Chereads / Awas, Papa! Mama Mau Membunuhmu!! / Chapter 54 - Bag 53 Richard Marah

Chapter 54 - Bag 53 Richard Marah

"Sekarang kau tahu kenapa kau akan menyesal jika membunuhnya. Jika bukan karena dia, aku sudah lama akan… Apa yang kau lakukan!?" pekik Anxia kaget karena tiba-tiba saja Richard kembali mendekat kearahnya sambil menahan kedua tangannya yang tadi sempat meronta.

Tidak ada jawaban dari Richard tapi Anxia tahu bahwa pria itu dipenuhi dengan rasa marah yang besar. Amarah pria itu terlihat jelas dari sinar mata coklatnya dan Anxia tidak bisa untuk tidak merasa takut menghadapinya.

Namun dia tidak ingin mundur ataupun terlihat begitu mudah dikalahkan, sehingga dia malah balik menatap pria itu dengan tatapan menantang. Justru karena sikap menantangnya inilah yang membuat Richard semakin geram.

Beraninya wanita ini ingin menggugurkan putrinya!

Richard sama sekali tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti dia akan mendapat kabar bahwa dia memiliki seorang anak, namun dia tidak sempat bertemu dengan putrinya karena ternyata sang ibu telah menggugurkannya!

Marah. Benci. Kalau seandainya Richard belum menyadari perasaannya yang sesungguhnya, dia mungkin akan membenci wanita ini seumur hidupnya karena pernah berpikiran untuk menggugurkan janinnya tanpa memberitahunya.

Kalau seandainya Richard tidak memiliki perasaan apapun pada wanita ini, Richard tidak akan ambil pusing untuk merayu ataupun memikirkan cara untuk membuat perempuan ini bersedia menikah dengannya.

Hati perempuan ini sudah sekeras batu dan terlalu kejam untuk berubah. Dia yakin, jika seandainya Lori tidak lahir kedunia ini, wanita ini bisa jadi meneruskan rencana balas dendamnya dan memikirkan cara untuk masuk ke tengah-tengah hubungan antara adik kembarnya beserta istrinya.

Untuk beberapa saat Richard menjadi ragu… apakah dia bisa menerobos masuk kedalam hati istrinya?

Apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Membawa seorang asasin professional kedalam keluarga adalah sebuah tindakan yang gegabah dan berbahaya.

"Apa yang kau inginkan? Lepaskan aku!"

Tanpa melepaskan cengkeramannya pada tangan Anxia, Richard memejamkan matanya untuk meredakan emosinya.

"Qiao Anxia,"

Mendengar cara pria itu memanggil namanya dengan suara dingin membuat bulu kuduk Anxia merinding. Dia tidak tahu apa yang membuat pria itu marah, tapi dia sangat tahu dia akan berada di situasi yang sangat tidak diuntungkan bila pria itu marah terhadapnya.

"Setelah ini aku akan membuat perhitungan denganmu."

Tanpa memberi Anxia kesempatan untuk meresponnya, Richard telah melepaskan cengkeramannya dan beranjak pergi keluar dari kamar.

Anxia mengelus pergelangan tangannya yang kini terdapat bekas merah melingkar seperti sebuah gelang.

Sebenarnya sedari tadi dia sudah merasa agak sedikit sakit begitu Richard mencengkeramnya dengan kasar seperti ini. Tidak. Rasa sakit yang dirasakannya bukan pada tangannya, tapi di sekitar dadanya.

Dia ingat, tidak peduli seberapa besar Richard meremehkannya atau marah padanya, pria itu tidak pernah berlaku kasar terhadapnya. Sikap pria itu memang menyebalkan dan luar biasa absurb. Tapi tidak pernah sekalipun Richard menyebabkan luka pada tubuhnya.

Kini melihat bekas kemerahan pada kedua pergelangan tangannya membuat dada Anxia terasa seperti dirajam oleh pisau. Dan dia tidak tahu alasannya.

Anxia bertanya-tanya, apa yang sudah membuat pria itu marah? Bukankah sebelumnya pria itu bersikap baik-baik saja? Anxia sungguh tidak bisa menemukan jawabannya.

Malamnya, Meisya mengundang semua penghuni rumah untuk makan malam bersama.

Seperti biasa Lori bersikap ceria dan selalu tersenyum lebar membuat suasana hati orang disekitarnya turut bahagia. Namun Anxia tidak bisa mengalihkan perasaan gelisahnya dan sesekali akan melirik ke arah suaminya.

Dia semakin kecewa saat menyadari pria itu sama sekali tidak meliriknya ataupun menggodanya seperti yang dilakukannya tadi pagi.

