Aim berjalan santai menaiki tangga menuju tujuannya. Kamar Athan. Beberapa hari belakang mereka selalu keluar bersama dan kembali begitu saja tanpa membawa yang Aim inginkan. Tadinya ia berharap mungkin saja pertemuan Achlys dengan Ina akan terulang lagi dengan orang lain yang dikenal Achlys dan memberikan satu nyawa lagi padanya. Sayangnya kedua bocah itu tidak membawa apa pun bahkan oleh-oleh pun tidak. Ilithya sama tak bergunanya, memantau hanya untuk menginformasikan kegiatan Athan dan Achlys yang hampir selalu keluar untuk bermain entah di pusat perbelanjaan atau tempat lainnya, seakan melaporkan kedua pasangan yang sedang berkencan. Meskipun Ilithya memang melakukan tugasnya, Aim merasa malaikat itu menyembunyikan sesuatu darinya.
Pintu kamar Athan tak dikunci dan Aim langsung membukanya, mendapati taka da Ahan di sana. Aim menghela napas kesal. Tentu saja hanya satu tempat lagi yang sangat mungkin didatangi Athan. Kamar Achlys. Jadi Aim beranjak dari pintu kamar Athan, membiarkannya terbuka begitu saja, dan bersungut-sungut ke depan pintu kamar Achlys. Kenapa kedua bocah itu lengket sekali? Hari bahkan sudah malam, apa mereka belum puas juga seharian bersama dari pagi? Aim tak habis pikir. Dan pintunya terkunci dari dalam, membuatnya benar-benar kesal dan mendobrak buka pintu tersebut.
"Iblis memang tidak punya etika, ya."
Achlys menatapnya sinis dari tempat berdirinya di samping jendela, bersandar santai di sana diterangi cahaya bulan pucat. Ruangan gelap itu hanya mendapatkan cahaya dari jendela yang terbuka. Athan duduk di pinggir kasur Achlys dengan kepala tertunduk kaku. Ya. Sikap itu yang diharapkan Aim dari Athan.
Aim tak mengindahkan sindiran Achlys dan menghampiri Athan, berdiri diam sejenak di hadapannya, menusukkan tatapan tajam pada Athan yang hanya bisa terdiam kaku tak bergerak. "Kali ini apa yang kau lakukan?"
Achlys bersedekap dan mendesah pelan. "Apa lagi yang kau ributkan? Dia tidak melakukan apa pun. Urus saja malaikat kecilmu itu."
"Aku bertanya pada Athan dan aku cukup yakin dia mengerti apa yang aku tanyakan." Aim melirik Achlys, melemparkan tatapan jijik pada gadis itu. "Kenapa kau membiarkannya?"
Mata kanan Achlys sedikit berkedut menyadari lirikan Aim padanya. "Apa?"
"Jadi tidak masalah seorang lelaki memasuki kamar perempuan dengan pintu terkunci?"
Achlys mengerutkan kening tak suka, bibirnya melengkung membentuk cibiran. "Apa hubungannya denganmu? Kau bukan orangtuaku."
"Bagaimana bisa kau bertanya seperti itu? Makhluk ini masih punyaku." Melihat Achlys yang mengerjap terkejut, Aim melanjutkan dengan kembali menatap Athan. Ia mencengkram keras kepala Athan, menggeram kesal menahan amarah. "Kau lupa karena terlalu sering bersamanya? Makhluk ini milikku. Aku lah yang membuatnya. Jika dia berulah, itu adalah hakku untuk menghukumnya."
Kepala Athan di bawah cengkramannya sedikit bergerak yang Aim dorong ke bawah dengan kasar seraya melepaskan cengkramannya. Aim membungkukkan badan, membisikkan kata-katanya ke telinga Athan. "Inilah kenapa aku membencimu. Sepertinya selama ini aku terlalu lunak pada kalian berdua."
Aim menarik Athan berdiri, menuntunnya menuju pintu.
"Aim."
Aim menghentikan langkah dan menolehkan kepalanya, memberikan seringaian buas pada Achlys dan mendesis. "Apa?"
Gadis itu ragu. Aim dapat merasakannya, bahkan hanya dengan melihatnya pun ia tahu kenapa. Dan itu benar-benar membuat Aim muak. "Aku masih membutuhkannya."
"Aku yang akan memutuskannya. Lihat saja nanti," ujar Aim terkekeh seraya keluar dari kamar Achlys.
Sepertinya Aim dapat menebak apa yang terjadi, ia semakin tak sabar ingin menginterogasi Athan dan semakin mempercepat langkahnya ke gudang belakang tanpa menyalakan lampunya. Kegelapan sama sekali tak menghalanginya, namun Aim tahu Athan bukanlah makhluk murni seperti dirinya. Ia dapat melihat kerjapan bingung Athan yang melirik sekelilingnya dengan cemas. Aim suka itu. Memang sudah seharusnya makhluk itu takut padanya. Dan semakin lama, Athan semakin tak mematuhinya.
