Keesokan paginya dering handphone Shela berbunyi. Shela meraba-raba handphone nya sambil memejamkan matanya, ia bahkan belum sadar benar.
"Hallo?"
"Shela, what's wrong with you?"
"Hmt, Li... Apa maksud mu?" Shela langsung mengetahui siapa yang meneleponnya tanpa melihat layar handphonenya.
"Aku dengar kamu mau menikah... Memangnya kamu mau menikah dengan siapa? Kenapa tak bilang bilang sama aku dulu? Kau anggap apa aku, ha?..."
tit....tit... telepon terputus.
"Halo, Shela?... Hei..."
Ah dasar wanita gila, dia pasti sengaja menutup telepon dari ku. Aku harus pergi menemuinya...
Shela tampaknya kembali tertidur dengan pulas. Itu sudah jelas karena Willy meneleponnya pagi-pagi buta saat melihat pesan dari Dara.
Willy baru saja melihat notifikasi pesan dari Dara saat ia baru saja menyelesaikan deadline komik yang harus dia update. Jam pukul 4 pagi, tapi dia tidak bisa menunggu beberapa menit saja untuk tidak mengklarifikasi pesan dari Dara.
Willy yang bahkan belum tidur itu bolak balik berjalan di depan meja kerjanya.
"Ini tidak benar... Kenapa Shela ingin menikah tiba-tiba... Hah... ada yang salah dengan otaknya! Aku harus menemuinya sekarang juga..." Gumam Willy
Ia mengambil jaketnya dan berjalan lurus ke arah pintu keluar apartemennya. Namun saat hendak memegang ganggang pintu, ia kemudian terhenti.
"Tunggu, ini masih jam 4 pagi. Ah bagaimana aku bisa bertemu Shela di jam segini!" Pikirannya menghentikan langkah kakinya.
"Ah, Shela... kenapa kau selalu saja membuat ku khawatir sih... Tau ah..." Willy memukul ringan jidatnya dan kembali beranjak terjun ke ranjangnya.
Ia melihat ke langit-langit plafon apartemennya, "Apa dia tidak memikirkan perasaan ku ini ketika dia mengambil keputusan untuk menikah?" Gumam Willy.
Ia menutup matanya dengan tangannya dan tertidur karena kelelahan...
**
"Selamat pagi ibu, ayah, kak Dara..." Ujar Shela menyapa keluarganya di ruang makan keluarga.
Ia kemudian beranjak ingin mengunjungi dapur untuk mendapatkan sarapan juga.
"Shela kau mau kemana?"
"Aku mau ambil sarapan di dapur, ayah..."
"Duduklah, kenapa kau makan di dapur sedangkan keluarga mu duduk sarapan bersama di meja makan! Bi Ina akan membawakan sarapan mu. Jadi duduklah di samping kakak mu."
Shela terkejut, kenapa tiba-tiba ayahnya mengijinkan dia duduk sarapan bersama mereka! Walaupun demikian, Shela tidak menolaknya. "Baik ayah..."
Disisi lain Dara juga tercengang! Ayah yang selama ini mendiskriminasi Shela tiba-tiba saja berubah menjadi sangat ramah.
"Benar kata ayahmu. Kita kan keluarga, kenapa hanya kau sendiri yang makan di dapur! Mulai sekarang jangan lakukan hal konyol seperti itu lagi."
Dara melirik tajam ibunya. Ia tidak percaya ibunya bisa berkata-kata selembut itu pada Shela. Biasanya ia bahkan akan menganggap Shela itu tidak ada! Ia juga merasa jijik jika harus berada satu ruangan dengan putri bungsunya tersebut.
Diluar pemikiran Dara, tampaknya Shela sangat bahagia dengan perubahan sikap kedua orang tuanya. Namun ia tak pernah curiga mengenai perubahan sikap yang mendadak itu!
"Iya ibu. Saya akan ingat..." Ujar Shela sambil memperlihatkan senyumannya.
Dara memberikan senyuman hangat kepada adiknya yang mengambil kursi tepat di sebelahnya. "Selamat yah de..."
"Ini berkat kakak juga..." Ujar Shela.
Bi Ina kemudian mengantarkan sarapan untuk Shela. Itu pertama kalinya selama 23 tahun hidupnya, ia duduk makan bersama-sama dengan keluarganya.
