Darah menggenang di lantai marmer, menciprati dinding, mewarnai aula luas itu dengan warna merah. Pilar-pilar besar menopang langit-langit yang berhias lampu gantung besar di tengahnya, pilar tersebut terpoles hingga mengkilap, mengalirkan darah kental yang perlahan turun ke lantai. Suara percikan air kental ketika melangkah di atas genangan darah tersebut menggema di seisi aula yang hening. Puluhan pasang mata memperhatikannya di setiap sudut dan pinggir aula, berjalan santai menghampiri tubuh yang tergolek sekarat tak jauh di hadapannya. Dua pasang mata menatapnya dari atas singgasana megah, terpisah berundak-undak tangga tinggi dari tubuh yang terlumur darah.
Tidak ada senjata, hanya kedua tangannya yang lengket karena darah yang bukan miliknya. Langkahnya berhenti tepat di sebelah tubuh itu yang terbatuk mengeluarkan gumpalan darah lainnya, tanpa daya menatap seseorang yang menjulang di atasnya. Sebuah pedang di lantai tergolek tak berguna di dasar undakan tangga, bahkan tak ada noda darah barang sedikit pun. Sebuah lubang menganga di dada, terus mengucurkan darah dan memperlebar genangan darah.
Hening. Tak ada suara, bahkan tarikan napas sekecil apa pun tak terdengar di telinga tajamnya. Waktu seakan berhenti ketika ia berlutut, menodai celana dengan darah kental, menarik tubuh berlubang yang masih susah payah mempertahankan napas, membuai lembut di lengan kirinya dan menatap manik mata merah redup tanpa emosi.
Pemilik tubuh itu kembali terbatuk, lebih pelan dan lebih memilukan, dengan tangan terangkat menggapai pipinya, menorehkan noda lain di wajahnya. "Aim."
Begitu namanya disebut, telinganya kembali bekerja, pusaran suara riuh tepuk tangan berdengung menyebalkan. Teriakan terdengar tak bermakna, bergaung jauh. Hanya suaranya yang bisa ia dengar, memanggil namanya berkali-kali dengan mata hampa dan tangan menggaruk sisi pipi Aim.
Aim mengangkat satu tangannya yang gemetar, menggamit tangan yang terus menggapainya. "Aku di sini," bisik Aim lirih, ia hampir tak bisa mendengar suaranya sendiri.
Suara itu tertawa, setengah tersedak darah yang ingin dikeluarkan mulutnya. "Kau menang. Ingat janjimu."
Aim menggertakkan giginya, sekuat tenaga menahan ledakan emosi yang menyesakkan dan mengaburkan penglihatannya. "Ya," bisiknya lagi. "Athan."
Degukannya memuntahkan darah dan untuk terakhir kalinya menghembuskan napas. Aim tak membiarkan dirinya berlama-lama. Ia meletakkan jasad itu, melangkahinya dan menaiki undakan tangga menuju dua pasang mata merah yang menatapnya tajam dari atas. Seakan dirinya hanyalah serangga di bawah sepatu mereka. Langkahnya mantap, tangan terayun, kepala dan punggung tegak, tanpa menundukkan pandangan sedikit pun.
Mereka tersenyum. Itu lah yang mereka harapkan. Tapi ketika Aim menusuk dan memakan kedua pasangan tersebut, itu bukan lah yang mereka harapkan. Aula sunyi sekejap mata, tergantikan dengan teriakan dan suara kematian. Mereka saling membunuh. Dengan tangan maupun senjata terayun, mengambil setiap nyawa yang dengan senang hati ia lahap.
Tak ada jeda. Ia tak memperbolehkannya. Tubuh-tubuh yang terjatuh tak bernyawa ikut membanjiri lantai dengan darah. Tak ada dari mereka yang tersisa. Begitulah seharusnya. Pembersihan. Mereka pantas mendapatkannya. Lima lainnya berkecipak menghadapnya dari bawah undakan tangga, menatap menunggu perintah lain. Anak buahnya yang idiot dan setia. Sistem kasta kerajaan.
Aim menyingkirkan tubuh lelaki tua renta itu dari singgasana, membiarkannya berguling di tangga dan jatuh ke genangan darah di bawah. Ia duduk di sana, menatap anak buahnya, sama seperti kedua pasangan yang tadinya menduduki singgasana. Kepala bertumpu pada satu tangan di lengan singgasana, satu tangan lagi meraih mahkota berdarah di kaki singgsana dan menaruhnya di atas kepalanya sendiri.
Sambil mendengus, menatap bosan dan benci pada kelima bawahannya, ia mengulurkan tangan. Seluruh kegelapan dalam bayang-bayang yang melingkupi aula menurutinya, mengumpul di bawah telapak tangannya yang semakin ia angkat, membentuk sebuah entitas tak bernama yang berdiri menjulang di hadapannya. Ia mendengar suara terkesiap di bawah, tapi ia mengabaikannya.
