Chereads / The Last Curse at 17 / Chapter 1 - 1 (2012)

The Last Curse at 17

Delinqueents
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 22.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1 (2012)

Hai, selamat datang di ceritaku yang mungkin sebagian dari kalian berfikir bahwa ini semua hanyalah fiksi belaka. Tak apa, itu adalah pendapat kita masing-masing karena tak semua orang dapat mengalami atau membuktikan secara nyata dengan kelima indra yang selalu menjadi patokan logis bagi setiap orang. Tapi tidak bagi orang sepertiku, masih ada satu indra tambahan yang memaksaku percaya hal yang orang pikir tidak nyata. Aku, Delin Dwinaya, dengan 'kutukan' yang kumiliki dan kini telah berakhir pada 11 Oktober, Jumat Kliwon. Hari dan tanggal yang sama persis saat aku lahir.

.

2012

KRIIING!

Bel berdering panjang menandakan waktu istirahat tiba. Para murid yang berada di kelas maupun di lapangan bersorak ria, bangku dan meja berderit bergesekan dengan lantai. Anak-anak sekolah dasar dari tahun pertama hingga keenam berhamburan keluar kelas menuju kantin maupun lapangan untuk bermain.

Aku salah satu dari anak-anak yang berada di tahun kelima sekolah dasar. Baru seminggu lamanya tahun ajaran baru dimulai. Sekolah bukanlah tempat menyenangkan untukku karena aku bukan anak yang pintar bersosialisasi dan memiliki barang-barang ternama yang selalu diperbaharui oleh zaman. Aku bukan anak orang yang berekonomian lebih namun tidak juga menengah ke bawah. Aku jarang membeli makanan di sekolah karena ibuku membawakanku bekal dan rumahku tidak terlalu jauh dari sekolahku.

"Hai, boleh duduk di samping kamu?"

Aku mengangkat pandanganku dari bekal berisi roti selai cokelatku. Aku melihat wajah asing dan hawa tak nyaman di dekat orang asing ini. Aku tersenyum dan berusaha terkesan ramah sebagai kesan pertama.

"Namamu siapa? Aku Masitah, aku baru pindah ke sekolah ini hari ini."

"Aku Delin. Salam kenal ya."

Saat aku meraih tangannya yang terulur aku melihat anak-anak perempuan di kelasku sedang berbisik satu sama lain sambil memandang kearahku. Aku benci mereka tentu saja. Aku hanya memiliki teman yang bahkan dapat dihitung jari tangan tanpa tambahan, padahal ini adalah sekolah dasar keduaku setelah aku pindah dari sekolahku di kota karena letaknya terlalu jauh dari rumahku. Kutebak, tak lama lagi mereka akan memengaruhi pikiran anak baru ini untuk menjauh dariku. Aku tak pernah mempermasalahkan itu. Karena aku tidak suka keramaian dan bergaul dengan para rubah berwajah sembilan itu.

Benar saja, setelah guru masuk dan memperkenalkan murid baru yang kini menjadi teman sebangkuku anak-anak perempuan di kelasku berusaha mencuri-curi kesempatan untuk memanggil Masitah. Saat Masitah kembali ke bangku di sampingku, aku sudah siap mendengar permohonan tukar bangku dengan anak laki-laki.

"Ada apa sih dengan mereka? Kenapa mereka jahat sekali. Aku sangat tidak nyaman berada dekat mereka. Delin, jadilah temanku." Aku terbelalak melihat permohonan yang sama sekali berbeda dari yang aku kira, tapi mungkin itu hanyalah karena dia belum mengetahui aku. Dengan wajah tanpa ada keramahan yang kupaksakan aku menjawabnya.

"Jangan, konyol. Kau akan menyesal dan menarik kembali permohonanmu esok hari." Wajah Masitah terlihat memerah, mungkin ia akan marah padaku karena aku bersifat arogan.

"Baik! Kalau begitu, jika besok aku tidak menarik kata-kataku, apa aku boleh menjadi temanmu?" Aku menghela nafas mendengar kekeraskepalaannya dan hanya mengangguk. Karena aku tahu bahwa itu adalah hal yang tidak sembarang orang dapat lewati.

