Dunia terasa terjungkir balik dalam sudut pandang Achlys. Kepalanya pening terbentur dinding, merasakan darah menetes dari ujung dahinya. Lehernya sakit bekas cekikan Aim. Ia meraba lehernya dengan tangan bergetar. Dengung di telinga menutupi suara lainnya dalam ruangan itu. Achlys tak bisa memfokuskan dirinya untuk memperhatikan sekeliling.
Apa dia baru saja hampir mati? Apa Aim baru saja ingin membunuhnya? Terbentur dinding setelah terlempar jauh saja sudah cukup beruntung tidak mati. Tubuh Achlys bergetar syok. Ia meringkuk dengan telinga yang masih berdengung, mengingat kejadian cepat saat Aim membawanya ke antah-berantah dan hampir membunuhnya.
Achlys melepaskan pelukan untuk menatap telapak tangannya yang bergetar. Pandangannya buram, cairan panas membakar mata dan pipinya, dan ia tidak peduli. Perlahan, dengungan telinganya mereda, membawa kembali suara dari tempat asing baginya. Achlys pernah mendengar, ketika seseorang sedang di ambang kematian, mereka akan melihat kilasan balik dari seluruh kehidupannya. Itu, membuat Achlys semakin bergetar ketakutan. Meski ia mendengar suara-suara yang dikenalnya, ia tak bisa menyingkirkan fakta kematian dari pikirannya.
Achlys sangat sadar ia sudah menjadi pembunuh. Dan itu juga yang ia lihat. Mata mayat yang menatap balik padanya, menggaungkan pekikan yang menuduhnya, mengancamnya mendapatkan balasan yang lebih keji dari yang diperbuatnya pada mereka. Apa akhirat akan menghukumnya? Apa Ilithya bisa membawanya ke tempat aman? Dia malaikat, kan? Benar.
Achlys mengangkat kepalanya, menatap buram pada tengah ruang besar yang gelap dan berpilar ramping, pada dua orang yang sedang saling membunuh. Dan satu perempuan yang berjalan santai menghampirinya, seraya menghindari bayangan yang merayap menggapainya dengan mudah, sesekali menebas menggunakan sabit besar dengan satu tangan. Achlys terpaku menatap perempuan itu, menyadari apa yang ingin dilakukannya tapi tak bisa membuat tubuhnya bergerak menyelamatkan diri.
Senyum lembut di wajah cantiknya seharusnya menenangkan. Sorot mata yang menatap iba padanya seharusnya tidak membuat Achlys khawatir. Ilithya ingin menyelamatkannya, kan? Tapi, pembawaan malaikat itu yang berjalan tegap tanpa ragu, menebas bayangan seakan itu bukanlah apa-apa, menegaskan sebaliknya.
Achlys menggeleng, semakin kencang dan bergetar dengan mata membelalak takut. Ia beringsut menjauh, sedikit demi sedikit dan membentur dinding yang memerangkapnya dari berbagai sisi, kecuali dari arah kedatangan Ilithya. Ia tak bisa menjauh lagi. Ilithya berhenti di hadapan Achlys, menunduk menatap Achlys di bawahnya. Bahunya merosot turun, sedikit bergetar. Air mata menggenang tertahan di mata hijaunya. Mata merah yang membelalak lebar di tengah dahinya bergerak-gerak ke berbagai sisi dengan cepat, kelopaknya bergetar.
"Kuharap kau bisa memaafkanku. Aku tidak bisa menjaminmu di atas sana, tapi setidaknya aku bisa membebaskanmu dari Aim," bisik Ilithya serak. Sabit terangkat, siap menebas.
"Tidak," Achlys menggeleng lagi, "jangan, kumohon …."
Malaikat itu mengabaikannya, memotong perhomohan Achlys dengan tebasan sabit besar yang mencabut nyawa Achlys dalam sekejap. Tubuh Achlys sama sekali tidak terkena dampak dari tebasan sabitnya. Tubuhnya tetap utuh, namun Achlys bisa merasakan kesadarannya semakin memudar, melihat Ilithya yang berteriak dalam kesunyian yang anehnya menenangkan.
Seperti … akhinya ia terbebas. Ia tidak perlu mengkhawatirkan tentang dunia. Ia tak perlu mengarang dan berbohong pada orang-orang yang dikenalnya tentang pembunuhan yang ia lakukan. Ia tidak perlu terus bermimpi buruk memikirkan orang yang sudah dia bunuh. Ia bebas. Dan Achlys menggapai kematian itu dengan senang hati. Hantu-hantu itu tidak akan bisa mencapainya di alam kematian, kan?
Walau aliran kenangan itu kembali membanjirinya, Achlys menerimanya. Ia menerimanya jika itu artinya ia sudah terbebas setelahnya. Achlys tidak lagi merasa tertekan melihat berbagai kenangan tentang masa lalunya. Tentang kedua orang tuanya. Tentang sekolahnya. Tentang Xander. Tentang Athan.
Kilasan itu berhenti. Achlys tak tahu apa ia yang menginginkannya tanpa sadar, atau karena suatu alasan lain yang membuat kenangan itu lebih membekas daripada yang lainnya. Kenangan itu berputar menutupi bayangan kenangan lainnya. Achlys tak tahu, dan ia hanya bisa menatapnya lagi, duduk di sebelahnya. Menenangkannya, selama 13 tahun.