Bukankah pria itu akan tetap bersikap layaknya suami yang baik bila ada orang lain? Jangankan bersikap sebagai suami yang baik, pria itu bahkan sama sekali tidak meliriknya seolah dia sama sekali tidak ada.

Pada akhirnya Anxia mengalihkan perhatiannya pada makanannya namun sama sekali tidak berminat untuk menyantap makanannya. Dia hanya memainkan sendok diatas piringnya sambil termenung.

Saat ini posisi duduk mereka adalah Stanley berada di ujung meja sementara Meisya berada di kanan sang opa dan Richard berada disebelah kirinya. Harmonie duduk disebelah Meisya dan otomatis Anxia duduk bersebelahan dengan Richard. Menyisakan Lori yang kini didudukkan kursi tinggi khusus balita dan ditempatkan berhadapan dengan sang opa sementara sebelah kanan dan kirinya adalah ibunda dan bibi Harmonie.

Meisya yang pertama kali menyadari suasana tidak enak dari pasangan suami istri yang duduk diseberangnya. Karena dia tidak ingin anak durhakanya merusak suasana makan malam yang hangat, Meisya membuka suaranya.

"Kenapa kalian tampak tegang sekali? Apakah kalian bertengkar?"

Anxia merasakan punggungnya mengeluarkan keringat dingin begitu mendengar pertanyaan blak-blakan dari mertuanya. Dia tidak tahu harus menjawab seperti apa atas pertanyaan itu.

"Mama papa bertengkar?" karena tidak ada yang menjawab pertanyaan sang oma, Lori akhirnya mengulangi pertanyaan omanya sambil memandang kedua orangtuanya secara bergantian.

"Tentu saja tidak. Bukankah begitu, Qiao Anxia?"

Anxia mengerling kearah suaminya yang memanggil nama lengkapnya daripada 'Xia Xia'. Dia sendiri sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan lebih merasa nyaman jika pria itu memanggilnya dengan 'Xia Xia' dibandingkan dengan nama lengkapnya.

"Jika kau bilang kita tidak bertengkar, maka itu yang benar. Aku tidak ingin bertengkar denganmu."

Sebuah kilatan tertarik, terpampang tak kentara pada sepasang mata coklatnya. Sekarang istrinya mulai pandai mengumbar kata-kata yang enak didengar?

Sayangnya, Richard hanya menganggap istrinya hanya bersandiwara saja dan sama sekali tidak menganggapnya serius. Padahal saat ini Anxia memang benar-benar merasa tulus tidak ingin bertengkar dengan Richard dan sama sekali tidak mengira Richard malah menganggap ketulusannya adalah sesuatu yang tidak serius.

"Aku juga. Karena itu kami tidak bertengkar." kalimat terakhirnya lebih tertuju kepada putrinya dibandingkan istrinya.

Dia memasang senyum lebar pada Lori untuk meyakinkan putrinya bahwa dia tidak sedang bertengkar dengan Anxia.

Untuk menguatkan kalimatnya, Richard menusukkan daging dengan menggunakan garpunya lalu menyodorkannya kearah mulut istrinya.

Richard sengaja memilih potongan daging terbesar yang ia temui sehingga Anxia akan kesulitan melahap dagingnya. Dia menduga Anxia akan menolak suapannya karena dia sama sekali tidak mengharapkan istrinya akan memakan daging pemberian darinya.

Sementara Anxia sendiri merasa dilema dengan apa yang dialaminya saat ini. Dia tidak yakin apakah mulutnya bisa membuka lebar melahap daging yang disodorkan pria itu.

Kenapa pria itu memilih daging besar, sih? Masih banyak potongan daging kecil serta tipis disekitarnya, tapi kenapa pria ini memilih yang paling besar??

Anxia tidak berhak mengeluh dan dia tidak ingin menambah amarah Richard yang masih bisa dia rasakan dari tatapan matanya.

Anxia membuka mulutnya lebar-lebar dan melahap daging besar tersebut. Dia bahkan harus menggunakan garpunya sendiri untuk mendorong ujung daging yang masih belum bisa masuk kedalam mulutnya.

Dengan susah payah, Anxia mengunyah isi mulutnya hingga rahangnya terasa sakit. Karena tidak ingin membuat dirinya konyol dihadapan keluarga suaminya, Anxia pamit ke kamar mandi agar dia bisa mengunyah isinya dengan bebas.

Sementara itu Richard yang sempat terkejut karena Anxia melahap seluruh bentuk daging besar yang disodorkannya kini tersenyum miring penuh arti begitu melihat Anxia pamit pergi.

Sepertinya perempuan itu akan memuntahkan daging tersebut di toilet. Pikirnya dengan nada sarkas.