Aku membereskan barang-barangku ketika bel tanda pelajaran hari ini selesai telah berdering. Saat aku ingin keluar dari kelas, aku melihat Masitah di bawa oleh anak-anak perempuan itu. Mungkin dia akan dihasut lagi. Siapa peduli.

Langit terlihat sedikit mendung siang ini. Beruntung! Aku tidak perlu menyeka keringatku dengan lengan baju yang hanya akan membuat warnanya menguning. Langkahku seakan merajai jalanan tempatku berjalan. Aku tidak suka melalui jalan ramai yang hanya akan dipenuhi oleh anak laki-laki berisik yang berjalan searah dengan rumahku.

Aku melewati jalanan tanah tanpa aspal yang di kanan kirinya hanya ada rumah kosong, walaupun ada beberapa yang berpenghuni pada jam segini mereka masih belum pulang atau sedang tidur siang. Aku berjalan dengan kepala tertunduk. Aku suka melihat kakiku yang sedang melangkah.

Ciit!

Suara rem sepeda yang ditarik keras menginterupsiku. Aku melihat kearah samping. Benar saja, seorang anak laki-laki di kelasku yang menjadi teman sebangkuku sebelum Masitah datang, Akbar namanya.

"Lin, kok kamu lewat sini, sih?"

"Memang kenapa, Bar?"

"Aduh Lin, di sini itu nggak ada siapa-siapa. Kalau kamu kenapa-napa gak ada yang bisa nolong kamu, Lin."

"Nggak kok. Siapa bilang di sini nggak ada siapa-siapa? Orang aku kemarin lihat orang keluar dari situ." Ujarku sambil menunjuk sebuah rumah bercat putih usang. Pandangan Akbar mengikuti telunjukku, kemudian matanya membelalak.

"Heh! Ngaco kamu! Om yang tinggal di sana itu meninggal pas kita liburan semester!"

"Hah?"

"Kamu naik aja dulu yuk. Kuantar sampai jalan luar."

"Nggak ngerepotin?"

"Nggak lah. Kan searah rumahku."

Aku berusaha menyingsing rok merah panjangku dengan susah payah karena sepeda milik Akbar bukan sepeda yang memiliki tempat boncengan. Akbar mulai menggerakkan kaki dan lidahnya, ia mulai bercerita tentang kejadian yang dialami oleh orang yang tinggal dirumah itu.

"Ceritanya sempat hangat dibicarain kemarin, kok kamu bisa sampai nggak tahu sih?" aku hanya mengedikkan bahu.

"Jadi gini, menurut cerita yang aku dengar. Dia itu kerja di daerah kota A, terus dia pulang sangat larut sehingga jalan raya sekali pun mulai sepi pengendara. Di dekat kantor PLN, dia dirampok. Lalu perutnya ditusuk dengan benda tajam. Lalu beberapa hari kemudian, seseorang mencium bau tak sedap seperti bau bangkai yang menyengat. Orang itu mengajak beberapa orang di sekitar lokasi untuk membantunya mencari benda yang berbau busuk itu karena dapat memengaruhi hasil penjualan mereka jika pembeli mengeluhkan bau tak sedap itu. Jadi mereka mencari sambil mengikuti arah bau yang semakin menyengat. Lalu mereka menemukan seonggok mayat yang tubuhnya mulai dimakan belatung. Salah seorang dari mereka menghubungi pihak kepolisian. Tidak lama kemudian pihak kepolisian datang dan melakukan penyelidikan. Seperti itu."

Seketika aku merasa bulu romaku berdiri. Terasa hawa dingin mencekam di sekitar kami. Entah hanya perasaanku saja, tapi sepeda ini bergerak terlalu lambat. Badanku tidak sebesar itu untuk dapat membuat Akbar susah payah dalam mengayuh sepeda ini karena Akbar termasuk salah satu anak nakal yang kuat. Sebab jalan yang kami susuri hanya lurus, aku masih dapat melihat rumah itu jika aku menengok ke belakang, belokan masih jauh di depan. Tentu saja keinginan itu aku urungkan. Aku tidak seberani itu untuk menguji kekuatan mentalku.

