Chereads / Covenant / Chapter 21 - Epilog

Chapter 21 - Epilog

Tidak butuh waktu lama untuknya kembali ke rumah lama, tetapi membutuhkan lebih dari sekadar alasan biasa untuk meyakinkan Aim. Untungnya, alasan menutupi kasus Xander cukup untuk membuatnya bisa terlepas dari tatapan langsung Tuannya. Athan menapaki tangga ke kamarnya setelah mengunci semua pintu dan jendela dengan aman, memastikan tidak ada siapa pun yang mengikutinya.

Kamarnya tetap seperti terakhir kali ia tinggalkan, tentu saja. Mereka tidak membawa perabotan menyusahkan. Jadi di kamarnya masih ada kasur dan meja dengan bangu kecil di balkon. Athan menutup pintu balkon, menarik tirai hingga membuat ruangan gelap gulita di tengah hari yang terik.

Athan duduk di balik meja, tempat ia menemukan buku tulis kecil dengan halaman-halaman yang tercoret tulisan ceker ayamnya. Ia berusaha belajar, tapi tidak pernah berhasil sampai akhirnya Aim memberikan sedikit kebebasan langsung padanya. Athan membalikkan lembaran demi lembaran, melihat coretan dan gambaran hingga akhirnya ia menyerah setelah mencoba belajar selama kurang lebih tiga tahun sejak ia bertemu Achlys.

Sampai saat itu, Athan belum pernah belajar lagi, dan halaman buku kecil itu masih memiliki beberapa lembar yang kosong. Athan menarik keluar selembar kertas dari buku itu dan menarik pensil usang setinggi jari manisnya. Pensil itu tumpul, tapi Athan masih bisa menorehkan menggunakannya untuk menorekan beberapa kata. Ia tidak butuh menyerutnya, karena apa yang ditulisnya pada akhirnya hanya akan dibuang.

Athan memeriksa tulisannya setelah selesai, mengejanya sangat perlahan dan memastikan tidak ada kata yang salah. Walau tulisannya masih belum membaik, ia berhasil menyatukan huruf dan membentuk tiga kalimat. Banyak yang ingin ia tuliskan, tapi rasanya ia tidak sanggup. Terpikirkan olehnya untuk menggunakan rekaman radio, tapi ia tidak ingin Aim bisa melacaknya. Kertas bisa dibakar dan menghilangkan jejaknya. Ya. Jadi Athan menuliskan satu kalimat lagi yang memerintahkan untuk membakar kertas itu.

Athan memeriksanya lagi dan mengangguk puas. Tulisannya masih bisa terbaca. Ia yakin. Setelah menarik napas panjang, Athan menaruk kertas dan pensilnya, bangkit dari kursi nyaman di balik meja. Ia menghampiri tengah ruangan yang sedikit memberikan tempat untuk apa yang ingin ia lakukan.

Sekali lagi Athan menarik napas. Ia mengepalkan tangan. Sebersit pemikiran hampir menghentikannya. Apa jadinya jika Aim mengetahuinya? Athan tidak terlalu memusingkan nasibnya, ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya pada akhirnya. Tapi, bagaimana dengan yang lainnya? Bisa saja ia malah membawakan nasib yang lebih sial untuk orang yang ia selamatkan. Atau mungkin lebih buruk lagi.

Tapi sebuah pemikiran awal dari rencananya kembali menenangkannya, memperkuat keyakinannya. Athan harus melakukannya. Sekarang atau tidak sama sekali. Lakukan atau ia akan menyesal saat ia menjemput ajalnya yang tak lama lagi setelah kedatangan Aim.

Tirai jendela cukup gelap untuk menghalangi orang yang mungkin mengintip. Tetapi selama hidup di lingkungan itu, Athan tidak pernah menemui orang yang memata-matainya. Lagipula untuk apa memata-matai anak cacat seperti yang manusia lihat dalam dirinya? Tanda yang ia tinggalkan juga sudah Aim hapus. Aim bilang, ia tidak membutuhkannya lagi setelah Achlys. Satu lagi pernyataan yang menguatkan fakta ia akan kembali tidak lama lagi. Di satu sisi ia bersyukur ia akan terbebas, tapi di sisi lain ia juga merasa ingin berada di sini beberapa lama. Berapa lama tepatnya? Pertanyaan itu, Athan tidak dapat menjawabnya.

