"Ah, papa mama curang! Main sendiri tanpa ajak Lori." rajuk Lori sambil memanyunkan mulutnya dengan imutnya.
Richard memundurkan kepalanya setelah puas menikmati kulit istrinya lalu tersenyum pada putrinya untuk mengurangi rasa ngambeknya.
"Tentu saja tidak baby girl. Bagaimana kalau kita ke toko es krim? Kau mau? Kita sudah masuk ke daerah perkotaan."
Lori melirik ke depan dan memang benar apa yang diucapkan ayahnya. Banyak bangunan rumah serta gereja mulai bermunculan di kedua sisi.
"Yey! Makan es krim! Aku mau!"
Richard hendak bangkit berdiri untuk mengambil alih kemudi tapi ditahan Anxia dan Richard kembali duduk pada posisinya.
"Ada apa?"
Sret! Sret!
Tanpa menjawab Anxia mengelap tangan bekas saliva Richard ke kaos pria itu membuat Richard tertawa geli. Sementara Anxia memastikan tangannya bersih dari kuman sambil memasang ekspresi jijik.
Sungguh pria brengsek! Beraninya dia menyentuhnya berulang kali dihadapan putri mereka.
"Ada apa mama?"
"Tidak apa. Ada kuman bakteri di tangan mama."
"Kenapa dilapkan ke baju papa?" dengan mamasang muka polos, Lori kembali bertanya.
Anxia ingin menjawab dengan jawaban sarkas yang lain, tapi Richard telah mendahuluinya.
"Itu karena mama sangat menyayangi papa jadi tidak bisa berjauhan dari papa."
PLOK!!
Anxia memukul pundak Richard sekeras-kerasnya membuat Richard meringis dan Lori membelalak kaget. Ini pertama kalinya dia melihat langsung ibunya memukul seorang pria. Biasanya Anxia akan menyuruhnya masuk ke kamar atau menutup matanya ketika ibunya hendak menghajar seseorang.
"Wah, Xia Xia, apa kau tahu ini adalah kekerasan rumah tangga." Richard ikutan merajuk seperti putrinya sambil mengelus pundaknya yang terasa panas akibat pukulan istrinya.
Sepasang mata Anxia semakin melebar dengan murka menatap Richard tanpa bisa berkata apa-apa.
Richard menyeringai melihat wajah merah Anxia yang sudah dipastikan amarahnya akan meledak kalau dia meneruskan kejahilannya. Pada akhirnya dia memutuskan berhenti dan bangkit berdiri menuju ke tempat kemudi.
Melihat Richard kembali ke tempat kemudi dan tidak melanjutkan aksinya yang kekanakan, barulah Anxia bernapas lega. Dia bisa menjadi gila kalau terus-terusan berada bersama pria itu tanpa bisa membalas perbuatan pria mesum ini.
Lagipula kenapa putrinya harus memasang tampang tak berdosa dan menatapnya dengan puppy eyes seperti ini? Dia menjadi tidak bisa marah pada anak itu karena sepertinya putrinya telah mendukung Richard untuk membuatnya emosi.
Untunglah Anxia tidak tahu apa saja yang didalam pikiran putrinya saat ini. Sedari awal Lori memang sengaja mengajak foto dan juga… ehem… berpura-pura tidak kuat memegang tongsis tepat disaat dia menghitung di angka tiga.
Dia yakin sekali kedua orangtuanya sedang bermesraan seperti pasangan suami istri lainnya, itu sebabnya Lori tidak menoleh ke belakang dan berpura-pura berkutat pada tongkat tongsis serta hape ibunya.
Tapi siapa yang sangka, Richard malah mengerang kesakitan seolah habis mendapat pukulan yang keras. Lori langsung tahu ibunya penyebab rasa sakit pada perut ayahnya.
Lori yang pandai dan cerdik tetap bersikap tidak tahu apa-apa. Dia bahkan sengaja merajuk dan dipenuhi dengan rasa penasaran agar ibunya tidak curiga padanya.
Anxia yang malang. Bahkan putrinya sendiri berhasil menipunya jauh lebih tak kentara dibandingkan sang suami yang menjebaknya dengan permainan khas pria itu.
Kalau seandainya lawannya hanyalah Richard, Anxia bisa terus mencari cara untuk keluar dan meninggalkan pria itu. Tapi lawannya adalah putrinya sendiri. Kalaupun ia tahu Lori menipunya dengan memasang muka polos bagaikan malaikat seperti saat ini, Anxia ragu apakah dia tega memarahinya atau tidak.
Tanpa ia sadari, sedikit demi sedikit keinginannya untuk meninggalkan Richard semakin berkurang dan semua itu berkat keberadaan Lorein, putrinya.
"Mama? Mama pusing?"
