Chereads / MARRY AN IMAGINARY HUSBAND / Chapter 40 - KAU TERLUKA, AKU MERASAKAN SAKITNYA

Chapter 40 - KAU TERLUKA, AKU MERASAKAN SAKITNYA

Kini keduanya sedang berada di balkon kamar, berdua memandang langit malam serta senyuman seorang Ametsa yang terasa nyata.

"Kenapa kau terus tersenyum?" tanya pria itu dengan kedua alis yang terangkat. "Aku perhatikan, setiap kau memandang langit malam, kau selalu tersenyum."

"Bukankah kau sudah mengetahui itu?" ujar Ametsa dengan satu alis yang terangkat. "Apa perlu aku jawab?"

Pria itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela nafas. "Tidak perlu, aku sudah tahu jawabannya. Karena seperti sudah menjadi rutinitas untukmu ketika menatap langit setiap malamnya."

Saat ini Ametsa menatap seseorang yang berada di sampingnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca, seolah menemukan sosok yang selalu diinginkan di harapkannya selama ini.

"Kau tahu segalanya, bahkan mungkin tentangku, seorang gadis kecil yang kesepian. Tetapi kenapa kau tidak pernah mau memperlihatkan wajahmu? Apa kau menyeramkan?"

Bukan bersedih karena perkataan terakhir dari Ametsa, akan tetapi pria itu saat ini merasa bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana untuk mengatakannya. Ini semua terlalu berat untuknya menjawab pertanyan yang baru saja ditujukan kepada dirinya, sehingga ia kini benar-benar merasa takut tidak bisa menjawabnya.

"Ametsa, aku ingin mengatakan sebuah kebenaran, di mana mungkin kau akan sulit memercayainya atau mungkin sebaliknya, aku tidak tahu. Tetapi, kumohon padamu, dengarkanlah selagi aku mau untuk mengatakannya."

Karena perkataannya itu, saat ini Ametsa dibuat penasaranakan apa yang hendak seseorang di hadapannya tersebut katakan kepadanya.

"Baiklah, aku akan mendengarkanmu. Apa yang kau tahu tentang dunia mimpi ini?"

"Bukankah tadi kau bertanya hal lain, lalu kenapa sekarang kau bertanya tentang dunia mimpi?"

Seketika gadis itu mengulum bibirnya dengan kedua mata yang menatap ke arah lain sebelum akhirnya berdeham dan kembali menatap seseorang yang berada di hadapannya saat ini.

"Jika kau tidak mau menjawab, sekarang giliranku yang memberi pertanyaan kepadamu. Sebenarnya ini sudah sejak lama aku ingin menanyakan hal ini, tetapi aku selalu lupa ketika sudah bersama denganmu, haha."

"Memangnya, apa yang ingin kau tanyakan?"

"Kau selalu berkata, bahwa aku tidak pernah memperlihatkan bagaimana wajahku kepadamu. Lalu kenapa kau masih mau berbicara denganku sedekat ini? Apa kau tidak merasa takut? Bukankah seharusnya kau lari dan berteriak minta tolong setelah melihatku?"

Mendengar hal tersebut membuat Ametsa menjadi berpikir, kedua alisnya langsung terangkat dengan kedua tangan yang melipat di dada.

"Hm, kau memang benar, tetapi kenapa aku baru terpikirkan sekarang, ya?"

Pria tersebut menaikkan satu alisnya dan berkata, "Lalu apa jawabanmu?" tanyanya dengan serius.

"Aku tidak tahu," jawab Ametsa dengan percaya dirinya. "Bahkan, aku baru menyadari ini setelah kau mengatakannya."

Setelahnya pria itu langsung menggelengkan kepala karena tidak mendapat jawaban apapun dari seseorang yang berada di sampingnya saat ini.

"Aku bukan manusia, jadi aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi sepertimu, Ametsa. Tetapi dari yang kutahu hanyalah, bahwa aku dilahirkan hanya untuk dirimu, itu saja."

"Kau selalu mengatakan hal yang sama kepadaku, sejak 12 tahun yang lalu. Bahkan, namamu saja aku tidak tahu, tetapi kau adalah untukku. Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini, tentang dunia mimpi ini, tengtangmu dan kenapa aku bisa berbicara denganmu di dunia yang akan sulit untuk dipercaya keberadaannya bagi manusia sepertiku."

"Memangnya kau akan mengatakan yang kau alami kepada siapa?" tanya pria itu. "Menurutmu, apa mereka akan mendengarkanmu? Apa mereka akan memercayai setiap yang kau katakan? Terlebih ini adalah dunia mimpi, di mana hanya kau yang bisa berada di sini."