Sebelum niatnya surut, Athan memulainya. Ia melepaskan wujud manusianya dan kembali pada wujud yang dibuat Aim untuknya. Ia bisa saja terus menyimpannya, tapi mungkin akan terlambat untuk mengeluarkannya dan mereka malah mati bersama. Athan tidak ingin kecelakaan itu terjadi.

Mulutnya terbuka lebar, perutnya bergetar dan bergelombang. Athan tidak suka muntah. Ia sangat benci rasanya makanan yang seharusnya sudah ia cerna dikeluarkan lagi. Tapi waktu itu, yang keluar adalah sisa-sisa makanan yang sudah ia cerna. Dan kali ini, ia harus menyimpan makanannya dalam keadaan utuh dan mengeluarkannya dalam keadaan utuh pula. Awalnya ia ragu, bisakah manusia bertahan di dalam tubuhnya dan tergerus perutnya yang menggilingnya? Tapi kemudian Athan tersadar. Ia tidak mencerna. Ia hanya melahap. Ia bukan makhluk hidup yang benar-benar hidup. Ia hanya bayangan dari Tuannya. Tidak lebih. Jadi tentu saja ia bisa menahannya di dalam perutnya.

Begitu Athan mendorong dari dalam perut, keluarlah sesuatu yang ia simpan itu. Seorang manusia yang terbalut pakaian, tanpa ada luka yang menggores sedikit pun. Air liur? Athan tidak memproduksi air liur dalam tubuhnya. Ia hanya bayangan.

Dengan tangan besarnya, Athan memindahkan tubuh yang masih bernyawa itu ke atas kasurnya. Napasnya terdengar lemah, tapi setidaknya masih hidup. Athan kembali ke wujud manusianya dan tersenyum kecil. Ia mendekat dan menatap lebih dekat.

Setelah puas, Athan mengangguk dan menjauh. Unutngnya, Aim memutuskan untuk tidak menjual rumah Athan. Athan masih menyimpan banyak makanan di dapur. Dan di ruang bawha tanah juga. Athan tidak terlalu suka pergi keluar dan bertemu orang lain selain Achlys, jadi ia membeli stok makanan manusia untuk dirinya sendiri, berharap bisa memuaskan laparnya walau terasa hambar. Cokelat adalah kesukaannya. Ada banyak—banyak sekali—persediaan cokelat. Athan selalu memastikan makanannya tidak akan basi dalam waktu dekat.

Dengan meminjam kekuatan Tuannya, Athan meraih bayang-bayang dan menyebarkannya ke sepenjuru rumah, membelenggu penghuninya agar tidak bisa keluar, menciptakan bayangan samar agar orang di luar tidak bisa melihat rumah ini dan penguninya. Aim mungkin akan melihat dan memeriksa. Tidak apa. Setidaknya sekarang ia akan aman dari dunia luar. Dan Athan tentu saja akan melepaskannya. Atau belenggu itu akan hilang bersama dirinya.

"Aku pergi dulu," bisik Athan dan pergi meninggalkan manusia itu sendirian.

###

Hari itu seperti biasa, gelap dan sunyi, padahal lampu menyala setiap saat. Makanan tersebar di lantai, di tangga, di mana pun tempat yang masih kosong. Tapi sampah tertumpuk rapi di gudang belakang. Makanan yang berserakan di lantai terbungkus rapih. Walau terinjak sekali pun, makanan di dalamnya tetap masih bisa di makan.

Xander berbaring di sofa panjang ruang tamu, memasukan cokelat batangan yang hampir setiap hari ia makan namun tidak pernah membuatnya muak. Enak. Cokelat memang selalu enak. Layar televisi memberitakan seorang anak perempuan yang hilang bersama orang tuanya, menampilkan rumah asing yang di klaim angker oleh beberapa orang. Mereka mengatakan penghuni rumah itu aneh. Tamu yang pernah memasuki rumah itu tidak pernah keluar lagi, dan penghuninya tidak pernah terlihat lagi sejak itu.

