.
"Ametsa," panggil Daniel dengan serius. "Kau tidak keberatan, kan, jika aku mengatakan yang sebenarnya?"
Gadis itu melihat bagaimana kedua orang tua Daniel yang menatapnya dengan tidak biasa membuat Ametsa pada akhirnya mau tidak mau pun menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan.
"Jadi," tanya Daniel meminta kepastian. "Ya atau tidak?"
"Tidak, aku tidak keberatan sama sekali, lagi pula ini memang kesalahanku, bukan dirimu."
Tentu saja, mendengar hal tersebut membuat Hanzo dan Meyra langsung menatap putra semata wayang mereka yang saat ini sedang tersenyum tipis.
"Begini, aku akan menceritakan semuanya, tetapi meskipun begitu, Papa dan Mama tidak boleh menyalahkannya. Apa kalian bisa berjanji kepadaku?"
"Daniel," ujar Ametsa kepada seseorang yang berada di sampingnya. "Jangan lakukan itu."
Sementara laki-laki tersebut yang melihatnya pun langsung tersenyum, lalu Daniel menyentuh tangan milik Ametsa yang saat ini sedang menggenggam pergelangan tangannya tersebut.
"Tidak apa-apa, Ametsa. Kau yang bilang bahwa kau ingin berkencan dan aku tidak melarangmu lagi, itu hakmu, aku ingin mengerti itu."
Hanzo dan Meyra yang mendengar kata 'kencan' pun langsung menatap Ametsa dengan pandangan penuh selidik.
"Apa?!" ujar Hanzo dengan terkejut.
"Ametsa berkencan?!" sahut Meyra dengan pandangan tidak percayanya itu. "Padahal kupikir, waktu itu kau tidak benar-benar dengan perkataanmu itu."
Daniel yang melihat reaksi kedua orang tuanya pun kembali menghela nafas sebelum akhirnya menoleh ke arah samping dimana gadis tersebut berada.
"Apapun yang dia katakan, itu pasti kebenarannya, Pa, Ma. Apa kalian tidak menyadari betapa cantiknya Ametsa? Lagi pula, pria mana yang tidak menginginkan seorang perempuan seperti dirinya, gadis itu setiap hari menjadi incaran para pria di Cafe. Maka dari itu, aku sangat menjaganya."
Kedua mata Ametsa membelalak, lalu menggelengkan kepala dan berkata, "Apa?! Tidak, aku tidak seperti yang dibicarakan olehnya, Paman, Bibi."
"Ametsa, jangan mengelak. Mereka harus tahu betapa bahayanya di luar sana jika kau dibiarkan pergi kemana pun seorang diri, seperti yang baru saja terjadi beberapa saat yang lalu."
Seketika itu juga Ametsa langsung terdiam dengan kepala yang menunduk serta wajah yang cemberut. Berbeda dengan kedua orang tua Daniel yang saat ini melihatnya dengan bertanya-tanya setelah mendengar perkataan putranya.
"Apa yang terjadi?!" tanya Hanzo. "Ametsa, kau baik-baik saja, kan? Daniel, cepat katakan, apa yang sebenarnya telah terjadi kepada putriku?!"