Kletak! Kletak!

"Lin, ada Rahul atau Rama ya di belakang? Biasanya cuma mereka berdua yang berani lewat jalan ini selain kita."

Pertanyaan Akbar dan lemparan kerikil yang masih berlanjut membuat jantungku bekerja ekstra. Aku beranikan untuk menengok ke belakang berharap di sana kudapati dua makhluk berkulit gelap yang familiar selama dua tahun ini. Namun nihil. Ketika mataku menyusuri pandangan di belakang kami tidak ada siapa pun. Apakah mereka bersembunyi? Aku semakin mengedarkan pandangku. Dan ketika aku melihat sebuah bayangan, mataku memicing berharap dapat melihat dengan jelas bayangan itu. Namun yang terjadi hanyalah badanku kaku dan tanganku yang berada di kedua pundak Akbar mencengkramnya secara tidak sadar. Bayangan itu semakin terlihat jelas menampakan wujudnya keluar dari rumah putih yang baru saja kami bicarakan. Bayangan itu memperhatikan kami dengan mencekam. Aku terlalu takut untuk dapat berteriak maupun menggerakkan leherku agar berbalik menengok ke depan. Tidak lama kemudian pandanganku sudah tidak dapat menemui bayangan itu karena ternyata kami telah berbelok sehingga ilalang panjang menutupi pemandangan rumah itu. aku menghembuskan nafas dengan berat. Bahkan aku tidak menyadari jika sedari tadi aku menahan nafasku. Cengkraman tanganku pada kedua bahu Akbar melonggar. Seluruh ototku seakan berubah menjadi agar-agar. Aku memejamkan mataku sambil menunduk. Berusaha menenangkan dan merasionalkan pikiranku kembali.

Akhirnya aku sampai di depan rumah Akbar. Aku turun dari sepedanya dan berterimakasih atas tumpangan dan informasi yang telah ia berikan. Benar saja, dari sini aku sudah bisa melihat jalanan aspal. Aku kembali menapakkan kakiku menuju jalan aspal yang akan menuntunku ke rumah sambil bertanya-tanya. Hari ini bukan sekali atau sepuluh kalinya aku melalui jalan tersebut. Tapi, mengapa baru kali ini aku mengalami kejadian yang mengerikan seperti itu? Aku tidak berbohong ketika aku mengatakan bahwa aku melihat orang yang tinggal di rumah itu kemarin saat aku berjalan pulang sekolah. Aku melihat ia duduk menatap keluar jendela sambil memangku gitarnya. Kemarin wajahnya memang terlihat pucat membuatku berasumsi bahwa mungkin saja ia minta izin kerja karena sakit.

"Lin! Mau kemana?"

Sebuah suara familiar menginterupsiku. Aku menengok melihat ke arah tetangga sekaligus temanku sedari kecil.

"Mau pulang. Kenapa?" Seketika kami sama-sama melempar pandangan heran satu sama lain. Lalu ia menunjuk ke arah belakangku.

"Delin, ini depan rumahku, rumahmu sudah terlewati."

Aku terkejut dengan fakta itu. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku bahkan aku tidak menyadari aku sudah menyebrangi pertigaan padat itu. Aku tertawa kikuk sambil mengucapkan terimakasih kepada Sophia, tetanggaku itu. Aku berbalik dan berjalan lurus ke rumahku.

"Assalamualaikum."

Aku sampai di rumah, menghampiri kedua orang tuaku untuk mencium tangan keduanya. Lalu menyapa kedua adikku yang masih batita dan bayi. Aku memasuki kamarku yang berada di tengah-tengah ruangan sehingga tidak memiliki asupan udara segar yang cukup. Tidak bermaksud dibentuk demikian, hanya saja dulunya jendela kamar ini menghadap langsung ke halaman rumah, tapi kini halaman rumah itu telah diubah menjadi toko yang berhubungan langsung dengan rumahku. Keadaan ini membuat kamarku terasa pengap dan lembab. Dan banyak baju bergantung di kamarku membuat ruangan terasa penuh dan tak ketinggalan serangga penghisap darah yang setia menemaniku dari senja hingga pagi.

.

