Chereads / Covenant / Chapter 19 - - 18 -

Chapter 19 - - 18 -

"Jadi, siapa kau, Athan?"

Athan mengerjap, napas sedikit terengah. "Aku bukan Athan, dia yang menamaiku Athan. Aku hanya makhluk yang diciptakan dari bayangannya. Athan yang kau tanya adalah saudara yang sudah dia bunuh dalam perebutan takhta. Tapi dia sudah melupakannya."

Mereka terdiam, saling menatap dan memahami informasi yang diterima dari masing-masing kejadian yang dibagikan. Ilithya mendesah dan duduk bersandar di sebelah Athan, menengadah menatap langit malam. Athan ikut bersandar setengah menahan sakit yang belum benar-benar menghilang.

"Apa yang terjadi?" tanya Athan setelah mereka terdiam cukup lama dalam posisi yang sama.

Ilithya menurunkan tatapannya, menatap kedua telapak tangan di pangkuan. "Aku menolak mengikuti perintah untuk segera membunuhmu. Ada seorang manusia yang sedang kutarik nyawanya, tidak bisa kutinggalkan begitu saja."

"Achlys?"

Ilithya menoleh, menatap sisi wajah Athan yang setengah tertutup bayang. Ia tak bisa membaca ekspresinya, tapi sepertinya Athan hanya bertanya untuk memastikan. Jadi Ilithya kembali menatap langit dan mengangguk, tak menjawab dengan kata-kata namun Ilithya yakin Athan memahami maksudnya.

"Takdir yang aneh," gumam Athan. "Dan aku sudah gagal sebelum memulainya."

Sebuah kebetulan atau tidak, wanita sekarat itu adalah orang yang dibangkitkan dari kematian melalui kontrak dengan seorang Iblis, yang membawa Athan pada seorang kakek tua untuk menjaga Achlys setelah Sembilan puluh enam tahun kematiannya. Seorang kakek tua yang berusaha kabur dari perbuatannya.

"Kau berhasil menjaganya hingga sembilan belas tahun," sahut Ilithya, namun ia pun terkekeh. "Terlalu singkat, ya."

Athan menghela napas keras dan memejamkan mata, mengernyitkan dahi ketika merasakan sentakan sakit lagi. "Seharusnya aku tidak meninggalkannya sendirian. Yah, mau bagaimana lagi, aku tak bisa mengulanginya."

Di sebelahnya, Ilithya tersenyum. "Benar. Semuanya seperti berjalan sesuai dengan yang seharusnya."

��Apa maksudmu?" tanya Athan mengernyit.

Senyum Ilithya semakin melebar. "Semuanya kembali ke tempat yang seharusnya."

Athan terdiam, merenung dalam pikirannya sendiri, memahami maksud ucapan Ilithya. Semuanya kembali ke tempat yang seharusnya. Tapi ia tak bisa memahami apa yang harus dibahagiakan dari hal tersebut. Hanya kematian. Dan Athan terkekeh teringat Ilithya memanglah Malaikat Kematian.

###

Aim menatap ke dalam bayangannya, melihat bayangan itu menatap balik padanya. Aim menendang kerikil dan bayangan itu mengikutinya. Memang seharusnya bayangan selalu menuruti pemiliknya, kan? Ia hanya salah mengira, memberikan sedikit kebebasan berekspresi membuat duplikasi dari bayangannya sendiri berbalik membantah perintahnya.

Aim berjongkok dan menatap bayangan itu dari dekat, tergoda untuk melakukannya lagi yang sudah pasti akan mengundang masalah lain. Tidak adanya respons selain pembuangan Ilithya saja sudah membuatnya heran. Ia pikir, semua perhitangannya sudah tepat. Namun nyatanya semuanya menjadi lebih membosankan.

Ia mulai bangkit berdiri seraya mendengus kesal. Sebuah denyutan jauh di dalam dirinya mengguncang tubuhnya hingga terhuyung mundur beberapa langkah dan terpaku sejenak. Seperti aliran air yang bocor dari bendungannya, gambaran yang terasa tidak asing berkedip cepat di dalam pikirannya. Sekujur tubuhnya merinding merasakan lokasi kedua makhluk yang ia kekang, melakukan sesuatu yang membuatnya berdenyar dengan amarah memuncak. Sesuatu terbuka dan ia sendiri tidak tahu apa itu. Hanya membuatnya sangat marah.

Satu kedipan mata, Aim melangkah ke dalam bayangan dan dunia berputar, mengirimkannya kembali ke tempat Achlys berada. Apa pun yang dilakukan kedua makhluk sial itu, Aim tahu mereka akan melakukan sesuatu pada Achlys. Ia bisa merasakannya, niat Ilithya yang tertutup kabut tipis, menampilkan sedikit bayangan samar tentang apa yang ingin dilakukannya. Begitu pula dengan Athan.

Aim menyeringai, melangkah keluar dari sudut kamar dan menarik Achlys yang terkejut bersamanya, menyembunyikannya ke dalam kegelapan. Biar mereka mencarinya, tidak ada yang bisa menyusulnya. Tapi Achlys tidak akan bisa bertahan lama. Dimensi iblis bukanlah tempat nyaman untuk manusia. Lagipula gadis itu sudah tidak berguna bagi Aim.