Anxia menghela napas lalu menggeleng kepalanya dengan pasrah. Anxia melirik ke arah sekitar secara kebetulan saja karena ini pertama kalinya dia melihat bentuk bangunan di Belanda. Dia pernah ke Belanda satu kali untuk menjalankan misi dari master Yu. Tapi waktu itu dia datang di tengah malam dan membunuh target misinya lalu langsung kembali ke Hongkong sebelum jejaknya dilacak oleh pemerintahan Belanda.
Karena itu dia belum sempat melihat-lihat sekeliling ataupun berjalan-jalan di negeri bak negeri dongeng ini.
Bangunan disini lebih ke arah klasik dan menunjukkan khas bangsawan kuno dibandingkan negara Jerman. Di Jerman bangunan disana jauh lebih modern dan ada beberapa mall di kota-kota besar. Sementara di Belanda, tidak ada mall ataupun bangunan modern lainnya.
Bangunannya khas serta klasik membuatnya seperti berada di kerajaan fairytale yang pernah ia bacakan untuk putri kecilnya.
Anxia melirik Lori yang kini juga memandangi bangunan dengan mata berbinar-binar serta senyuman lebar. Hanya melihat senyuman putrinya, hatinya yang serasa panas akibat tingkah mesum suaminya kini telah padam dan dia tidak terlalu semarah beberapa menit lalu.
Anxia memandangi ke sebelah kiri dimana ada pejalan kaki yang berlalu lalang, ada juga yang naik sepeda dengan membunyikan bel sepeda untuk memperingati pejalan kaki. Suasana hari itu begitu santai dan damai. Cuaca hari itu juga tidak panas ataupun dingin, hari yang pas untuk berkeliling melalui jalur perairan kanal ini.
Namun tiba-tiba jantung Anxia serasa berhenti berdetak ketika ada sepasang mata mengawasinya dan dia sangat mengenali wajah orang itu.
Seorang pria mengenakan jaket hitam serta kacamata hitam memandang ke arahnya yang masih duduk di tempatnya dengan tenang. Ekspresinya tenang dan tak berubah namun sebenarnya punggung Anxia berkeringat dingin dan hatinya yang tadinya sudah sempat terbuka, kini tertutup dan membeku kembali.
"Coba lihat! Ada yang…" ucapan Lori terhenti sejenak saat melihat pergerakan tangan ibunya dibawah.
Ibunya memutar jari telunjuknya kearah bawah lalu membuka jari lainnya sebelum menutup membentuk sebuah kepalan seperti tinju. Kemudian dia membuka jari telunjuk lalu menunjuk ke arah Richard. Kemudian dia mengangkat jari jempolnya lalu tertekuk ke depan ke arah yang sama yaitu ke arah Richard.
Anxia telah memastikan bahwa hanya Lori yang melihat pergerakan tangannya, orang yang mengawasinya tidak akan melihat pergerakan jarinya.
Begitu selesai melakukan gerakan kode rahasia untuk putrinya, Lori langsung berjalan menghampiri Richard.
"Papa, aku juga mau coba menyetir."
Richard masih belum tahu apa yang telah terjadi dibelakangnya dan tersenyum sambil membawa Lori ke pangkuannya. Dia juga menuntun kedua tangan Lori memegang kemudi lalu berbelok-belok membuat Lori tertawa puas.
"Tadi ada apa? Kenapa kau berhenti bicara?"
"Ah tidak. Tadi aku melihat ada yang menerbangkan kertas."
"Kertas?" Richard menoleh ke arah sebelah kanan dimana Lori sebelumnya melihat pemandangan. "Ah, layang-layang."
"Layang-layang?"
"Hm. Kau belum pernah bermain laying-layang sebelumnya?"
"Belum."
"Kalau begitu hari Minggu nanti kita akan ke pantai dan menerbangkan layang-layang disana. Bagaimana?"
"Yey!!"
Richard serta Lori masih saling berbicara layaknya ayah-putri pada umumnya sementara Anxia hanya duduk diam di belakang bagaikan orang asing yang belum dekat dengan duo ayah-anak didepannya.
Ekspresinya memang datar dan tidak ada satupun ada jejak yang mengatakan bahwa dia sedang gelisah dan ketakutan. Kedua tangannya gemetar mencengkeram kain bajunya dan punggungnya berkeringat seolah cuaca disekitarnya membuatnya kepanasan.
Untungnya Lori tidak mirip dengannya, tetapi mirip dengan Richard. Jadi orang itu pasti akan mengira Lori adalah putri Richard dan bukan putrinya. Itu sebabnya dia memberi kode pada Lori untuk menjauhinya dan menempel pada Richard.
Kode rahasia yang hanya diketahui mereka berdua dan Lori akan menurut tanpa bertanya.
Ugh! Dia sama sekali tidak menyangka master Yu akan menyusulnya hingga ke Belanda.