"Hanya aku?" ujar Ametsa terkejut. "Kau sedang bercanda, kan?"

"Tidak, Ametsa. Aku benar-benar serius kali ini, hanya kau, maksudku, orang-orang yang terpilih. Aku ditugaskan terlahir ke dunia mimpi karena untuk menjagamu dan menemanimu."

Kening Ametsa langsung berkerut setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan pria misterius itu kepadanya.

"Apa kau yakin hanya itu yang kau tahu?"

"Ya, aku hanya mengetahui itu. Sebenarnya aku pun masih belum menemukan jawaban lainnya dari semua pertanyaanku. Yang aku tahu adalah, setiap kali kau menangis, aku merasakan sakitnya, begitupun sebaliknya. Aku ..."

"Apa?" tanya Ametsa dengan penasaran.

"Aku seperti terikat denganmu, Ametsa."

Deg.

Jantung Ametsa berdetak lebih cepat dari biasanya setelah mendengar pengakuan yang baru saja dikataan oleh pria yang saat ini berad di belakangnya.

"Tidak, itu mungkin hanya perasaanmu saja. Lupakan saja, aku yakin kau salah kali ini."

Pria tersebut yang mendengarnya pun seketika terdiam dengan pikiran yang terus mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Ametsa memanglah benar.

"Ya, kau benar, mungkin itu hanya perasaanku saja. Bisa saja apa yang aku rasakan ini salah, kau memang benar."

Meskipun, entah mengapa ada perasaan tidak rela ketika ia mengatakan hal tersebut sehingga dirinya kini menundukkan kepala berpura-pura tersenyum.

"Kau tahu bahwa aku tidak percaya pada semua ini, kan?"

Hening, membuat Ametsa langsung memutar tubuhnya ke belakang dan melihat seseorang tersebut sedang menundukkan kepala.

"Kau tidak mendengarkanku?" lanjutnya lagi. "Kau kenapa?"

"Ah, maafkan aku, Ametsa. Tadi kau bicara apa?"

Gadis itu yang mendengarnya pun langsung menghela nafas, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain sebelum akhirnya kembali berkata, "Kau thu bahwa aku tidak percaya pada semua ini, kan?" tanyanya sekali lagi.

"Y-ya, aku tahu itu. Kau tidak pernah berkata bahwa kau percaya pada semua yang terjadi saat ini."

"Bagus, semoga kau mengerti, karena aku butuh waktu untuk memahami dirimu."

Senyuman dari pria itu pun terbit begitu saja setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh seorang gadi yang berada di hadapannya saat ini.

"Kau tidak perlu melakukan itu, biar aku saja yang memahamimu, Ametsa."

"Apa?" ujar Ametsa terkejut. "Bukankah itu tidak adil?"

"Aku dilahirkan untukmu, itu artinya semuanya harus aku lakukan demi dirimu, termasuk kebahagiaanmu."

Ametsa menatap dalam seorang pria misterius yang berada di hadapannya saat ini, sudah selama ini, tetapi gadis itu masih tetap merasa kagum dengannya. Sosok pria yang begitu sangat diidamkannya sejak kecil.

"Kau seperti seorang Pangeran, sosok yang sudah lama aku dambakan sejak kecil, seperti dalam sebuah dongeng."

"Ametsa ..."

"Kau---" Belum sempat gadis itu melanjutkan perkataannya, pria di hadapannya tersebut langsung menggendong Ametsa kembali ke tempat tidur. "Kau harus kembali ke duniamu, selamat tinggal dan sampai bertemu lagi."

"T-tunggu!"

Setelahnya Ametsa tidak melihat apapun lagi, semuanya berubah menjadi gelap dan bertepatan dengan itu, ia mendengar suara Daniel yang mengetuk pintu membuat dirinya yang mengetahui hal tersebut langsung membuka kedua matanya secara perlahan.

"AMETSA, KAU BELUM BANGUN?!"

Ametsa langsung bangun dari baringannya, kemudian menguap beberapa saat sebelum akhirnya mengusap kedua matanya dan menoleh ke arah sebuah pintu kamar yang diketuk cukup keras dari luar.

"AMETSA!!!"

"AKU SUDAH BANGUN, PERGILAH!"

"BAIKLAH, AKU TUNGGU KAU DI MEJA MAKAN. JANGAN TERLALU LAMA KARENA KITA AKAN PERGI BEKERJA!"

"YA, AKU TAHU ITU. SUDAH, PERGILAH, AKU INGIN MANDI."

Di luar sana Daniel yang mendengarnya pun langsung menghela nafas lalu menggelengkan kepala sebelum akhirnya pergi dari hadapan kamar sahabatnya tersebut.