Suasana yang tampak sunyi dengan seorang pria yang masih memantau seorang gadis dari dunianya sendiri. Ia menghela nafas berat ketika mengetahui bahwa Ametsa sedang bersedih sehingga membuat dirinya sulit untuk kembali bertemu dengannya dikarenakan gadis itu yang belum juga tertidur.
Padahal ia sangat ingin menenangkannya dengan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, dan dirinya akan merasa sangat lega setelah itu.
"Sampai kapan kau akan berdiri di situ?"
Pria itu menghela nafas sebelum akhirnya berbalik untuk melihat seseorang yang baru saja mengajaknya berbicara.
"Aku hanya sedang melihatnya saja," jawab seadanya.
Di hadapannya saat ini hanya ada seorang pria yang sudah berumur ribuan tahun karena hidup abadi. Dia yang telah menjaganya selama ini membuat ia sangat berterima kasih kepada Pak Tua yang sudah mengurus dirinya.
"Sudah kukatakan, jika kau tidak mampu melihat penderitaan seseorang, janganlah sekali-kali kau melihatnya."
Pak tua itu melipat kedua tangannya di dada dengan tatapannya yang selalu membuatnya merasa bahwa pria tersebut adalah sosok yang jahat, tetapi itu semua tidak berarti karena kebaikannya yang selama ini selalu mengurus yang akan terlahir dan bertemu dengan pasangannya masing-masing.
"Aku ... tidak bisa membiarkannya terus-menerus, Pak Tua. Apa aku bisa segera bertemu dengannya?"
"Tidak," jawab Pak Tua. "Kau harus berbuat baik terlebih dahulu kepadaku, baru kau kuizinkan untuk berada di sana bersamanya."
Mendengar hal itu membuatnya tanpa sadar langsung mengepalkan kedua tangannya bersamaan dengan helaan nafas berat. Ia melihat Pak Tua yang sudah melangkahkan kakinya pergi setelah mengatakan seperti itu kepada dirinya.
"Ametsa," gumamnya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Tanpa Pak Tua, ia tidak akan tahu kelemahan dari dirinya sendiri.
Maka dari itu, terkadang ia selalu membenci kelahirannya dikarenakan dirinya yang tidak mampu melihat penderitaan dari manusia. Termasuk, seorang gadis yang bernama Ametsa. Padahal 22 tahun sudah berlalu, akan tetapi rasanya masih tetap sama dan tidak akan yang berubah.
Di sisi lain saat ini Ametsa masih memandang langit malam dari balkon kamarnya cukup lama, seperti tidak ada niatan untuk beranjak atau kembali menuju ke kamarnya untuk tertidur karena besok ia harus kembali bekeja di Cafe dan dirinya bertemu dengan Daniel.
Jika mengingat hari esok, pasti Daniel akan mengabaikannya, begitu pikir Ametsa. Yang jelas, ia tidak ingin kembali merasa diabaikan karena itu benar-benar membuat dirinya kurang nyaman.
Hingga dimana sesuatu baru saja mengusiknya seperti sebuah bisikkan yang mampu membuat Ametsa cukup terkejut.
"S-siapa?!" ujarnya sedikit berteriak. "Apa kau pria tampan yang berada di dalam mimpiku?!"
Tidak adanya sahutan dari seseorang tersebut yang membuat Ametsa langsung segera bergegas memasuki kamarnya dengan rasa panik yang luar biasa. Ia lebih baik segera tertidur dan bertemu dengan hari esok untuk bekerja sehingga bisa bertemu dengan Daniel.
Ametsa yang sudah berada di atas tempat tidur pun langsung menarik selimut dan memejamkan kedua matanya terlelap tidur. Gadis itu berharap bahwa ia tidak akan bertemu dengan seseorang yang begitu dikenalinya tersebut sehingga dirinya bisa segera berbicara dengan Daniel besok pagi.
Namun, harapannya itu tidak terlaksana dikarenakan ia yang ternyata malah berada di dunia yang sama dimana dirinya selalu bertemu dengan pria misterius tersebut.
"Ah, aku ternyata kembali ke tempat ini lagi," keluhnya sembari memejamkan kedua mata. "Aku harus segera pergi dari sini."