Sudah beberapa hari ia hanya mendiami Achlys dan gadis itu juga tidak melakukan apa yang mereka sepakati sebelumnya. Dan itu membuat Aim kesal. Meski ia cukup sabar menunggu dan berniat memberi kesempatan beberapa tahun lagi, nyatanya manusia selalu mengecewakannya. Hanya sejauh itu keinginan Achlys untuk membunuh. Padahal masih banyak orang dalam kepalanya yang ingin dia cabut lehernya. Aim bisa dengan jelas membaca gadis yang panik itu dalam genggamannya.

Tidak ada gunanya mempertahankan Achlys lebih lama. Sedikit lagi saja, hanya untuk memancing kedua makhluk yang akan ia ambil kembali dari gadis itu. Benar. Gadis itu juga yang sudah merebut kedua bawahannya yang seharusnya tidak pernah membangkang kecuali mereka menginginkan kematian.

"Sedikit lagi," bisik Aim ke telinga Achlys, menjungkirbalikkan realitas di hadapannya demi mencari tempat yang diinginkannya. Privasi untuk mencabut ketiga nyawa dan melahap mereka.

Sekelebat bayangan dari gambaran di pikirannya tadi kembali melintas, dan tanpa sengaja ia berhenti di tempat yang sama. Bukan tempat yang diinginkannya. Tapi Aim merasa seperti dipaksa keluar ke sana. Di ruang singgasananya sendiri, di dalam kerajaannya. Ia kembali ke dunianya. Aim mengerutkan kening kesal pada sekelilingnya, melemparkan tatapan tajam ke semua bawahannya yang tengah mengerjakan sesuatu.

Seketika, suara bising pekerjaan menjadi hening, kemudian kembali ricuh dengan derap langkah kaki yang segera pergi meninggalkan aula besar tersebut. Pintu berdebum menutup ketika iblis terakhir keluar dari sana, meninggalkan Aim berdua dengan Achlys. Dan seperti biasa, hanya cahaya temaram bulan yang ia biarkan menembus dinding, menciptakan kolam-kolam bayang di sepenjuru aula.

Aim menyeret Achlys yang menggeram menolak, tapi Aim tak mengacuhkannya. Aim membawanya ke tengah Aula dan memulainya. Mereka akan datang. Aim merasakan Athan berusaha mendobrak masuk dibantu Ilithya. Athan sudah lama ia usir untuk mencari makanan terpisah darinya setelah Aim tidak lagi membutuhkannya. Makhluk itu tidak memiliki akses untuk memasuki kerajaannya. Aim terkekeh geli. Tapi Ilithya selalu memiliki caranya sendiri. Menarik. Seperti ungkapan 'seorang gadis selalu penuh kejutan.' Aim luput menyadarinya.

Tangan Aim mengangkat leher Achlys ke atas. Kaki gadis itu menendang, meronta-ronta dengan liur yang menetes ke tangan Aim. Ia tak merasakan jijik. Ia merasakan sedikit kepuasan tersendiri yang perlahan mengembang menjadi tak tertahankan. Aim tertawa terbahak-bahak, melihat Achlys yang susah payah bernapas di bawah tekanan tangannya sungguh menggairahkan.

Aim menyadari. Seharusnya ia melakukan ini sejak dulu. Kenapa tak pernah terpikirkan olehnya? Ia bisa saja menerima kontrak dengan manusia dan langsung membunuhnya. Itu tidak akan mempengaruhinya sama sekali. Pada dasarnya, tidak ada kontrak yang bisa mengikat iblis dengan manusia seutuhnya. Ikatan lemah antara manusia yang putus asa sangat mudah diputuskan. Sama seperti yang terikat pada Athan. Tapi tidak dengan Ilithya. Mata itu adalah bayaran yang mahal bagi Aim sekalipun.

Sebuah langkah kaki terdengar menggema tanpa berusaha ditutupi, kelotak sepatu. Aim sangat mengenalinya. "Lama sekali," kekeh Aim, menggema ke seisi aula. Aim melirik Ilithya yang berjalan santai dengan sabit dan sayap yang mengembang kaku. Mata yang ia tanam di tengah dahinya terbuka lebar hingga meneteskan darah yang mengalir turun ke wajah jelitanya. Aim menyeringai lebar. "Kau masih memiliki sabitmu." Aim tidak peduli itu.

Di belakang Ilithya, dengan susah payah Athan berjalan menyeret kedua kakinya sambil menahan luka di perut, masih menggunakan wujud manusianya. Hal itu cukup membuat Aim terkejut dan heran. Dalam wujud bayangan Aim, Athan akan mampu memulihkan dirinya sendiri dengan makanan yang cukup. Tapi makhluk itu mempertahankan wujud makhluk lemah yang sangat mudah dibunuh. Jelas sekali meminta untuk dibunuh.

"Kalian datang untuk mati," kata Aim muram. Senyum menghilang dari wajahnya melihat betapa seriusnya mereka menatap balik padanya. Aim melempar Achlys ke sisi lain, jauh dari mereka. Mata Athan mendelik mengikuti arah Achlys terlempar.

Mereka tidak membalas ucapan Aim. Ah. Benar. Bawahan yang akan mati tidak perlu menjawab tuannya, tinggal menunggu ajal dan semuanya selesai. [ ]