Di selipan saku celananya, sebuah kertas menyembul. Kertas itu tidak pernah meninggalkan dirinya, ia selalu membawanya keliling rumah. Kecuali saat mandi, tentu saja. Xander menghela napas dan mengambil kertas itu, membaca tulisan yang hampir tidak bisa ia baca. Ia sudah membacanya berkali-kali, setiap hari, seakan berharap sesuatu akan terjadi sebelum ia akhirnya menerima nasibnya terkurung selamanya di rumah Athan. Xander membacanya lagi, kali ini ia merasa sedih daripada bingung ketika ia pertama kali membaca setelah tersadar.

"Anak perempuan yang hilang itu Achlys, kan? Apa kau memakannya juga, Athan? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian?" gumam Xander pada dirinya sendiri.

Awalnya Xander ketakutan, marah, kesal, kecewa. Tetapi kini tidak lagi. Sekarang ia menginginkan penjelasan lebih dari apa yang tertulis di kertas. "Tulisanmu tidak pernah membaik, ya. Kenapa kau tidak membebaskanku dari rumah ini? Apa kau akan kembali untuk memakanku lagi setelah Achlys?"

Seakan menjawab pertanyaannya, Xander merasakan cahaya yang masuk dari jendela terlalu terang dari biasanya. Ia merasakan bayangan yang membuat seisi rumah menjadi suram surut perlahan, menuju keluar melalui sela-sela dinding. Xander bangkit dengan takjub, kedua tangannya terkulai di sisi. Kertas itu terjatuh dari genggamannya, melayang turun ke lantai yang dipenuhi makanan.

Xander berjalan mendekati jendela. Pintu keluar berada dekat di sebelahnya, tapi mendadak ia kembali merasakan takut akan kematian, kegelapan yang melingkupinya saat terakhir kali ia terlahap makhluk menyeramkan yang sekarang ia tahu itu adalah Athan. Akankah Athan datang? Jika ia akan datang, bukankah seharusnya ia melarikan diri? Benar.

Tangannya bergetar meraih gagang pintu dan memutarnya membuka. Cahaya matahari menyengat kulit pucatnya. Matanya terbutakan oleh cahaya itu. Tapi Xander menerima semuanya. Ia tidak menamengi mata, tidak juga melindungi kulitnya yang terbakar. Ia malah membuka matanya lebar-lebar dengan mulut ternganga. Seseorang yang berjalan di depan pagar rumah tidak memedulikannya. Kendaraan yang lewat dengan jeda tak tentu tidak juga menghiraukannya.

Xander juga tidak peduli. Ia merasa kembali hidup yang memang benar. Ia berlari keluar dengan tungkai kaki yang sudah lama tidak ia gunakan untuk berlari. Napasnya dengan cepat menjadi berat dan tak teratur, tapi ia tetap memaksanya. Xander menyusuri jalan yang sangat dikenalnya bertahun-tahun selama hidupnya. Ia berlari hingga sampai di depan rumah dan melihat sepasang lansia yang juga menatapnya dengan takjub.

Pasangan itu mulai menangis, dan disadarinya ia juga mulai merasakan sesak di dalam dadanya. Xander membuka pintu pagar kecil rumahnya dan menyambut pelukan mereka, sepasang lansia yang merupakan orang tuanya. Selama sesaat, dalam pelukan mereka, Xander bisa melupakan kejadian yang menimpanya. Ia menumpahkan seluruh perasaan yang dirasakannya dalam tangisannya.

"Aku pulang."

###

'Maaf, aku tidak bermaksud membunuhmu, jadi jaga nyawamu baik-baik kali ini.

Jangan terlibat masalah orang lain lagi atau Achlys akan menyesal selamanya.

Kau ini menyusahkan saja.

P.S – Bakar kertas ini setelah kau membacanya atau kau tidak akan selamat.'

"Benar, dia tidak akan selamat. Kau bodoh, Athan. Kau pikir aku tidak tahu selama ini dia ada di sini?" Aim meremas kertas itu dan melemparnya ke pojok ruangan. Aim menyeringai dan terkekeh. "Tidak kusangka, dia akan jadi yang terakhir. Seharusnya kau makan saja dia. Kalau begini, aku harus membunuhnya di depan orang tuanya, lho." [ ]