Tanpa gadis itu sadari sedari tadi ada seseorang yang berdiri memperhatikan dari kejauhan, ia mengepalkan kedua tangannya berniat untuk menghampiri Ametsa jika saja dirinya tidak ditahan oleh sesuatu.
"Jangan mendekatinya dalam keadaan marah, kau hanya akan membuat Ametsa semakin sakit, ingat itu."
"Tapi ini adalah kesempatanku untuk bertemu dengannya, Pak Tua. Hanya dengan begini aku baru bisa bertemu dengan Ametsa, dalam mimpi gadis itu sendiri."
"Percayalah padaku, atau kau hanya akan membuatnya menangis."
Setelah itu ia pun benar-benar melihat sendiri bagaimana Ametsa yang sudah pergi menghilang kembali membuat dirinya menghela nafas seketika. Kesempatannya untuk bertemu dengan gadis itu sudah hilang dan harus menunggu sampai kembali.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 dan Ametsa masih belum juga tersadar dari tidurnya membuat Daniel menghela nafas. Laki-laki itu sedari tadi mencoba menghubungi gadis itu, akan tetapi tidak ada satu pun di antara semua panggilan yang diangkat oleh temannya.
"Kamu sedang apa, Ametsa? Mengapa kamu tidak menerima teleponku sama sekali? Kamu membuatku cemas saja."
Daniel yang sudah rapi dengan pakaiannya seperti biasa, ia pun segera mengambil kunci motor dan berlalu keluar kamar untuk pergi menjemput gadis tersebut. Ketika melewati ruangan tengah, seorang wanita berbicara kepadanya membuat laki-laki itu dengan sangat terpaksa harus menghampirinya terlebih dahulu.
"Daniel, kamu tidak sarapan?" tanya seorang wanita yang sedang melangkahkan kakinya untuk mendekat.
"Mama, aku sepertinya tidak akan sarapan di Rumah."
"Apa?" ujarnya terkejut dengan kedua alis yang terangkat.
Kemudian kedua matanya memincing sehingga membuat seseorang yang berada di hadapannya saat ini langsung menghela nafas seketika.
"Apa terjadi sesuatu?" lanjut Meyra yang kini menatap putranya dengan intens. Pikirannya langsung tertuju kepada seorang gadis yang membuat wanita tersebut membelalakkan kedua matnya dan kembali berkata, "Apa Ametsa baik-baik saja?!"
Laki-laki tersebut yang mendengarnya pun langsung menghela nafas seketika. Ia benar-benar tidak bisa berlama-lama di sini karena dirinya sangat mengkhawatirkan keadaan Ametsa yang hanya tinggal seorang diri di Rumah sebesar itu.
"Ametsa baik-baik saja," jawab Daniel dengan tenang. "Aku akan berangkat pergi bersama dengannya."
"Baguslah, kamu harus segera menjemputnya sekarang."
"Aku memang akan datang untuk menjemputnya, tetapi Mama malah mengajakku berbicara."
Kedua alis dari Meyra langsung terangkat setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh seseorang yang berada di hadapannya saat ini.
"Apa? Jadi kau menyalahiku sekarang?"
"Iya," jawab Daniel spontan yang membuat wanita tersebut terkejut mendengarnya. "Eh, tidak. Aku tidak menyalahkanmu."
Melihat itu Meyra pun langsung menggelengkan kepala sembari tersenyum masam kepada putra satu-satunya tersebut. "Sudahlah, kamu lebih baik pergi saja."
"Terima kasih, Mama. Kalau begitu, Daniel pergi dulu."
"Ya, pergilah."
Dengan cepat Daniel pun melangkahkan kakinya menuju keluar Rumah dan segera menaiki motor kesayangannya tersebut yang berada di depan sana. Laki-laki itu sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan Ametsa, ia akan berbicara dan mencoba meminta maaf sehingga dirinya dan gadis itu terjadi kesalahpahaman.
"Semalam aku tidak bisa tidur dengan benar karena dirimu, Ametsa. Aku harap kamu baik-baik saja, tunggulah aku." Daniel menatap jalanan dengan fokus, tentunya juga dengan kecepatan di atas rata-rata karena laki-laki itu yang ingin segera sampai di kediaman gadis tersebut, "Aku akan segera datang, jadi bersabarlah sedikit."