Suara azan maghrib berkumandang. Aku mengambil air wudhu dan bersiap untuk melaksanakan sholat maghrib di kamarku. Saat aku kembali ke kamar, samar-samar aku mencium bau tak sedap. Aku berasumsi itu hanyalah bangkai tikus yang bernasip sial memakan jebakan tempe dan racun tikus di atas plafon. Dengan cuek aku menggelar sejadah dan memakai mukena untuk melaksanakan sholat. Setelah sholat aku memakan makan malam lalu melanjutkan dengan belajar di kamarku. Saat aku duduk di kursi yang berhadapan dengan meja belajar, bau tak sedap yang tadinya samar kini semakin kuat. Aku mengambil pengharum ruangan dan menyemprotkannya di seluruh ruangan kamarku hingga bawah ranjang sekali pun. Aku membawa buku-buku pelajaranku dan membuka pintu kamar kakakku. Kamar ini kosong karena kakakku sedang berada di pesantren.

Aku melihat jam yang berada di gawai milikku, ternyata sudah lebih dari setengah jam aku berada di sini. Aku tidak ingin berlama-lama lagi berada di kamar ini karena aku merasa tidak nyaman jika tidak berada di kamarku sendiri.

Aku membuka perlahan pintu kamarku dan mengetik saklar lampu. Bau pengharum melati kesukaanku tercium di seluruh penjuru ruangan kamarku. Dengan bahagia, aku duduk di kursi belajarku. Saat aku sedang konsentrasi dengan tulisanku, aku merasakan geli di jari kaki kiriku. Aku mengernyit dan memiringkan badanku untuk melihat ke bawah meja belajarku, kakiku tepatnya. Aku terkejut dan melompat dari kursiku. Aku melihat ulat belatung di bawah meja belajarku yang berbaris panjang. Lalu aku mengikuti arah barisan ulat itu, dan aku mendapati asal muasal belatung itu dari bawah lemari kayu tua di kamarku yang sudah mulai keropos. Aku menjerit memanggil ibuku. Ibuku dengan terpogoh-pogoh mendatangiku yang berdiri di depan kamar dengan pandangan ngeri ke arah kamarku.

"Kenapa, nak?"

"Itu bu, banyak belatung dari bawah lemari kayu. Apa ada bangkai tikus, ya?"

Ayahku memasuki kamarku dan memeriksa di dalam maupun di luar lemari. Ibuku bertanya tentang kejadian ini. Aku pun menceritakan dengan detail kejadian dari aku sholat maghrib. Ayahku membersihkan semua belatung yang ada di kamarku, dan bau tak sedap itu sudah sirna. Aku pun kembali melanjutkan kegiatan belajarku yang tertunda.

Karena terlalu fokus belajar, tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.30 yang berarti sudah memasuki waktu untuk tidur. Aku mengemasi buku-buku dan alat tulisku ke dalam tas sekolah, dan bersiap untuk tidur.

Aku mengetik saklar lampu dan menutup pintu kamarku. Aku lebih suka pintu kamarku tertutup karena aku sering merasa ada yang memperhatikanku dari luar kamar walaupun di luar kamar terdapat orang tua dan kedua adikku yang tidur di sana. Aku menarik selimut dari kakiku dan membalutkannya hingga ke atas dada. Tak lupa aku membaca berbagai macam doa dan shalawat yang biasa aku amalkan setiap sebelum tidur. Saat aku memejamkan kelopak mataku, aku merasa ada yang memperhatikanku dari sudut ruangan ini. Bau tak sedap yang menyerupai belatung tadi muncul kembali. Tikus di plafonku berlarian sambil bercicit sehingga menimbulkan suara ribut. Suasana dingin mencekam kembali kurasakan. Dengan susah payah aku berusaha mempertahankan mataku agar tetap terpejam dengan hati yang terus berzikir dan membaca doa.Semakin lama bau tidak sedap itu semakin menyengat membuat pertahananku untuk mengabaikan semakin melemah. Akhirnya aku membuka mataku dan aku melihat sepasang mata merah menyala di sudut ruangan ini. Aku pun melompat dari kasur dan menyibak selimutku, membuka pintu, berlari keluar kamar.