"Apa yang kau lakukan pada Achlys?" tanya Aim memulai interogasinya.
Athan menggeleng pelan, kepalanya masih tertunduk dalam dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku jaket. "Tidak ada."
Aim meraih kerah jaket Athan, menariknya mendekat hingga kepala Athan terangkat lemah membalas tatapan Aim yang tak dapat dilihatnya dengan jelas. Aim menahan diri untuk tidak mencekik leher Athan, ia khawatir amarahnya akan langsung membunuh makhluk itu. Atau mungkin sudah waktunya ia mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Tapi Aim tak ingin membawa Athan yang telah berubah ke arah yang tak diinginkannya, membawa perasaan yang dibenci dan ia buang berabad-abad lalu dalam bentuk makhluk di hadapannya sekarang.
"Jangan berbohong padaku, aku masih bisa membuatmu tak mampu melakukan apa pun lagi. Kau tahu itu."
Mulut Athan semakin menipis menahan bibirnya untuk mengatakan sesuatu yang tak ingin diucapkannya. Aim melihat itu, tentu saja. Sepertinya laporan Ilithya memang ada beberapa yang sengaja tak diberitahukan padanya. Apa mereka bekerja sama? Aim semakin geram memikirkan hal itu. Ia tak merasakan niat untuk memberontak dari Ilithya dan Athan. Ketidaktahuan dan diamnya Athan membuat Aim memperkeras gertakan giginya menahan kekesalan yang terasa sudah memuncak di kepalanya. Tangan kirinya siap untuk mengeksekusi Athan, tapi ia mengepalkan tangan, menahan emosi sekuat tenaga.
"Aku hanya ingin dia berhenti," ucap Athan lirih.
Aim sedikit terperangah mendengarnya. "Kau tahu apa yang bisa kulakukan padamu dan masih berani melawanku?"
"Kekuatanmu sudah lebih dari cukup. Untuk apa menginginkan lebih? Tidak ada yang bisa kau lawan lagi di dunia ini."
Kurang ajar sekali. Athan sudah berani membantah perkataannya. Lenyap sudah pertahanan Aim untuk menahan tangan kirinya menusuk menembus tubuh Athan, menghisap makhluk itu perlahan walau dengan kernyitan muak merasakan setiap partikel makhluk yang diciptakannya kembali padanya. Athan tak memberontak, sudah seharusnya begitu. Aim juga tidak mengharapkan Athan melawannya, tentu saja. Tapi tepukan pada bahunya membuat Aim tersentak kaget, tangan kirinya terlepas begitu saja dari tubuh Athan. Ia menoleh dengan kesal melihat Ilithya lah yang mengganggunya.
"Klienmu sudah bilang kalau dia masih membutuhkannya," kata Ilithya mengedikkan kepalanya pada Athan dengan ekspresi datar yang menyebalkan, sorot mata hijaunya dingin menusuk Aim yang menggeram kesal.
"Kalian semakin kurang ajar," geram Aim mengepalkan tangan kirinya, tak melepaskan cengkraman pada kerah baju Athan. "Bersiaplah mati kapan saja."
Ilithya tergelak kecil. "Tak perlu diingatkan soal itu. Sekarang hanya belum waktunya. Kurasa Achlys membutuhkan sedikit dorongan darimu seperti sebelumnya."
"Kupegang kata-katamu, Ilithya." Aim mendengus keras. "Kalian tidak akan kubiarkan mati dengan tenang."
"Baik sekali," gumam Ilithya yang hanya ditanggapi lirikan tajam oleh Aim.
"Ingat aku bisa membunuhmu hanya dengan mata itu."
Ilithya sedikit memiringkan kepalanya, menyentuh dahi tengahnya yang kini terbuka memperlihatkan mata merah lebar. "Tentu saja. Sekarang lepaskan dia."
Aim menghempaskan Athan hingga menabrak dinding di sebrangnya, menatap benci pada Athan yang terkapar di atas lantai, genangan darah merah di sekitar Athan masih tetap terlihat terang dalam kegelapan akibat cahaya bulan yang masuk dari pintu yang dibiarkan terbuka oleh Ilithya. Kemudian ia pergi keluar dari gudang meninggalkan Athan bersama Ilithya di sana, menghilang ke dalam bayang malam untuk sedikit menenangkan dirinya. Atau mungkin ia harus memikirkan cara terkejam untuk membunuh dua pemberontak tak tahu diri itu. [ ]