Entitas itu tak memiliki mata, hanya rongga kosong. Maka Aim memberikannya kemampuan melihat dengan bayangannya. Entitas itu tak memiliki telinga, lagi hanya rongga kosong. Maka Aim memberikannya kemampuan mendengar dengan balutan bayangannya. Entitas itu memiliki hidung tanpa rongga. Dan Aim kembali memberikan kemampuannya, berbagi bayangan dengan dirinya. Meluruhkan apa yang membentuk dirinya hingga saat ini, meninggalkan ia hanya dengan kebencian dan dengki.
"Athan, makan mereka semua. Makan semua yang kau lihat. Jangan sisakan setetes darah pun dari mereka."
Perintah mutlak yang tak bisa dibantah tanpa adanya kemampuan untuk memutuskan apa pun. Makhluk itu bergerak perlahan, menyeret dan menggumpalkan bayangan pada dirinya, membesarkan tubuh dan membentuk dirinya sendiri, menuruni undakan dan melahap yang bisa dia lihat. Baik yang hidup maupun yang mati. Dan kembali pada penciptanya, menggunakan apa yang telah diberikan, mewujudkan keinginan sang penciptanya, melebur dan memantulkan rupa yang telah ia lahap.
Aim menyeringai dan terkekeh. "Mari berburu lagi. Ada burung yang ingin kupelihara."
###
Sinar cahaya rembulan yang pucat mengguyur tubuhnya yang terdiam, berlutut, menatap langit tanpa arti. Mulutnya menganga, tangan terkulai di sisi. Sebilah sabit tergeletak di hadapannya, perlahan meredup dan menghilang. Empat pasang sayap putihnya merontokkan bulu hingga lenyap tak bersisa. Dengan suara retak patah dan robek, dua sayap kirinya menghilang dalam kegelapan, dua yang tersisa meredup dan terentang kaku tanpa guna. Ia tak bisa menggunakannya lagi. Ia tak bisa kembali. Satu pesan yang sangat jelas. Ia dibuang.
Mata hijaunya menggelap dan membelalak, tenggorokkannya mengeluarkan decit menyedihkan, air mata bening berubah menjadi darah, tangan menggapai dan menggaruk udara, lutut menggesek tanah dan menorehkan luka yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan. Benaknya memanggil, namun tak kunjung mendapatkan balasan. Hatinya memohon, namun hanya kehampaan yang menyapunya. Dalam kekalutan, sosok itu menghalanginya, memunggungi rembulan, menutupinya dengan bayang besar yang tak lagi ia hiraukan. Ia terus menggapai, mendorong sosok itu untuk menyingkir.
Tangan dingin itu menyentuhnya, menggapai uluran tangan yang tak pernah ia maksudkan untuk disentuh makhluk hina itu. Tapi entah bagaimana, rasa dingin itu berubah menjadi hangat, menjalar ke dalam sanubarinya, memberinya pemahaman yang memukul dirinya jauh di dalam jiwanya. Ia telah terbuang, dan rasa dingin menjadi kehangatan baginya.
"Ilithya," sapa sosok itu selembut mungkin. Perlahan menekuk lutut dan menyejajarkan mata mereka. "Ikutlah denganku."
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu," balas Ilithya dalam bisikan benci, mengejutkan dirinya sendiri. Ia tak pernah merasakan kebencian sebegitu dalam sebelumnya. Ia telah terbuang, dan hatinya menjerit tak menerimanya. Ia menjadi sama seperti sosok hina di hadapannya. "Ini semua karenamu, Aim. Untuk apa kau membuat makhluk itu?"
Aim hanya terkekeh menanggapinya, membelai dahi Ilithya dan menanamkan matanya di sana. Belenggu abadi yang tak pernah bisa ia lepas. "Menyenangkan rasanya, akhinya aku bisa menyentuhmu tanpa harus terkena sabitmu. Bagaimana rasanya, terbuang dan menjadi makhluk hina sepertiku?"
"Untuk apa … ?"
Sekali lagi, Aim tak menjawabnya. Makhluk itu, Iblis itu, menariknya berdiri dan mendekapnya, berbisik lirih ke telinganya. "Kau sendiri yang tak mematuhi-Nya, sama sepertiku. Selamat."
Malam itu, di waktu yang bersamaan saat Ilithya tengah menarik nyawa seorang wanita sekarat, Aim menciptakannya. Melanggar peraturan sederhana yang dipahami seluruh makhluk yang memiliki akal sehat. Ilithya tak bisa meninggalkan sang wanita kesakitan, tertarik setengah nyawanya saja. Namun ia tak pernah menyangka, sebuah belas kasih yang ia tunjukkan untuk manusia berujung pada kejatuhannya, menolak untuk menjawab panggilan tugas fatal yang seharusnya ia dahulukan. [ ]