Kegembiraannya bermain permainan arcade di pusat perbelanjaan. Langkahnya yang antusias ketika menghampiri Achlys. Suara yang sangat dikenalnya dari kecil, tumbuh bersama dan selalu menemaninya. Sayangnya, di kesempatan terakhir itu, Achlys tidak bisa melihat jelas sosoknya. Hanya bayangan kabur dan buram.
Achlys tidak bisa melihatnya, tapi ia bisa merasakan sosok buram itu tersenyum lembut padanya, menghangatkan Achlys dengan kehadirannya. Suaranya berdengung memenuhi telinga Achlys.
'Kalau begitu ….'
Sosok itu mengangkat tangan dan menyentuh pipi Achlys, membelainya lembut. Achlys ingat, ia menahan napas dan berusaha tak terkejut, menahan detak jantungnya yang tak wajar. Itu tak wajar. Sosok itu bukan manusia. Sosok itu seharusnya menyeramkan, memakan manusia untuk bertahan hidup. Tapi akal sehat Achlys tak bisa menyangkal hatinya.
'… bagaimana kalau kau berhenti dan berdoa?'
Belaiannya terlalu lembut. Achlys tak bisa menahannya. Tubuhnya berdenyar aneh, dan jantungnya berdentum. Pipinya memanas. Ia hanya bisa berharap sosok itu tidak menyadarinya.
'Tenang saja ….'
Seperti kaca buram karena kotoran yang lama tidak dibersihkan, Achlys merasakan matanya mengerjap dan menjernihkan penglihatannya. Sosok itu tersenyum. Terlalu lembut. Achlys tak bisa memalingkan wajah untuk tidak menatap ke dalam mata itu.
'… jika kau sungguh-sungguh …'
Saat itu, Achlys merasa tak bisa memikirkan hal lainnya. Wajah itu memenuhi pandangannya. Mata itu terlalu dekat, menatap terlalu dalam hingga Achlys khawatir ia tak bisa menutupi dirinya dari tatapan itu.
'… kau pasti akan dimaafkan.'
Achlys merasakan kecupan di bibirnya. Terlalu lembut. Kenapa makhluk itu memperlakukannya begitu lembut? Bagaimana Achlys bisa menolaknya? Kata-kata itu, perlakuannya. Achlys selalu memikirkannya. Ia sadar, ia tak bisa melupakannya. Achlys sadar, diam-diam ia mempercayainya. Dan ia berdoa.
'Apa ini bisa menenangkanmu?'
Achlys merasakan kenangan itu meredup, dirinya kembali ke sebuah ruangan asing, tempat Aim membawanya. Kesadarannya memudar sangat perlahan seiring tarikan napas yang diambilnya. Ia masih bisa melihat malaikat itu, Ilithya. Mata di dahinya bergetar hebat, kemudian kepalanya meledakkan daging dan darah yang membasahi tubuh Achlys. Sabit jatuh dari tangan Ilithya ke atas polesan lantai marmer mengkilap. Tubuh tanpa kepala itu jatuh terduduk di depan Achlys, sedikit menutupi apa yang terjadi di tengah ruangan.
Achlys melihat Athan dalam wujud monsternya. Achlys melihat Aim dalam wujud yang tak dikenalinya, menjulang dengan kepala hewan bertanduk melilit dan tubuh berbulu kekar hitam kelam. Kedua makhluk itu saling menggigit, mengoyak, memakan, hingga Aim merobek Athan dan mereka melebur menjadi satu. Suara jeritannya terasa jauh, seperti terdengar dari balik air.
Tubuh hitam besar itu bergelombang dan kembali ke wujud manusia sebagai Aim. Tidak. Itu juga Athan. Achlys bisa melihatnya, walau kejadian itu sangat cepat, berkelebat bergantian seperti berebut untuk mengendalikan tubuh itu. Dan ia tahu, sisa hidupnya hanya satu tarikan napas lagi.
Sepertinya Aim yang memenangkan pergelutan dalam dirinya. Aim melompati jarak yang memisahkannya dengan Achlys, menjejakkan kedua kakinya di sebelah tubuh tanpa kepala milik Ilithya. Genangan darah memerciki tubuhnya. Ujung-ujung tangan Aim mengeluarkan cakar panjang yang terangkat, siap menggaruk dan membelah tubuh Achlys sebelum gadis itu mati.
"Dasar bodoh," gumam Achlys dan kegelapan menariknya menjauh pada hembusan napas terakhirnya.
Aim mencabik frustasi. Ia terlambat. Achlys mati sebelum Aim memakan jiwanya. Ilithya mati, namun Aim tahu, malaikat itu akan selalu digantikan dengan malaikat lainnya. Athan sudah tidak ada. Adiknya sudah tidak ada. Tidak. Bukan. Itu makhluk yang diciptakannya. Itu adalah dirinya. Aim tidak akan membiarkan dirinya menciptakan Athan lainnya dan kehilangan dirinya lagi.
Kini, Aim merasakan apa yang dirasakannya, menjerit dan menangisi apa yang sudah ia lewatkan. Dan ia tidak ingin melepaskannya lagi, sesakit apa pun yang harus ditanggungnya.
Kenapa ia dulu melakukannya? Agar tidak merasa kesepian, sendirian, dalam kurungan kerajaan yang sudah busuk? [ ]