Shela yang belum terbiasa, terdiam kaku melihat hidangan yang mewah untuk hanya sekedar sarapan. Sarapan pagi itu adalah Dimsum yang berisi segala jenis daging segar dengan bumbu penyedap yang menggairahkan. Hidangan itu disuguhkan dengan sepasang sumpit sebagai alat makannya.
Dan sejujurnya ia tidak bisa menggunakan sumpit! Biasanya ia hanya akan makan roti dan susu sebagai sarapan paginya sebelum beraktivitas. Karena tidak mendapatkan pelajaran tata krama saat makan seperti kakaknya, pengetahuan Shela sangat terbatas.
"Apa yang kau lihat? Makanan mu akan dingin jika kau termenung seperti itu, nak..." Ujar Ayahnya yang memberikan perhatian.
"Ah iya ayah..."
Shela kemudian mencoba menggerakkan sumpitnya dan diambilnya salah satu Dimsum yang ada di atas piringnya. Namun tampaknya ia tidak bisa mengambil satu pun Dimsum yang ada dihadapannya.
Ia merasakan bahwa pandangan ayah dan ibunya memandanginya dengan sangat.
Ia tampak kesulitan dan berkeringat dingin. Tiba-tiba saja ia takut bahwa ibunya akan membentaknya karena tidak tahu kode etik saat makan.
Ibunya lalu berdiri dari kursinya dan melangkah menuju ke kursi Shela. Sebenarnya itu melanggar aturan jika ibunya tiba-tiba berdiri mendahului ayahnya.
Langkah kaki ibunya semakin dekat, sehingga ia gemetaran.
"Sayang bukan begitu cara memegang sumpit! Nah, ini... makanlah..."
Ibunya menyuapi Shela dengan senyuman hangat.
Sesuatu yang tak terduga terjadi lagi. Shela memandangi ayahnya, ia takut jika ayahnya akan meledak karena ibunya bersikap kurang sopan. Namun tampaknya ayahnya pura-pura tidak melihatnya dan terus makan dengan santai.
'Hah... untung saja ayah tidak marah...'
Shela yang tadinya gemetaran mulai menjadi rileks. "Terimakasih Bu... Aku bisa makan sendiri, jadi ibu bisa kembali duduk..."
"Iya, ibu percaya padamu..."
Percayalah... Keluarga ini sungguh keluarga yang mementingkan tata krama di atas segalanya.
Dara menjadi semakin terganggu. Entah dia tidak bisa terima akan perubahan drastis kedua orangtuanya dalam semalam, atau ia sangat mengkhawatirkan Shela adiknya.
"Dara ada apa? Kau tampaknya banyak pikiran sayang... Apa ada yang menggangu mu?" Ujar Ibunya merespon, saat melihat Dara yang terdiam dari tadi.
"Tidak ada apa-apa Bu... Maaf ayah, bisakah Dara ke kamar duluan?"
"Tentu saja nak... Kau tidak perlu menunggu ayah selesai sarapan. Sebenarnya ayah juga sudah cukup kenyang. Jadi ayah juga akan ke ruangan kerja ayah."
Ayahnya kemudian berdiri dari meja makan. Hal itu membuat pergerakan serentak antara istri dan kedua anaknya itu pun ikut berdiri. Setelah Emel kepala keluarga beranjak pergi, Dara pun juga naik ke kamarnya.
"Shela, kau lanjutkan saja sarapan mu. Ibu akan keluar sebentar."
"Baik ibu."
Shela sangat bahagia, ia berpikir bahwa kini keberadaan nya telah diterima oleh keluarga tersebut.
Keluarganya masih sangat ketat soal kode etik. Etika yang sejak zaman nenek moyang telah di ajarkan kepada keturunan bangsawan sejak zaman dulu. Sehingga keluarga Raymond tidak bisa disepelekan begitu saja.
Getaran terasa di saku kiri Shela tiba-tiba. Tampaknya Willy meneleponnya lagi...
"Ada apa?" Tanya Shela ketus...
"Kamu bilang ada apa!"
"Ayolah, bicara to the point aja... Ini tidak seperti kamu yang biasanya!"
"Keluarlah sekarang juga..."
"Apa maksud mu? Tunggu, jangan bilang kamu ada di depan rumahku!"
"Kau memang selalu tahu diriku Shel..."
Shela dengan cepat menutup teleponnya dan berjalan keluar dari ruang makan, untuk menemui Willy.
"Ah, dia selalu tidak sopan. Bisa-bisanya dia selalu menutup telepon dariku tanpa aba-aba." Gumam Willy.
~To be continued